MACATANDA PERADABAN PURBA KABUYUTAN BATU PANJANG JAHIM SUKAMANTRI (Bag.1)

Oleh Pandu Radea

Musim kemarau tiba. Udara kering  becampur debu dan rumput mulai terlihat meranggas. Namun, nun jauh di puncak pegunungan Madati, kesejukan alam masih terjaga dalam kerimbunannya. Pepohonan  tetap menghijau dan gemercik air masih terdengar.  Itu yang terasa saat saya dan beberapa anggota Komunitas Tapak Karuhun Galuh menyambangi situs Batu Panjang di kawasan perkebunan pinus wilayah Jahim yang dikelola RPH Madati BKPH Ciamis.  Sebagian masyarakat di wilayah jahim bekerja sebagai penyadap pinus. Sebagian lagi menjadi petani sayuran. Maka dari itu bentangan plastik mulsa dan lahan sayuran akan mendominasi perjalanan menuju puncak Jahim

Batu Panjang Jahim terletak di wilayah Dusun Cimara, Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Ciamis.  Termasuk kabuyutan yang keletakannya berada paling utara Kabupaten Ciamis  karena sekitar 200 meter ke arah utaranya lagi berdiri tapel wates kabupaten Ciamis dan Majalengka. Oleh Karena itu  situs ini sering juga dianggap masuk ke Kabupaten Majalengka. Yang menjadi juru kuncinya saat ini adalah Ki Shahidin, rumahnya berada di kampung yang sama.

Kabuyutan Batu Panjang Jahim berada di ketinggian sekitar 1080 mdpl. Lokasinya tepat dipinggir jalan lintas desa yang cukup ramai dilalui kendaraan bermotor karena merupakan jalur alternatif yang menghubungkan kedua kabupaten.  Ciri kabuyutannya dapat dilihat dari rimbunan pepohonan hutan yang masih tersisa diantara dominasi pohon-pohon pinus, sehingga mudah untuk mengenalinya. Keindahan alam sudah terasa manakala akan memasuki kawasan hutan pinus.  Baik dari arah Majalengka maupun Ciamis panorama luas akan terhampar.  Di Sebelah utara, ngemplang  daerah Sawah Lega Cikijing dan sekitarnya, dari arah selatan membentang hamparan pesawahan Sukamantri dan sebagian Panjalu.

Keberadaan Situs Batu Panjang sudah dikenal sejak lama dikalangan masyarakat sekitarnya. Luasnya sekitar 500 meter persegi berada di kawasan Pegunungan Madati.  Bagi sebagian masyarakat,  pegunungan ini juga disebut Gunung Bitung  karena terkait dengan  keberadaan Situs Gunung Bitung yang berjarak beberapa kilometer ke arah timur, yaitu di Desa Wangkelang, Kampung Pawijen, Kecamatan Cingambul, Majalengka. Gunung Bitung  sudah dikenal sebagai situs sejarah peninggalan masa klasik terkait dengan Kerajaan Sunda Galuh Kawali.  Beberapa literatur, terutama Naskah Pustaka Rajya Rajya Bumi Nusantara menyebutkan bahwa  Gunung Bitung merupakan cikal bakal KerajaanTalaga.

Sedangkan Situs Batu Panjang Jahim keberadaanya belum dikenal luas. apalagi kandungan sejarahnya. Padahal situs ini konon pernah diteliti, namun entah peneliti yangmana dan dari mana, karena sampai saat ini hasilnya belum tersebar dikalangan umum. Maka sampai saat ini, Batu Panjang tetap masih menjadi misteri yang laya kuntuk terus dikaji dan diteliti.  Secara fisik, apa yang dapat dilihat di kabuyutan ini berupa kumpulan batu andesit berukuran besar dengan bentuk dominan  panjang. Posisinya ada yang berdiri memancang dan rebah melintang, nyaris tak beraturan. Batu-batu panjang inilah yang melatar belakangi penamaan kabuyutan.

Gugusan bebatuan utama dari situs ini ini berada di cekungan lereng  bukit dengan arah memanjang timur laut– barat daya.  Lebar cekungan itu sekitar 8 meter dan panjangnya menanjak sekitar 30 meter. Ujung bukit yang mengarah ketimur  merupakan bagian  yang menurun, sekaligus sebagai gerbangnya, berhadapan tepat dengan jalan aspal. Sedangkan bagian baratnya merupakan lereng menuju puncak bukit.  Di jalan masuk situs terdapat sekelompok batu panjang yang bertumpangan. Batu ini disebut masyarakat sebagai Batu Kendang, karena mirip alat musik kendang. Sesungguhnya sebaran batu berukuran panjang dan besar  terlihat cukup banyak di wilayah sekitarnya.  Sepertinya, jika lereng bukit itu dikupas akan tersusun dari bebatuan seperti itu.

Menurut keterangan Pak Shahidin, juru kunci yang sudah bertugas selama 20 tahun,  wilayah sakralnya berada di sebelah selatan ditandai dengan kelompok batu yang berciri khusus.  Ciri khusus ini berupa batu yang berdiri tegak setinggi kurang lebih 1,7 meter. Batu ini dikelilingi batu-batu panjang lainnya dengan posisi rebah maupun berdiri dengan psosisi lebih rendah. Didekatnya tumbuh Pohon Tanjung. Tidak Jauh dari kedua batu itu, terdapat sebuah batu  yang juga dikeramatkan karena di dindingnya ada cekung-cekung kecil berjumlah 5 buah yang dianggap masyarakat setempat merupakan jejak kaki maung. Batu Tapak Maung ini tingginya sekitar 80 cm dan berdiameter 50cm. Bentuknya seperti batang pohon yang terpotong.

Sementara sebaran batu lainnya yang terhampar menurun ke arah timur laut  juga seperti terkondisi membentuk semacam tatanan. Walau terkesan acak-acakan, namun beberapa susunan batu menyiratkan adanya pesan tertentu. Seperti misalnya batu besar yang berdiri tegak di disisi kiri dan kanan Seolah-olah merupakan lawang masuk ke area utama. Terdapat juga batu tegak yang dikelilingi kumpulan batu yang lebih kecil serta batu pasangan yang berdiri miring dan ujungnya saling tertaut membentuk bangun segitiga.  Namun menurut saya, beberapa kedudukan batu di atas bukan formasi aslinya.

Teori Ketika Magma Membeku Dan Tradisi Megalitikum
Apa yang terlihat di Situs Batu Panjang Jahim, merupakan ciri penting  tinggalan budaya  dari masa megalitikum (megas berati besar, lithos berarti batu). Dalam tradisi megalitikum,  batu yang digunakan dapat berupa satu batu tunggal (monolit), tumpukan batu besar maupun kecil, atau susunan batu yang diatur dalam bentuk tertentu. Megalit seringkali dipotong atau dipahat terlebih dahulu dan dibuat terkait dengan ritual religius atau upacara-upacara tertentu seperti kematian atau masa tanam.

Beberapa ciri budaya megalitikum diantaranya menhir, dolmen, kubur batu, sarkofagus. Selain itu, batu dakon, batu kenong,waruga, batu lumpang pun termasuk ciri Megalitikum. Tidak semua mesti berciri primer batu saja, struktur ruangpun dapat menjadi ciri jaman mgelaitikum seperti punden berundak misalnya. Budaya Megalitikum berkembang antara 2500-1500 SM.  Masa yang lebih muda disebut neolitikum (1000-100 SM) ditandai dengan batu-batu yang sudah mengalami proses penghalusan. Di tatar sunda, punden berundak,  batu lumpang, batu dakon dan menhir termasuk paling banyak ditemukan tersebar di berbagai tempat. Situs Megalitikum terkenal yang jaraknya paling dekat dengan Batu Panjang Jahim adalah Situs Cipari di Kuningan dengan keberadaan peti kubur batunya.

Dari gambaran diatas, maka Kabuyutan batu panjang Jahim memenuhi unsur tradisi megalitik. Adanya menhir dari  batu yangmasih utuh tegak berdiri, dan mungkin dolmen dari susunan batu yang rebah atau bertumpuk,memberi gambaran bahwa pada jamannya tempat ini merupakan wilayah sakral  terutama pemujaan terhadap Hyang (sembah-hyang) dan unsur lainnya yang berhubungan dengan kesuburan
Batu-batu yang berserakan di Kabuyutan Batu Panjang Jahim ini mirip atau mungkin sejenis dengan bebatuan yang ada di Situs Gunung Padang Cianjur, Situs Pabahanan Majenang Cilacap dan bebatuan di Situs Lebak Sibedug Pandeglang. Situs-situs tersebut secara umum merupakan struktur ruang punden berundak yang juga didominasi batu-batu panjang. 

Kenapa bebatuan seperti itu berada di Gunung Madati ?  Dari beberapa sumber lisan, menyebutkan bahwa batu-batu panjang tersebut merupakan reruntuhan bangunan kuno.  Bisa saja hal itu benar,  bahwa jaman baheula ada bangunan sederhana yang terbentuk dari tatanan batu sebagai pusat ritual, atau memang kabuyutan ini  adalah punden berundak seperti halnya Gunung Padang dan Lebak Sibedug namun  hancur kemudian. Penyebab kehancurannya bisa disengaja atau terjadi secara alamiah.

Karena kemiripannya dengan Batu-batu yang ada di Gunung Padang Cianjur maka kemungkinan besar bebatuan jahim tersebut merupakan batuan andesit berupa stuktur tihang kekar (columnar Joint) yang terbentuk dari proses pendinginan aliran basalt. Pendinginan itu menyebabkan penyusutan, keretakan dan patahan membentuk tihang dengan pola hexagonal. Dari beberapa bentuk yang tidak umum maka tiang-tiang tersebut memiliki 3 hingga 12 sisi. Konon di Indonesia jarang ditemukan dengan bentuk jelas, namun di Situs Pabahanan Cilacap menunjukan sisi-sisi yang jelas.   Batuan seperti  ini  posisinya cenderung berdiri vertikal dan ditemukandi daerah intrusif dangkal atau ektrusif tubuh batuan beku.

Analisa sementara  dugaan adanya basalt yang muncul di wilayah Jahim bisa dikaitkan dengan pristiwa meletusnya Gunung Gegerhalang (Gunung Candradimuka) 7000 tahun SM. Gunung ini merupakan priode kedua setelah Gunung Plistosen yang meletus sebelumnya. Dari kaldera di sisi utara Gunung Gegerhalang ini lahirlah Gunung Ciremai yang dikenal saat ini. Ada analisa serupa yang ditulis dalam blog hutanrimbun.wordpress  bahwa Sawah Lega yang terdapat di Wilayah Cikijing merupakan danau purba yang terbentuk berbarengan dengan lahirnya Gunung Api Gegerhalang.

Namun ketika Gegerhalang meletus dan melahirkan Gunung Ceremai, danau itu mungkin terkubur material letusan Gegerhalang sehingga terjadi pendangkalan dan berubah menjadi rawa. Danau Purba Cikijingini membentang dari timur hingga ke barat, di ujung barat dari danau ini mengalir sungai Cilutung dan sebelah selatan mengalir pula sebuah sungai ke arah Ciamis yang sekarang sudah hilang dan mungkin berubah jadi jalan raya Cingambul-Ciamis. Sungai-sungai ini berfungsi sebagai tempat buangan air dari danau purba tersebut.

Selain Gunung Gegerhalang yang berada di arah timur laut, maka di arah lainnya  berdiriGunung Sawal, Gunung Cakrabuana dan Gunung Galunggung yang juga pernah meletus pada masanya.  Jadi masuk akal jika akhirnya tersingkap batuan tihang kekar di Jahim karena lokasi ini memang berada di tengah dua gunung api purba yang sudah tidak aktip dan dua gunug api lainnya  yang masih aktif dan juga pernah meletus pada masanya. (Bersambung / Komunitas Tapak Karuhun / dimuat di HU. Kabar Priangan)




Share this

Related Posts

Previous
Next Post »