Oleh Pandu Radea
Komunitas Tapak Karuhun

Batara Gunung Bitung
Sepertinya posisi geografis dari Pegunungan Madati yang sejak megalitikum dijadikan pusat religi, menjadi acuan bagi Sang Sudayosa (Batara Gunung Bitung) untuk mendirikan Padepokan Agama Budha Sarwastiwada di Gunung Bitung. Padepokan Agama Budha terbesar di sunda galuh dan dikenal luas sampai Sumatera. Sudhayosa adalah putra Suryadewata. Sedangkan Suryadewata putra ke tiga dari Prabu Ajiguna Linggawisesa dan Ratna Uma lestari yang memerintah Kerajaan Sunda Galuh di Kawali pada tahun 1333 M. Sedangkan putra sulung Ajiguna Linggawisesa yaitu Ragamulya Luhur Prabawa kelak menjadi penguasa berikutnya di Kawali.
Namun dalam keterangan selanjutnya, Shahidi mengisahkan Eyang Mangkubumi dan Eyang Langlangbuana ini konon berasal dari Jawa Tengah dan melakukan perjalanan menuju Panjalu. Namun kedatangannya tidak diterima oleh penguasa Panjalu, mereka akhirnya beristirahat di Batu Panjang. Larangan itu mereka laporkan ke Raden Panglurah di Gunung Bitung. Raden Panglurah laporan ke Sanghyang Talaga, dan Sanghyang Talaga laporan ke Cirebon. Akhirnya oleh Cirebon diputuskan mereka berdua disuruh tinggal di wilayah Jahim. Dan kalau terjadi apa-apa disuruh lapor ke Cirebon. Dalam kisah ini maka Nama Raden Panglurah menjadi simpul penting karena kejelasan asal usulnya. Dia adalah Putra cikal Prabu Talagamanggung yang tidak berminat menjadi raja, namun memilih menjadi biksu budha di Gunung Bitung.
Kakeknya bernama Rajaguru Darmasuci, adalah putra sulung Sang Sudayosa. Darmasucilah tokoh yang merubah padepokan Budha Gunung Bitung menjadi Kerajaan bercorak Budha Talaga yang Pusat pemerintahanya bergeser ke wilayah Talaga. Kerajaan ini berada di bawah kekuasaan Sunda Galuh Kawali yang saat itu dipimpin oleh Niskala Wastu Kancana (1371 M-1475 M). Dari garis keturunan, maka Raden Panglurah adalah sifat cucu Wastu Kancana, karena bao-nya, yaitu Suryadewata adalah adik Ragamulya Luhur Prabawa (Kakek NiskalaWastu Kancana).
Lantas
siapakah yang disebut Mangkubumi dan Langlangbuana yang berasal dari
Jawa Tengah ini? Kuncen Shahidin menyebutkan keduanya dari sekitar
wilayah Jogjakarta atau dari wilayah kekuasaan Mataram. Analisa
sementara, kemungkinan kedua tokoh ini merupakan bhiksu atau penganut
Budha yang menyelamatkan diri saat daerah jawa dilanda Perang Paregreg yang berkecamuk tahun 1453 M -1456M. Saat itu Niskala Wastu Kancana dan Darmasuci masih hidup. Namun Kawali sudah dirajai oleh Dewa Niskala. Akibat paregreg, ada Rombongan Raden Baribin dari Majapahit yang mengungsi ke Kawali. Mungkin saja kedua tokoh diatas termasuk dalam rombongan.
dari kisah Ki Shahidi bisa direkontruksi menjadi sebuah analisa kejadian. Anggap saja ini hanya "meureun dan sugan". Namun walau demikian susuganan tersebut tetap bersandar dari sekian data yang telah di telaah di lapangan. Tafsiran saya, bisa saja mereka berdua berniat menyebarkan agama budha di Panjalu, namun tidak diiizinkan karena perbedaan mazhab. Aliran Sarwastiwada merupakan bagian dari Budha Hinayana yang berorientasi pada tingkatan arhat nirwana, sedangkan kedua bhiksu itu ingin mengembangkan faham budha Mahayana yang berorientasi pada tingkatan yang lebih tinggi lagi, yaitu menjadi budha. Akhirnya mereka meminta tolong pada Raden Panglurah sebagai sesama penganut agama Budha. Namun karena menyangkut agama dan kerajaan, maka Raden Panglurah meminta pendapat pada ayahnya, Prabu Talagamanggung (Sanghyang Talaga) yang menganut Budha Hinayana Sarwatiwada.
Demikian pula Sanghyang Talaga merasa perlu untuk meminta pendapat kepada Pihak Cirebon. Yang dimaksud pihak Cirebon disini kemungkinan adalah putra Bunisora Suradipati yaitu Ki Gedeng Kasmaya (Giridewata) yang berkuasa di Carbon Girang dan Surawijaya Sakti, penguasa Wilayah di Singapura (Mertasinga, Cirebon) yang merupakan putra Niskala Wastukancana dari Mayangsari. Kedua tokoh tersebut sejaman dengan Prabu Talagamanggung. Akhirnya atas musyawarah para putra Niskala Wastu Kancana dan Bunisora Suradipati,keduanya diizinkan untuk tinggal di Jahim. Bahkan keduanya mendapat jaminan.
Adanya
interaksi dengan Cirebon ditandai dengan mangkuk kuno yang saya temukan
dilereng barat, jaraknya sekitar 500 meter dari Kabuyutan Batu Panjang.
Di area perkebunan juga terdapat gugusan batu panjang. Menurut Kuncen
Shahidin batu panjang itu merupakan arah datang Eyang Mangkubumi dan
Eyang Langlangbuana. Di sebelahnya terdapat bukit kecil yang lebat
ditumbuhi perdu dan beberapa pohon besar. Ternyata bukit itu merupakan
pekuburan kuno yang tak terurus. Mangkuk itu didapat dari salah satu
tetengger batu dengan kondisi masih utuh namun sedikit pecah pinggirnya.
Berdasarkan
bentuk kakinya, Nanang Saptono, arkeolog ahli pemukiman masa klasik
dari Balai Arkeologi Bandung memperkirakan mangkuk tersebut buatan cina
masa dinasti Ming yang diproduksi di Swatouw abad 15 – 17M. Produk
keramik dari Dinasty Ming ini memang membanjiri asia tenggara
dandiproduksi untuk membiayai perang melawan"pemberontak" Mongolia.
Olehkarena itu bentuknya terkesanasal-asalan. Di duga masuk ke
Indonesia melalui Pelabuhan Kerajaan Sunda di Cimanuk Indramayu yang
kini sudah hilang jejaknya.
Menafsir Nama
Madati berasal dari bahasa Kawi yaitu Madhati yang berarti naik pedati, Kata inilah yang sedikit menjelaskan tentang pengaruh Budha Mahayana di wilayah ini, bersanding dengan Budha Hinayana Sarwastiwada yang sudah berkembang lebih dulu. Naskah Sewaka Darma menyatakan tentang kiasan Panca Tathagata dengan kalimat sampangan mangregat lima Na jalan pa[da] tiageung” (Sewaka, 28: 8—9) yang artinya : Simpang jalan terbagi lima, itu jalan pedati besar. Menurut filolog Aditya Gunawan pernyataan tersebut sebenarnya merupakan perumpamaan bagi PancaTathagata yang terdiri dari Amitabha (barat), Amoghasiddhi (utara), Aksobhya (timur), Ratnasambhawa (selatan), dan Wairocana (tengah). Merekalah yang telah memperoleh jalan keBuddhaan. Para Buddha tersebut hanya dikenal dalam ajaran Mahayana yang artinya pedati besar, ataujuga golongan Mahasanghika yang menyetujui adanya perubahan-perubahan (Hadiwijono 1982: 67), oleh karena itu disebut dengan na jalan padati ageung.
Madhati (naik kereta/pedati) merupakan cara untuk mencapai jalan kebudddhaan dengan cara mengdalami Panca Tathataga (disebut juga Panca Dhyani Budha). AliranMahayana memiliki kesamaan dengan Hindu karena adanya pantheon atau anasir yangmenguasai mata angin sehingga aliran ini mudah bersinkretis dengan agama Hindu. Wairocana yang berada di tengah berarti sumber cahaya dengan warna Putih. Sikapnya Witarka-Mudra, Unsurbhuttha-nya Tanah, skandhanya adalah rupa, dan unsur indranya penciuman (hidung), sepertinya merujuk pada Batu Panjang.
Sedangkan Jahim berasal
dari bahasa arab yang merujuk pada salah satu neraka dalam Islam. Nama
ini berindikasi kuat muncul pada masa awal penyebaran Islam oleh Cirebon
ke wilayah Pajajaran. Namun kenapa kawasan Batu Panjang yang indah ini
disebut neraka? Analisa yang masuk akal berkaitan dengan dogma agama.
Konsep religi dan kegiatan pemujaan terhadap ageman di luar Islam yang
telah ada dikawasan ini jelas bertentangan dengan penyebaran Islam waktu
itu. Hal-hal yang bertentangan tersebut akhirnya dikafirkan dan
neraka(jahim) jaminannya. Simbol-simbol pemujaan lama yang berada di
Kabuyutan Batu Panjang seperti kemungkinan adanya arca atau bahkan
bangunan ibadah sederhana juga dihancurkan. Karena jika dibiarkan akan
merusak akidah dalam proses Islamisasi yang dilakukan oleh Cirebon pasca
runtuhnya Pajajaran. Begitu kuatnya orientasi Islam untuk mengikis
unsur wiwitan dan hindu budha di wilayah ini, jejaknya dapat dilihat
dari Situ Lengkong Panjalu (berjarak sekitar 8 km dari Batu Panjang)
yang saat ini merupakan salah tujuan wisata ziarah penting di Jawa Barat
dan banyak dikunjungi peziarah dari berbagi pelosok tanah air.
Yang
jelas dari tebalnya kabut sejarah Batu Panjang Jahim, setidaknya ada
beberapa tanda yang dapat dibaca dan ditafsirkan walau hanya merupakan
analisa yang masih jauh dari kebenarannya. Sayangnya, tatanan batu yang
ada saat ini sudah tidak asli lagi posisinya. Seperti pada beberapa
pasang batu yang saling ditautkan atau dikomposisikan membentuk simbol
baru berdasarkan presepsi dan tafsir darisegelintir orang. Pintu
masukpun dirubah dengan membersihkan area sebelah utara. Adanya
perubahan itu tentu nantinya akan menyulitkan jika ada penelitian
ilmiah. Terutama mengidentifikasi dari keletakan batu yang sudah tidak
asli lagi posisinya.
Dan lagi-lagi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Ciamis yang mengurus bagian sejarah memang terkesan hoream untuk memperhatikan tinggalan budaya yang berharga ini. Entah karena situs ini kurang dikenal atau karena berada paling ujung kabupaten yang jauh untuk disaba, atau entah karena geus kitu watek pagawena. Karena jika dibiarkan maka lambat laun tanda-tanda sejarah yang ada di Situs Batu Susun Jahim ini akan semakin sulit diidentifikasi lagi. Apalagi saat ini sedang gencar-gencarnya ekskavasi Gunung Padang Cianjur. Tidak menutupkemungkinan kandungan sejarah Situs Batu Panjang Jahim memiliki kesamaan dengan situs Gunung Padang Cianjur. Selain unsur sejarahnya, faktor keindahan alam dan beberapa potensi lainnya seperti adanya telaga, sebetulnya dapat di kembangkan untuk tujuan wisata. Apalagi sarana jalan dan arus lalu lintas sangat mendukung untuk tujuan itu. Maka, situs ini harus secepatnya diteliti, dilindungi dan kemudian dikembangkan sebagai cagar budaya sejarah, alam sekaligus tempat tujuan wisata. Tabe Pun.
Penulis adalah penggemar kopi

Komunitas Tapak Karuhun

Batara Gunung Bitung
Sepertinya posisi geografis dari Pegunungan Madati yang sejak megalitikum dijadikan pusat religi, menjadi acuan bagi Sang Sudayosa (Batara Gunung Bitung) untuk mendirikan Padepokan Agama Budha Sarwastiwada di Gunung Bitung. Padepokan Agama Budha terbesar di sunda galuh dan dikenal luas sampai Sumatera. Sudhayosa adalah putra Suryadewata. Sedangkan Suryadewata putra ke tiga dari Prabu Ajiguna Linggawisesa dan Ratna Uma lestari yang memerintah Kerajaan Sunda Galuh di Kawali pada tahun 1333 M. Sedangkan putra sulung Ajiguna Linggawisesa yaitu Ragamulya Luhur Prabawa kelak menjadi penguasa berikutnya di Kawali.
Namun dalam keterangan selanjutnya, Shahidi mengisahkan Eyang Mangkubumi dan Eyang Langlangbuana ini konon berasal dari Jawa Tengah dan melakukan perjalanan menuju Panjalu. Namun kedatangannya tidak diterima oleh penguasa Panjalu, mereka akhirnya beristirahat di Batu Panjang. Larangan itu mereka laporkan ke Raden Panglurah di Gunung Bitung. Raden Panglurah laporan ke Sanghyang Talaga, dan Sanghyang Talaga laporan ke Cirebon. Akhirnya oleh Cirebon diputuskan mereka berdua disuruh tinggal di wilayah Jahim. Dan kalau terjadi apa-apa disuruh lapor ke Cirebon. Dalam kisah ini maka Nama Raden Panglurah menjadi simpul penting karena kejelasan asal usulnya. Dia adalah Putra cikal Prabu Talagamanggung yang tidak berminat menjadi raja, namun memilih menjadi biksu budha di Gunung Bitung.
Kakeknya bernama Rajaguru Darmasuci, adalah putra sulung Sang Sudayosa. Darmasucilah tokoh yang merubah padepokan Budha Gunung Bitung menjadi Kerajaan bercorak Budha Talaga yang Pusat pemerintahanya bergeser ke wilayah Talaga. Kerajaan ini berada di bawah kekuasaan Sunda Galuh Kawali yang saat itu dipimpin oleh Niskala Wastu Kancana (1371 M-1475 M). Dari garis keturunan, maka Raden Panglurah adalah sifat cucu Wastu Kancana, karena bao-nya, yaitu Suryadewata adalah adik Ragamulya Luhur Prabawa (Kakek NiskalaWastu Kancana).

dari kisah Ki Shahidi bisa direkontruksi menjadi sebuah analisa kejadian. Anggap saja ini hanya "meureun dan sugan". Namun walau demikian susuganan tersebut tetap bersandar dari sekian data yang telah di telaah di lapangan. Tafsiran saya, bisa saja mereka berdua berniat menyebarkan agama budha di Panjalu, namun tidak diiizinkan karena perbedaan mazhab. Aliran Sarwastiwada merupakan bagian dari Budha Hinayana yang berorientasi pada tingkatan arhat nirwana, sedangkan kedua bhiksu itu ingin mengembangkan faham budha Mahayana yang berorientasi pada tingkatan yang lebih tinggi lagi, yaitu menjadi budha. Akhirnya mereka meminta tolong pada Raden Panglurah sebagai sesama penganut agama Budha. Namun karena menyangkut agama dan kerajaan, maka Raden Panglurah meminta pendapat pada ayahnya, Prabu Talagamanggung (Sanghyang Talaga) yang menganut Budha Hinayana Sarwatiwada.
Demikian pula Sanghyang Talaga merasa perlu untuk meminta pendapat kepada Pihak Cirebon. Yang dimaksud pihak Cirebon disini kemungkinan adalah putra Bunisora Suradipati yaitu Ki Gedeng Kasmaya (Giridewata) yang berkuasa di Carbon Girang dan Surawijaya Sakti, penguasa Wilayah di Singapura (Mertasinga, Cirebon) yang merupakan putra Niskala Wastukancana dari Mayangsari. Kedua tokoh tersebut sejaman dengan Prabu Talagamanggung. Akhirnya atas musyawarah para putra Niskala Wastu Kancana dan Bunisora Suradipati,keduanya diizinkan untuk tinggal di Jahim. Bahkan keduanya mendapat jaminan.


Menafsir Nama
Madati berasal dari bahasa Kawi yaitu Madhati yang berarti naik pedati, Kata inilah yang sedikit menjelaskan tentang pengaruh Budha Mahayana di wilayah ini, bersanding dengan Budha Hinayana Sarwastiwada yang sudah berkembang lebih dulu. Naskah Sewaka Darma menyatakan tentang kiasan Panca Tathagata dengan kalimat sampangan mangregat lima Na jalan pa[da] tiageung” (Sewaka, 28: 8—9) yang artinya : Simpang jalan terbagi lima, itu jalan pedati besar. Menurut filolog Aditya Gunawan pernyataan tersebut sebenarnya merupakan perumpamaan bagi PancaTathagata yang terdiri dari Amitabha (barat), Amoghasiddhi (utara), Aksobhya (timur), Ratnasambhawa (selatan), dan Wairocana (tengah). Merekalah yang telah memperoleh jalan keBuddhaan. Para Buddha tersebut hanya dikenal dalam ajaran Mahayana yang artinya pedati besar, ataujuga golongan Mahasanghika yang menyetujui adanya perubahan-perubahan (Hadiwijono 1982: 67), oleh karena itu disebut dengan na jalan padati ageung.
Madhati (naik kereta/pedati) merupakan cara untuk mencapai jalan kebudddhaan dengan cara mengdalami Panca Tathataga (disebut juga Panca Dhyani Budha). AliranMahayana memiliki kesamaan dengan Hindu karena adanya pantheon atau anasir yangmenguasai mata angin sehingga aliran ini mudah bersinkretis dengan agama Hindu. Wairocana yang berada di tengah berarti sumber cahaya dengan warna Putih. Sikapnya Witarka-Mudra, Unsurbhuttha-nya Tanah, skandhanya adalah rupa, dan unsur indranya penciuman (hidung), sepertinya merujuk pada Batu Panjang.


Dan lagi-lagi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Ciamis yang mengurus bagian sejarah memang terkesan hoream untuk memperhatikan tinggalan budaya yang berharga ini. Entah karena situs ini kurang dikenal atau karena berada paling ujung kabupaten yang jauh untuk disaba, atau entah karena geus kitu watek pagawena. Karena jika dibiarkan maka lambat laun tanda-tanda sejarah yang ada di Situs Batu Susun Jahim ini akan semakin sulit diidentifikasi lagi. Apalagi saat ini sedang gencar-gencarnya ekskavasi Gunung Padang Cianjur. Tidak menutupkemungkinan kandungan sejarah Situs Batu Panjang Jahim memiliki kesamaan dengan situs Gunung Padang Cianjur. Selain unsur sejarahnya, faktor keindahan alam dan beberapa potensi lainnya seperti adanya telaga, sebetulnya dapat di kembangkan untuk tujuan wisata. Apalagi sarana jalan dan arus lalu lintas sangat mendukung untuk tujuan itu. Maka, situs ini harus secepatnya diteliti, dilindungi dan kemudian dikembangkan sebagai cagar budaya sejarah, alam sekaligus tempat tujuan wisata. Tabe Pun.
Penulis adalah penggemar kopi
