SITUS BOJONG GALUH SALAWE CIMARAGAS CIAMIS JABAR

PRASASTI-PRASASTI KABUPATEN CIAMIS.

Pandu Radea·1 Oktober 2015

Oleh Pandu Radea (Komunitas Tapakkaruhun Galuh)

Ciamis kini atau Galuh baheula memiliki catatan peradaban dan perkembangan budaya yang panjang. Kisah lampau di masa klasik yang diberitakan dalam berbagai sumber sejarah, baik sumber primer berupa prasasti, maupun sumber sekunder dalam bentuk naskah kuna, serta diperkaya dengan folklore setempat, menempatkan Ciamis menjadi salah satu wilayah penting dalam pembabakan sejarah Sunda. Demikian pula temuan-temuan artefak sejarah dan tanda-tanda lainnya yang menembus batas ke jaman pra sejarah telah menggaris bawahi Ciamis sebagai daerah yang cukup memiliki bukti perkembangan budaya dan peradaban dari masa ke masa.

Dimulai dari situs Prasejarah Tambaksari di Kecamatan Tambaksari yang merupakan harta karun tinggalan periode prasejarah dengan banyaknya kandungan dan temuan fosil binatang, tumbuhan laut, bahkan gigi manusia purba yang usianya ribuan tahun yang silam. Memberi gambaran perubahan kondisi geografis dan geologis dulu dan sekarang. Kemudian Batu Tulis Citapen di Tambaksari menjadi seperti tanda awal peradaban dimulai. Coretan-coretan di dinding tebing yang dibuat oleh manusia purba Citapen merupakan symbol-symbol komunikasi sebelum aksara ditemukan. Setelah itu, sebaran budaya megalitikum, berupa lingga, dolmen, punden berundak, menhir, dll, merupakan tinggalan religi purba paling banyak ditemukan disetiap lembur yang kabuyutan-kabuyutanya masih terjaga keasliannya.

Dan pada jaman kuna, walau naskah Wangsakerta memulainya dari Kerajaan Salakanagara di Pandeglang, namun folklore tentang adanya system pemerintahan purba di kawasan Galuh tetap terkisahkan walau dalam waruga sasakala maupun dongeng yang masih menyimpan misteri dan tantangan untuk dibuktikan kelak. Akhirnya Galuh dalam titik terang sejarahnya tercatat dalam Naskah Carita Parahyangan, tentang sebuah kerajaan yang bernama Galuh dengan pendirinya yaitu Sang Wretikandayun. Beberapa naskah kuna lainnya yang ditemukan di kawasan Galuh juga memberi gambaran tentang ajaran dan kehidupan religi yang menjadi ageman pada waktu itu. Akhirnya riwayat Galuh semakin benderang dalam catatan naskah Wangsakerta shingga sejarah Galuh kini mudah untuk diketahui dan dijadikan rujukan masyarakat sunda yang berprinsip hana nguni hana mangke, menerabas persoalan validitas keilmiahan sumber beritanya sendiri, yaitu naskah wangsakerta yang diragukan oleh sebagian ahli sejarah.

Lepas dari sumber-sumber sekunder lainnya yang banyak ditemukan di kawasan Galuh, maka fakta yang paling dekat dengan sejarahnya sendiri tentu berupa sumber-sumber primer. Dalam hal ini, rujukan tulisan prasasti menjadi acuan utama sebagai alat bukti yang sahih. Selain bukti arkeologi berupa candi yang juga banyak ditemukan di wilayah Galuh. Maka berdasarkan data hasil nyukcruk Komunitas Tapakkaruhun Galuh, peninggalan prasasti-prasasti di Kabupaten Ciamis sampai saat ini, jumlahnya mencapai seperempat dari jumlah prasasti yang telah ditemukan di Jawa Barat. Yaitu, dari 39 jumlah prasasti di Jawa Barat, 9 prasasti yang telah diteliti ditemukan di Wilayah Kabupaten Ciamis. Jumlah tersebut tentu akan bertambah, mengingat adanya batu di Karamat Ganoang Ciamis yang diduga prasasti, menunggu untuk diteliti.

Prasasti-Prasasti masa Hindu Budha di Galuh

Berdasarkan data dan hasil wawancara dengan salah satu arkeolog senior di Pusat Arkeologi Nasional yaitu Dr. Titi Surti Nastiti, 39 prasasti yang ditemukan di Jawa Barat tersebut jumlahnya termasuk sedikit dibandingan temuan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ke-39 prasasti tersebut dituliskan pada berbagai media, yaitu pada logam berupa lempengan emas, lempengan tembaga, dan kentongan perunggu; pada batu yang berupa batu alam, arca, tempayan, pada terakota berupa lempengan dan materai (votive tablet).

Namun walaupun sedikit jumlahnya, perkembangan aksara dan bahasanya lebih lengkap karena adanya variasi aksara dan bahasa. Variasi tersebut yaitu aksara Palawa awal dan akhir dengan bahasa sansekerta, Aksara Jawa Kuna dan bahasa Jawa Kuna, Aksara Jawa Kuna dengan Sunda Kuna dan Aksara Sunda Kuna dengan Bahasa Sunda Kuna. Hal tersebut terjadi karena hanya di Jawa Barat (Tarumanagara) dan Kutai saja prasasti-prasasti masa awal nusantara ditemukan. Prasasti-Prasasti masa Tarumanagara saat ini tercatat berjumlah 7 buah, diantaranya Prasasti Tugu yang dikeluarkan Raja Purnawarman diperkirakan berasal dari pertengahan abad 5 (450 M).

Dari 9 prasasti yang ditemukan di wilayah Ciamis yang paling tua angka tahunnya adalah Prasasti Mandiwuna yang ditemukan tahun 1985 di Desa Cipadung, Kecamatan Cisaga. Terdiri dari 5 baris tulisan dengan aksara dan bahasa Jawa Kuna. Diumumkan pertama kali oleh Dirman Surachmat dan di transkripsi ulang oleh Ambu Richadiana Kartakusuma. Transkripsi dan alih bahasanya adalah : (baris 1) masa kresnapaksa. (baris 2) nawami haryang. (baris 3) pon wreshapati wa. (baris 4) ra tatkala sima ri. (Baris 5) mandiwunga. Transkripsinya : bulan..paro gelap. (tanggal) 9, pada hari haryang (sadwara/paringkelan). pon (pancawara/pasaran), Kamis (saptawara). Ketika itulah, daerah sima (perdikan) di. Mandiwunga. Dari data Penelitian Prasasti-Prasasti Masa Hindu Budha Di Ciamis yang disusun oleh Dr. Titi Surti Nastiti, Abdulah dan Dr. Hasan Djafar, disebutkan bahwa Trigangga berhasil mendapatkan angka tahun prasasti tersebut yaitu tahun 1016 Saka/1096 M.

Pada masa itu, kekuasaan di sunda menurut Naskah wangsakerta dibawah pemerintahan Prabu Langlangbumi (Sang Mokteng Kreta) yang memerintah Sunda tahun 1065 M-1155 M. Pada masa Langlangbumi, menurut fragmen Carita Parahyangan, kerajaan dalam keadaan sentosa, karena Langlangbumi memiliki laku lampah yang hade dan mendatangkan gemah ripah. Namun dikisahkan pula bahwa sempat terjadi perselisihan karena cinta, antara Langlangbumi dengan Dewi Citrawati yang sakit hati karena Langlangbumi lebih memilih memperistri kakaknya, yaitu Dewi Puspawati, bukan memilih dirinya yang memang berharap diperistri Langlangbumi. Perselisihan dapat diselesaikan dengan damai, Langlangbumi hanya menguasai Sunda sedangkan Citrawati menjadi Ratu di Galuh dengan ibukota di Galunggung. Ratu Citrawati inilah yang tertulis di prasasti Geger Hanjuang tahun 1111 M sebagai Batari Hyang Janapati, atau tokoh yang disebut Sang Sadu Jati yaitu perumus Sanghyang Siksa Kanda(ng) Karesian yang menjadi pedoman Sunda galuh sampai masa Pajajaran. Prasasti Mandiwunga kini disimpan di Musium Sri Baduga, Bandung.

Perasasti dari Ciamis berikutnya yaitu Prasasti Sadapaingan yang ditemukan di Desa Sadapaingan, Kecamatan Panawangan pada tahun 1863. Oleh K.F. Holle dalam tulisannya disebut De Klokod Kohkoh van Galuh. Prasasti yang kini menjadi koleksi museum Nasional dengan no. inv. 970 berbentuk kentongan dari bahan perunggu berukuran tinggi 41,3 cm, diameter 10 cm. Jenis hurupnya merupakan kwadrat Kediri (timbul) seperti pada prtasasti-prasasti dari masa Kerajaan Kediri. Isinya merupakan candrasangkala. Pada baris pertama tertulis janma bhuta sa rat. Artinya : manusia(1), raksasa (5), satu (1), dunia (1), maka didapat angka tahun 1151 saka atau 1229 M. Pada kata berikutnya, majayan yang artinya Berjayalah.

Dari angka tahun prasasti maka dapat dilacak bahwa pada masa itu kekuasaan sunda galuh dibawah pemerintahan Darmasiksa yang dikenal memiliki hubungan luas, baik politik maupun kekerabatan dengan para penguasa di Jawa dan Sriwijaya. Salah satu istri Prabu Darmasiksa berasal dari Sriwijaya bernama Dewi Supraba Wijayatunggadewi yang melahirkan Pangeran Jayadarma, ayah dari R. Wijaya Pendiri Majapahit.

Demikian pula salah satu putra Darmasiksa, yaitu Ragasuci memiliki permaisuri bernama Dara Puspa yang merupakan adik dari Dara Kencana yang diperistri oleh Kretanegara sang penguasa Singhasari. Prasasti ini diduga tidak asli dari Sadapaingan, karena mudah untuk dibawa dan dipindahkan, diduga sebagai hadiah kepada administratur belanda di perkebunan Ciamis. Namun adanya korelasi tahun prasasti dengan masa pemerintahan Darmasiksa dalam hubungannya dengan penguasa di jawa Timur dan Sriwijaya, tidak menutup kemungkinan prasasti ini berasal dari Kediri yang dihadiahkan kepada Darmasiksa saat berkuasa di Galunggung, atau setidaknya bisa jadi bukti adanya hubungan antara Singhasari dan Galunggung.

Prasasti Ciamis berikutnya adalah Prasasti Astana Gede Kawali yang berjumlah 6 buah dan merupakan prasasti yang popular di sunda. Prasasti-prasasti inilah yang diindikasikan sebagai titik awal orang sunda memiliki aksaranya sendiri karena menjadi salah satu bukti tulisan aksara sunda dan berbahasa sunda. Banyak sumber dan telaah yang mendeskripsikan prasasti-prasasti peninggalan Maharaja Niskala Wastu Kancana. Yang menjadi bukti kekuasaan sunda galuh pernah berpusat di Kawali (kecamatan Kawali) sehingga menempati periode tersendiri dalam pembabakan sejarah sunda. Sama halnya dengan kapasitas Darmasiksa, Niskala Wastu Kancana juga merupakan raja adil bijaksana yang mampu menciptakan suasana aman dan tentram, sehingga Kerajaan Galuh Sunda Kawali mencapai puncak keemasannya, jaya di buana.

Prasasti Jambansari/Prasasti Galuhsalawe Ciamis

Prasasti Jambansari atau kini dikenal Prasasti Galuhsalawe merupakan prasasti terbaru yang diteliti oleh Arkenas. Berdasarkan surat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Ciamis tanggal 6 Agustus 2014 yang melaporkan keberadaan prasasti di Situs Jambansari (Komplek makam RA. Aria Kusumadiningrat) di Kampung Rancapetir, Kelurahan Ciamis. Saat tim nyukcruk Tapakkaruhun (Dodenk Zoemawel dan Risma Nurjatika) meninjau prasasti tersebut, letaknya berada dalam rimbunan pohon waregu yang tumbuh disamping bangunan makam utama. Keberadaan prasasti tersebut sebetulnya sudah diketahui sejak lama oleh penduduk sekitar yang menyebutnya batu kunci atau batu gede karena memang sejak lama sudah berada di lokasi itu.

Situs Komplek Makam Jambansari selain menjadi komplek pemakaman, sejak dulu merupakan tempat menyimpan benda cagar budaya baik dari masa pra islam maupun dari masa islam yang disimpan di salah satu bangunannya. Adanya tinggalan arkeologis pra islam seperti arca bertype pajajaran, lingga, ganesha, merupakan upaya R.A. Kusumadiningrat untuk mengikis sisa-sisa pengaruh hindu pada masa Islam mulai berkembang. Benda-benda tersebut dibawa atau dipindahkan dari tempat aslinya agar tidak disembah oleh masyarakat. Kemungkinan besar batu kunci atau batu gede tersebut juga dipindahkan dari tempat aslinya, artinya Prasasti Jambansari tidak in situ. Namun batu kunci yang merujuk pada prasasti sebetulnya berbeda dengan prasasti Galuhsalawe. Rupanya faktor kemiripan antara batu kunci dan prasasti Galuh Salawe yang membuat prasasti tersebut dianggap sudah lama berada di Jambansari. Prasasti Galuh Salawe, ditemukan oleh Indra Sugih, tergeletak di pinggiran Sungai Citanduy yang melintas kawasan Kabuyutan Galuh Salawe. Batu itu diduga kuat asalnya berada di tepian tebing kawasan makam Bara Ireng yang lokasinya berbatasan dengan pinggir Citanduy. Namun karena tanahnya longsor, prasasti tersebut jatuh ke tepian sungai. Agar tidak hilang terbawa arus, Indra sugih berinisiatif menyelamatkannya dan kemudian menitipkannya di Situs Jambansari. Kini Prasasti tersebut sudah dikembalikan ke Kabuyutan Galuh Salawe setelah melalui proses mediasi formal antara Padepokan Galuh Midang (pengurus Kabuyutan Galuh Salawe Cimaragas) dengan Yayasan Kusumadiningrat. Dari hasil penelitian Arkenas yang di pimpin oleh Dr. Titi Surti Nastiti, disimpulkan bahwa bentuk prasasti menyerupai kepala arca megalit, terdiri dari 3 baris tulisan dan dibagian atasnya dihiasi dengan lingkaran spiral sulur-suluran yang melingkari bagian batu, berbentuk guirlande berjumlah 14. Bagian depan berjumlah 8 dan bagian belakang prasasti yang sudah terkikis berjumlah 6 lingkaran. Secara paleografi Prasasti Jambansari ditulis dalam hurup Jawa Kuna yang sampai saat ini tidak dapat diterjemahkan karena hanya merupakan sambungan kata-kata yang tidak diketahui artinya. Alih aksara prasasti Jambansari berbunyi :

1. ta --- ja—jaghana

2. dadana tatha dadana pada bara

3. saya ralawa sasasaha

baris kedua yang berisi pengulangan kata kemungkinan merupakan mantra, seperti halnya pada prasasti Dadak atau Prasasti Guru Tuha yang ditemukan di Desa Sukodadi Lampung. Saat penulis menanyakan tentang mantra tantra yang juga bercirikan pengulangan kata, Ceu Titi Surti menolak untuk mengakaitkannya dengan mantra tantra.

Naskah yang dituliskan di logam juga termasuk prasasti, ada beberapa naskah logam yang pernah ditemukan di Ciamis, yaitu naskah timah Nagarapageuh dan naskah tembaga Kabuyutan Gandoang. Menurut Aditia Gunawan, filologi Sunda dan kurator di Perpustakaan Nasional, walaupun termasuk katagori prasasti namun isinya condong sebagai naskah. Dan dengan keberadaan Prasasti Jambansari memberi gambaran lain dalam pilahan wanda isi prasasti, karena tidak semua prasasti di tatar sunda mengandung warta sejarah resmi. Secara fungsi prasasti Jambansari juga akan menjadi kajian, terkait isinya yang hanya berupa urutan abjad saja.

Banyaknya tinggalan sejarah di Kabupaten Ciamis seharusnya menjadi potensi unggulan dalam bidang sejarah dan budaya. Namun seperti pepatah yang mengatakan bahwa kualitas dari nilai budaya tidak terpengaruh oleh lajunya peradaban, masih terlihat sampai saat ini. Kemajuan Galuh Sunda yang diwakili pada masa kejayaan Wretikandayun, Linggabuana dan Niskala Wastukancana belum tertandingi pada masa pemerintahan kabupatian sekarang. Begitu sulitnya mencari pemimpin yang memiliki jiwa besar dan kearifan seperti ketiga tokoh diatas yang pada jamannya pernah berkuasa di Kabupaten Ciamis. (tapakkaruhun/panduradea/dimuat di Kabar Priangan)

 

 

POTO WAKTU PEMINDAHAN PRASASTI GALUH SALAWE DARI SITUS JAMBANSARI YG DI TITIPKAN PENEMU DARI PINGGIRAN SUNGAI CITANDUY SALAWE CIMARAGAS

 

Author : desa cimaragas

Share this

Related Posts