Tampilkan postingan dengan label Tapak Karuhun. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tapak Karuhun. Tampilkan semua postingan
Tradisi adat dan budaya Misalin 2015 Bojong Galuh Salawe part 3
Kesenian Lembur Salawe Tapak KaruhunTradisi Adat Dan Budaya Misalin 2015 di Situs Bojong Galuh Salawe part 2
Kesenian Lembur Salawe Tapak KaruhunTradisi Adat dan Budaya Tahunan MISALIN 2015. part .1
Kesenian Lembur Salawe Tapak Karuhun
Misalin adalah sebuah tradisi adat budaya tahunan yang selalu di peringati oleh masyrakat '' Kampung Salawe'' bila akan menyambut bulan suci Romadhon lokasinya Di Situs Sanghiyang Cipta Permana Prabu Digaluh Salawe berada di Dusun Tunggalrahayu Desa Cimaragas Kecamatan Cimaragas Kab. Ciamis.tradisi ini sudah turun temurun yg sudah hampir ratusan tahun di laksanakan.sampai sekarang. .

BATU PANJANG JAHIM SUKAMANTRI (Bag.3-Tamat)
Tapak Karuhun
Oleh Pandu Radea
Komunitas Tapak Karuhun

Batara Gunung Bitung
Sepertinya posisi geografis dari Pegunungan Madati yang sejak megalitikum dijadikan pusat religi, menjadi acuan bagi Sang Sudayosa (Batara Gunung Bitung) untuk mendirikan Padepokan Agama Budha Sarwastiwada di Gunung Bitung. Padepokan Agama Budha terbesar di sunda galuh dan dikenal luas sampai Sumatera. Sudhayosa adalah putra Suryadewata. Sedangkan Suryadewata putra ke tiga dari Prabu Ajiguna Linggawisesa dan Ratna Uma lestari yang memerintah Kerajaan Sunda Galuh di Kawali pada tahun 1333 M. Sedangkan putra sulung Ajiguna Linggawisesa yaitu Ragamulya Luhur Prabawa kelak menjadi penguasa berikutnya di Kawali.
Namun dalam keterangan selanjutnya, Shahidi mengisahkan Eyang Mangkubumi dan Eyang Langlangbuana ini konon berasal dari Jawa Tengah dan melakukan perjalanan menuju Panjalu. Namun kedatangannya tidak diterima oleh penguasa Panjalu, mereka akhirnya beristirahat di Batu Panjang. Larangan itu mereka laporkan ke Raden Panglurah di Gunung Bitung. Raden Panglurah laporan ke Sanghyang Talaga, dan Sanghyang Talaga laporan ke Cirebon. Akhirnya oleh Cirebon diputuskan mereka berdua disuruh tinggal di wilayah Jahim. Dan kalau terjadi apa-apa disuruh lapor ke Cirebon. Dalam kisah ini maka Nama Raden Panglurah menjadi simpul penting karena kejelasan asal usulnya. Dia adalah Putra cikal Prabu Talagamanggung yang tidak berminat menjadi raja, namun memilih menjadi biksu budha di Gunung Bitung.
Kakeknya bernama Rajaguru Darmasuci, adalah putra sulung Sang Sudayosa. Darmasucilah tokoh yang merubah padepokan Budha Gunung Bitung menjadi Kerajaan bercorak Budha Talaga yang Pusat pemerintahanya bergeser ke wilayah Talaga. Kerajaan ini berada di bawah kekuasaan Sunda Galuh Kawali yang saat itu dipimpin oleh Niskala Wastu Kancana (1371 M-1475 M). Dari garis keturunan, maka Raden Panglurah adalah sifat cucu Wastu Kancana, karena bao-nya, yaitu Suryadewata adalah adik Ragamulya Luhur Prabawa (Kakek NiskalaWastu Kancana).
Lantas
siapakah yang disebut Mangkubumi dan Langlangbuana yang berasal dari
Jawa Tengah ini? Kuncen Shahidin menyebutkan keduanya dari sekitar
wilayah Jogjakarta atau dari wilayah kekuasaan Mataram. Analisa
sementara, kemungkinan kedua tokoh ini merupakan bhiksu atau penganut
Budha yang menyelamatkan diri saat daerah jawa dilanda Perang Paregreg yang berkecamuk tahun 1453 M -1456M. Saat itu Niskala Wastu Kancana dan Darmasuci masih hidup. Namun Kawali sudah dirajai oleh Dewa Niskala. Akibat paregreg, ada Rombongan Raden Baribin dari Majapahit yang mengungsi ke Kawali. Mungkin saja kedua tokoh diatas termasuk dalam rombongan.
dari kisah Ki Shahidi bisa direkontruksi menjadi sebuah analisa kejadian. Anggap saja ini hanya "meureun dan sugan". Namun walau demikian susuganan tersebut tetap bersandar dari sekian data yang telah di telaah di lapangan. Tafsiran saya, bisa saja mereka berdua berniat menyebarkan agama budha di Panjalu, namun tidak diiizinkan karena perbedaan mazhab. Aliran Sarwastiwada merupakan bagian dari Budha Hinayana yang berorientasi pada tingkatan arhat nirwana, sedangkan kedua bhiksu itu ingin mengembangkan faham budha Mahayana yang berorientasi pada tingkatan yang lebih tinggi lagi, yaitu menjadi budha. Akhirnya mereka meminta tolong pada Raden Panglurah sebagai sesama penganut agama Budha. Namun karena menyangkut agama dan kerajaan, maka Raden Panglurah meminta pendapat pada ayahnya, Prabu Talagamanggung (Sanghyang Talaga) yang menganut Budha Hinayana Sarwatiwada.
Demikian pula Sanghyang Talaga merasa perlu untuk meminta pendapat kepada Pihak Cirebon. Yang dimaksud pihak Cirebon disini kemungkinan adalah putra Bunisora Suradipati yaitu Ki Gedeng Kasmaya (Giridewata) yang berkuasa di Carbon Girang dan Surawijaya Sakti, penguasa Wilayah di Singapura (Mertasinga, Cirebon) yang merupakan putra Niskala Wastukancana dari Mayangsari. Kedua tokoh tersebut sejaman dengan Prabu Talagamanggung. Akhirnya atas musyawarah para putra Niskala Wastu Kancana dan Bunisora Suradipati,keduanya diizinkan untuk tinggal di Jahim. Bahkan keduanya mendapat jaminan.
Adanya
interaksi dengan Cirebon ditandai dengan mangkuk kuno yang saya temukan
dilereng barat, jaraknya sekitar 500 meter dari Kabuyutan Batu Panjang.
Di area perkebunan juga terdapat gugusan batu panjang. Menurut Kuncen
Shahidin batu panjang itu merupakan arah datang Eyang Mangkubumi dan
Eyang Langlangbuana. Di sebelahnya terdapat bukit kecil yang lebat
ditumbuhi perdu dan beberapa pohon besar. Ternyata bukit itu merupakan
pekuburan kuno yang tak terurus. Mangkuk itu didapat dari salah satu
tetengger batu dengan kondisi masih utuh namun sedikit pecah pinggirnya.
Berdasarkan
bentuk kakinya, Nanang Saptono, arkeolog ahli pemukiman masa klasik
dari Balai Arkeologi Bandung memperkirakan mangkuk tersebut buatan cina
masa dinasti Ming yang diproduksi di Swatouw abad 15 – 17M. Produk
keramik dari Dinasty Ming ini memang membanjiri asia tenggara
dandiproduksi untuk membiayai perang melawan"pemberontak" Mongolia.
Olehkarena itu bentuknya terkesanasal-asalan. Di duga masuk ke
Indonesia melalui Pelabuhan Kerajaan Sunda di Cimanuk Indramayu yang
kini sudah hilang jejaknya.
Menafsir Nama
Madati berasal dari bahasa Kawi yaitu Madhati yang berarti naik pedati, Kata inilah yang sedikit menjelaskan tentang pengaruh Budha Mahayana di wilayah ini, bersanding dengan Budha Hinayana Sarwastiwada yang sudah berkembang lebih dulu. Naskah Sewaka Darma menyatakan tentang kiasan Panca Tathagata dengan kalimat sampangan mangregat lima Na jalan pa[da] tiageung” (Sewaka, 28: 8—9) yang artinya : Simpang jalan terbagi lima, itu jalan pedati besar. Menurut filolog Aditya Gunawan pernyataan tersebut sebenarnya merupakan perumpamaan bagi PancaTathagata yang terdiri dari Amitabha (barat), Amoghasiddhi (utara), Aksobhya (timur), Ratnasambhawa (selatan), dan Wairocana (tengah). Merekalah yang telah memperoleh jalan keBuddhaan. Para Buddha tersebut hanya dikenal dalam ajaran Mahayana yang artinya pedati besar, ataujuga golongan Mahasanghika yang menyetujui adanya perubahan-perubahan (Hadiwijono 1982: 67), oleh karena itu disebut dengan na jalan padati ageung.
Madhati (naik kereta/pedati) merupakan cara untuk mencapai jalan kebudddhaan dengan cara mengdalami Panca Tathataga (disebut juga Panca Dhyani Budha). AliranMahayana memiliki kesamaan dengan Hindu karena adanya pantheon atau anasir yangmenguasai mata angin sehingga aliran ini mudah bersinkretis dengan agama Hindu. Wairocana yang berada di tengah berarti sumber cahaya dengan warna Putih. Sikapnya Witarka-Mudra, Unsurbhuttha-nya Tanah, skandhanya adalah rupa, dan unsur indranya penciuman (hidung), sepertinya merujuk pada Batu Panjang.
Sedangkan Jahim berasal
dari bahasa arab yang merujuk pada salah satu neraka dalam Islam. Nama
ini berindikasi kuat muncul pada masa awal penyebaran Islam oleh Cirebon
ke wilayah Pajajaran. Namun kenapa kawasan Batu Panjang yang indah ini
disebut neraka? Analisa yang masuk akal berkaitan dengan dogma agama.
Konsep religi dan kegiatan pemujaan terhadap ageman di luar Islam yang
telah ada dikawasan ini jelas bertentangan dengan penyebaran Islam waktu
itu. Hal-hal yang bertentangan tersebut akhirnya dikafirkan dan
neraka(jahim) jaminannya. Simbol-simbol pemujaan lama yang berada di
Kabuyutan Batu Panjang seperti kemungkinan adanya arca atau bahkan
bangunan ibadah sederhana juga dihancurkan. Karena jika dibiarkan akan
merusak akidah dalam proses Islamisasi yang dilakukan oleh Cirebon pasca
runtuhnya Pajajaran. Begitu kuatnya orientasi Islam untuk mengikis
unsur wiwitan dan hindu budha di wilayah ini, jejaknya dapat dilihat
dari Situ Lengkong Panjalu (berjarak sekitar 8 km dari Batu Panjang)
yang saat ini merupakan salah tujuan wisata ziarah penting di Jawa Barat
dan banyak dikunjungi peziarah dari berbagi pelosok tanah air.
Yang
jelas dari tebalnya kabut sejarah Batu Panjang Jahim, setidaknya ada
beberapa tanda yang dapat dibaca dan ditafsirkan walau hanya merupakan
analisa yang masih jauh dari kebenarannya. Sayangnya, tatanan batu yang
ada saat ini sudah tidak asli lagi posisinya. Seperti pada beberapa
pasang batu yang saling ditautkan atau dikomposisikan membentuk simbol
baru berdasarkan presepsi dan tafsir darisegelintir orang. Pintu
masukpun dirubah dengan membersihkan area sebelah utara. Adanya
perubahan itu tentu nantinya akan menyulitkan jika ada penelitian
ilmiah. Terutama mengidentifikasi dari keletakan batu yang sudah tidak
asli lagi posisinya.
Dan lagi-lagi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Ciamis yang mengurus bagian sejarah memang terkesan hoream untuk memperhatikan tinggalan budaya yang berharga ini. Entah karena situs ini kurang dikenal atau karena berada paling ujung kabupaten yang jauh untuk disaba, atau entah karena geus kitu watek pagawena. Karena jika dibiarkan maka lambat laun tanda-tanda sejarah yang ada di Situs Batu Susun Jahim ini akan semakin sulit diidentifikasi lagi. Apalagi saat ini sedang gencar-gencarnya ekskavasi Gunung Padang Cianjur. Tidak menutupkemungkinan kandungan sejarah Situs Batu Panjang Jahim memiliki kesamaan dengan situs Gunung Padang Cianjur. Selain unsur sejarahnya, faktor keindahan alam dan beberapa potensi lainnya seperti adanya telaga, sebetulnya dapat di kembangkan untuk tujuan wisata. Apalagi sarana jalan dan arus lalu lintas sangat mendukung untuk tujuan itu. Maka, situs ini harus secepatnya diteliti, dilindungi dan kemudian dikembangkan sebagai cagar budaya sejarah, alam sekaligus tempat tujuan wisata. Tabe Pun.
Penulis adalah penggemar kopi

Komunitas Tapak Karuhun

Batara Gunung Bitung
Sepertinya posisi geografis dari Pegunungan Madati yang sejak megalitikum dijadikan pusat religi, menjadi acuan bagi Sang Sudayosa (Batara Gunung Bitung) untuk mendirikan Padepokan Agama Budha Sarwastiwada di Gunung Bitung. Padepokan Agama Budha terbesar di sunda galuh dan dikenal luas sampai Sumatera. Sudhayosa adalah putra Suryadewata. Sedangkan Suryadewata putra ke tiga dari Prabu Ajiguna Linggawisesa dan Ratna Uma lestari yang memerintah Kerajaan Sunda Galuh di Kawali pada tahun 1333 M. Sedangkan putra sulung Ajiguna Linggawisesa yaitu Ragamulya Luhur Prabawa kelak menjadi penguasa berikutnya di Kawali.
Namun dalam keterangan selanjutnya, Shahidi mengisahkan Eyang Mangkubumi dan Eyang Langlangbuana ini konon berasal dari Jawa Tengah dan melakukan perjalanan menuju Panjalu. Namun kedatangannya tidak diterima oleh penguasa Panjalu, mereka akhirnya beristirahat di Batu Panjang. Larangan itu mereka laporkan ke Raden Panglurah di Gunung Bitung. Raden Panglurah laporan ke Sanghyang Talaga, dan Sanghyang Talaga laporan ke Cirebon. Akhirnya oleh Cirebon diputuskan mereka berdua disuruh tinggal di wilayah Jahim. Dan kalau terjadi apa-apa disuruh lapor ke Cirebon. Dalam kisah ini maka Nama Raden Panglurah menjadi simpul penting karena kejelasan asal usulnya. Dia adalah Putra cikal Prabu Talagamanggung yang tidak berminat menjadi raja, namun memilih menjadi biksu budha di Gunung Bitung.
Kakeknya bernama Rajaguru Darmasuci, adalah putra sulung Sang Sudayosa. Darmasucilah tokoh yang merubah padepokan Budha Gunung Bitung menjadi Kerajaan bercorak Budha Talaga yang Pusat pemerintahanya bergeser ke wilayah Talaga. Kerajaan ini berada di bawah kekuasaan Sunda Galuh Kawali yang saat itu dipimpin oleh Niskala Wastu Kancana (1371 M-1475 M). Dari garis keturunan, maka Raden Panglurah adalah sifat cucu Wastu Kancana, karena bao-nya, yaitu Suryadewata adalah adik Ragamulya Luhur Prabawa (Kakek NiskalaWastu Kancana).

dari kisah Ki Shahidi bisa direkontruksi menjadi sebuah analisa kejadian. Anggap saja ini hanya "meureun dan sugan". Namun walau demikian susuganan tersebut tetap bersandar dari sekian data yang telah di telaah di lapangan. Tafsiran saya, bisa saja mereka berdua berniat menyebarkan agama budha di Panjalu, namun tidak diiizinkan karena perbedaan mazhab. Aliran Sarwastiwada merupakan bagian dari Budha Hinayana yang berorientasi pada tingkatan arhat nirwana, sedangkan kedua bhiksu itu ingin mengembangkan faham budha Mahayana yang berorientasi pada tingkatan yang lebih tinggi lagi, yaitu menjadi budha. Akhirnya mereka meminta tolong pada Raden Panglurah sebagai sesama penganut agama Budha. Namun karena menyangkut agama dan kerajaan, maka Raden Panglurah meminta pendapat pada ayahnya, Prabu Talagamanggung (Sanghyang Talaga) yang menganut Budha Hinayana Sarwatiwada.
Demikian pula Sanghyang Talaga merasa perlu untuk meminta pendapat kepada Pihak Cirebon. Yang dimaksud pihak Cirebon disini kemungkinan adalah putra Bunisora Suradipati yaitu Ki Gedeng Kasmaya (Giridewata) yang berkuasa di Carbon Girang dan Surawijaya Sakti, penguasa Wilayah di Singapura (Mertasinga, Cirebon) yang merupakan putra Niskala Wastukancana dari Mayangsari. Kedua tokoh tersebut sejaman dengan Prabu Talagamanggung. Akhirnya atas musyawarah para putra Niskala Wastu Kancana dan Bunisora Suradipati,keduanya diizinkan untuk tinggal di Jahim. Bahkan keduanya mendapat jaminan.


Menafsir Nama
Madati berasal dari bahasa Kawi yaitu Madhati yang berarti naik pedati, Kata inilah yang sedikit menjelaskan tentang pengaruh Budha Mahayana di wilayah ini, bersanding dengan Budha Hinayana Sarwastiwada yang sudah berkembang lebih dulu. Naskah Sewaka Darma menyatakan tentang kiasan Panca Tathagata dengan kalimat sampangan mangregat lima Na jalan pa[da] tiageung” (Sewaka, 28: 8—9) yang artinya : Simpang jalan terbagi lima, itu jalan pedati besar. Menurut filolog Aditya Gunawan pernyataan tersebut sebenarnya merupakan perumpamaan bagi PancaTathagata yang terdiri dari Amitabha (barat), Amoghasiddhi (utara), Aksobhya (timur), Ratnasambhawa (selatan), dan Wairocana (tengah). Merekalah yang telah memperoleh jalan keBuddhaan. Para Buddha tersebut hanya dikenal dalam ajaran Mahayana yang artinya pedati besar, ataujuga golongan Mahasanghika yang menyetujui adanya perubahan-perubahan (Hadiwijono 1982: 67), oleh karena itu disebut dengan na jalan padati ageung.
Madhati (naik kereta/pedati) merupakan cara untuk mencapai jalan kebudddhaan dengan cara mengdalami Panca Tathataga (disebut juga Panca Dhyani Budha). AliranMahayana memiliki kesamaan dengan Hindu karena adanya pantheon atau anasir yangmenguasai mata angin sehingga aliran ini mudah bersinkretis dengan agama Hindu. Wairocana yang berada di tengah berarti sumber cahaya dengan warna Putih. Sikapnya Witarka-Mudra, Unsurbhuttha-nya Tanah, skandhanya adalah rupa, dan unsur indranya penciuman (hidung), sepertinya merujuk pada Batu Panjang.


Dan lagi-lagi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Ciamis yang mengurus bagian sejarah memang terkesan hoream untuk memperhatikan tinggalan budaya yang berharga ini. Entah karena situs ini kurang dikenal atau karena berada paling ujung kabupaten yang jauh untuk disaba, atau entah karena geus kitu watek pagawena. Karena jika dibiarkan maka lambat laun tanda-tanda sejarah yang ada di Situs Batu Susun Jahim ini akan semakin sulit diidentifikasi lagi. Apalagi saat ini sedang gencar-gencarnya ekskavasi Gunung Padang Cianjur. Tidak menutupkemungkinan kandungan sejarah Situs Batu Panjang Jahim memiliki kesamaan dengan situs Gunung Padang Cianjur. Selain unsur sejarahnya, faktor keindahan alam dan beberapa potensi lainnya seperti adanya telaga, sebetulnya dapat di kembangkan untuk tujuan wisata. Apalagi sarana jalan dan arus lalu lintas sangat mendukung untuk tujuan itu. Maka, situs ini harus secepatnya diteliti, dilindungi dan kemudian dikembangkan sebagai cagar budaya sejarah, alam sekaligus tempat tujuan wisata. Tabe Pun.
Penulis adalah penggemar kopi


MACATANDA PERADABAN PURBA KABUYUTAN BATU PANJANG JAHIM SUKAMANTRI (Bag.2)
Tapak KaruhunOleh Pandu Radea
Komunitas Tapak Karuhun

Batu Panjang dalam Kosmologi kunoBudaya dan peradaban terus berkelindan. Batu Panjang Jahim pun perkembangannya bersentuhan dengan tradisi budaya megalitikum. Analisa ini dapat dilacak berdasarkan kisah yang disampaikan oleh Kuncen Shahidin yang menyebut nama Nyi Dewi Sri Pohaci sebagai sosok yang disakralkan. Selain itu juga disebutkan dua figur lainnya yaitu Eyang Mangkubumi dan Eyang Langlangbuana. Sri Pohaci merupakan sosok yang sudah dikenal luas dalam kosmologi sunda berkaitan dengan asal usul tanaman padi. Kisahnya dapat dibaca dalam pantun Sri Sadana dan Sulanjana.
Sampai saat ini tak ada kepastian sejak kapan pemahaman terhadap Sanghyang Sri Pohaci ini muncul. Namun bisa diduga seiring dengan dikenalnya tumbuhan padi yang diprediksi telah ada sejak 3000 Tahun SMdi Cina. Jika itu benar, maka Nyi Dewi Sri Pohaci merupakan simbol artefak yang lahir di peradaban purba nusantara pada masa megalitikum-neolitikum. Sedangkan dua tokoh lainnya secara umum namanya dikenal di banyak kabuyutan sebagai gelaran yang menjadi ciri pada masa sejarah klasik. Analisa ini semakin tumbuk karena Kuncen Shahidin menuturkan bahwa dua tokoh tersebut memiliki keterkaitan dengan sosok Raden Panglurah dari Gunung Bitung.
Konsep kosmologi Situs Batu Jahim diantaranya dapat ditafsirkan berdasarkan letak geografisnya. Dari analisa sementara,Google Earth menunjukan bahwa Situs Batu Panjang Jahim terletak di tengah empat gunung yang sejak jaman purba yang merupkan pusat-pusat kabataraan yang sangat disakralkan. Yaitu, Gunung Ceremai di timur laut, Gunung Sawal sebelah selatan, Gunung Cakrabuana di barat dan Gunung Galunggung di arah baratdaya. Lepas ke utara lagi berhadapan dengan Laut Jawa dan arah selatan ke Samudra Indonesia. Sedangkan pintu masuknya menghadap timur membujur ke barat.
Apakah posisi arah mata angin gunung-gunung tersebut memiliki makna? Hal ini bisa dirujuk dari naskah Sanghyang Siksakandang Karesian : Lamun pahi kaopeksa sanghyang wuku lima (dina) bwana, boa halimpu ikangdesa kabeh. Desa kabeh ngaranya: purba, daksina, pasima, utara, madya. Purba,timur, kahanan Hyang Isora, putih rupanya: daksina, kidul, (kahanan Hyang Brahma, mirah rupanya; Pasima, kulon, kahanan Hyang Mahadewa, kuning (rupanya);utara, lor, kahanan Hyang Wisnu, hideung rupanya; madya, tengah, kahanan HyangSiwah, (aneka) warna rupanya. Nya mana sakitu sanghyang wuku lima dina bwana.
Artinya :Kalau terpahami semua sanghiyang wuku lima di bumi, tentu (tampak) menyenangkan(keadaan) semua tempat. Tempat itu disebut: purwa, daksina, pasima, utara,madya. Purba yaitu timur, tempat Hyang Isora, putih warnanya. Daksina yaituselatan, tempat Hyang Brahma, merah warnanya. Pasima yaitu barat, tempat Hiyang Mahadewa, kuning warnanya. Utara yaitu utara, tempat Hyang Wisnu, hitamwarnanya. Madya yaitu tengah, tempat Hiyang Siwa, aneka macam warnanya. Yasekian wuku lima di bumi.
Orientasi empat gunung dalam arah kompas ternyata tidak begitu tepat dengan kedudukan arah yang disebutkan di dalam naskah. Namun sebelum mengenal arah utara-selatan dalam kompas, bangunan religi megalitikum selalu berpatokan pada matahari dengan arah timur – barat, sebagai tempat terbit dan tenggelamnya matahari. Ini merupakan lambang perjalanan manusia dari lahir(terbit) sampai mati (tenggelam). Dan Inilah pemaham religi tertua yang dapat difahami dari kabuyutan ini. Pada perkembangan religi berikutnya arah timur tetap dipertahankan dalam agama asli sunda, walau kemudian bersinkretis dengan pengaruh hindu dan budha.
Dari patokan arah timur sebagai arah hadap dan barat sebagai arah belakang, maka pembagian arah berkembang menjadi Hareup-tukang (depan-belakang) dan kenca-katuhu (kiri-kanan). Jika dikompaskan,maka timur adalah hareup, barat adalah tukang, kenca sebagai utara dan selatan merupakan katuhu. Masing-masing arah memiliki dewa yang menjaga dengan tugasnya masing-masing. Sedangkan pancernya adalah Gunung Madati. Garis segi empat dalam keletakan gunung membentuk bidang jajaran genjang yang memanjang ke arah Gunung Ceremai, jika diimajinasikan bidangini seperti arah mata panah dan diarahkan ke timur sebagai arah hadap utama maka bisa disimbolkan : Hareupna GunungCeremai (Isora) belakangnya Gunung Galunggung (Brahma), di kiri Gunung Cakrabuana (Wisnu), di kanan Gunung Sawal (Mahadewa) dan Gunung Madati ditengah (Siwa).
Jika kemudian ditafsirkan dengan perkmbangan kehidupan di mandala masing-masing gunung maka akan terlihat benang merahnya. Ceremai merupakan gunung tertinggi yang dekat dengan matahari menjadi arah suci tempat kedudukan Dewa Isora yang menyinari kehidupan. Gunung Galunggung yang disimbolkan dengan Brahma dengan gambaran seorang maharesi yang usianya melebihi alam semesta. Kawasan Kabataan Galunggung merupakan salah satu puseur religi yang sangat penting dan dihormati oleh kerajaan Sunda dan Galuh. Dari Kabataraan Galunggung banyak dilahirkan pemahaman tentang ajaran keagamaan, dari berbagai naskah kuno yang berasal dari kawasan ini.
Gunung Sawal disimbolkan dengan Mahadewa. Dewa keluhuran budi, kemuliaan, kepahlawanan dan keperkasaan. Sejarah menulis Kerajaan Galuh yang dirintis Wretikandayun mulai berkembang pesat dari kawasan Gunung Sawal. Di salah satu puncaknya Rabuyut Sawal yang memegang kitab Pustakaning Bala Sarewu (kitab strategi perang) membuka padepokan. Sehingga tak salah jika Sanjaya sebelum menjadi penguasa tanah jawa menggodok dirinya di tempat ini. Demikian pula pada periode berikutnya, dari lembah Gunung Sawal berkembang pesat Kerajaan Sunda Galuh Kawali yang mampu menandingi kebesaran Majapahit di Timur Jawa. Tercatat tiga orang rajanya yang lahir dan berkuasa di Kawali yaitu Linggabuana, Niskala WastuKancana dan Jayadewata namanya mewangi di nusantara dengan keluhuran, kemuliaan, keperkasaan dan Kepahlawanannya.
Gunung Cakrabuana yang disimbolkan Wisnu seolah menjadi penengah, pengatur dan pemelihara kehidupan di dunia. Kenyataannya Gunung ini adalah batas dari lima kabupaten yang memiliki sejarah penting di tatar sunda. Yaitu Ciamis, Majalengka, Kuningan, Tasikmalaya dan Garut. Sedangkan Siwa yang berkedudukan di Gunung Madati merupakan manifestasi dari penguasa alam madya yaitu manusia dan alamnya. Dialah yang yang bersifat membangun, menghancurkan dan banyak dipuja dikalangan pemeluk hindu.
Jika arah hadap dikembalikan lagi ke kutub utara, maka dalam pemahaman Astadikpalaka( 8 dewa penjaga), terkesan kuat Gunung Madati dan Situs Batu Jahim seperti halnya Gunung Mahameru. Keletakannya menyebutkan bahwa arah timur laut (Gunung Ceremai) merupakan arah yang paling diagungkan. tempat bersemayam Dewa Isana (Siwa) yang menguasai kekuatan alam. Selatan (Gunung Sawal) tempat Dewa Kala/Yama yang berkaitan dengan kematian. Barat (Gunung Cakrabuana) ditempati Dewa Baruna sebagai keluasan tanpa batas yang membersihkan kotoran. Dan baratdaya ditempati Dewa Nrrti (Rudra) yang menyimbolkan kesedihan.
Keempat arah itu mewakili unsur nista, madya utama, bawah-tengah-atas dan profan-netral-sakral. Dari konsep tersebut, dapat ditafsirkan pula bahwa posisi cekungan tempat gugusan batu yang menghadap timur laut-baratdaya bisa dipresepsikan : timur laut Gunung Ceremai sebagai arah sakral pemujaan. Sedangkan barat laut merupakan wilayah profan (bawah, dasar, awal)tempat bersemayam Nrrti, DewaKesedihan. Maka Situs Batu Jahim bisa disebut sebagai tempat penyucian. Dari kotor menjadi bersih, dari nista menjadi utama.
Tri Tangtu
Seperti ditulis di atas bahwa arah hadap pintu masuk yang mengarah ke timur menjadi penentu arah puja situs ini. Dalam pemahaman Sunda, timur juga identik dengan kehidupan karena arah terbitnya matahari tempat Dewa Isora. Ini sesuai dengan pemujaan terhadap Sanghyang Dewi Sri terkait dengan kesuburan. Bahkan lebih jauhnya arah timur menjadi konsep penting bagi religi purba masyarakat sunda yang dikenal memuja cahaya yang disimbolkan dengan matahari. Seperti gambar manusia kangkang yang dibuat oleh manusia purba di Situs Citapen Rancah juga menghadap ketimur.
Apabila
posisi Gunung Galunggung dihilangkan karena posisinya paling luar,
maka akan terkait dengan konsep tritunggal yang disebut terdiri
rama-resi-ratu, bayu-sabda-hedap, buana larang - buana panca tengah -
buana nyungcung. Gunung Ceremai yang berada di posisi timur laut
menjadi wilayah transisi Dewa Isora (Purwa-yangmenyinari kehidupan) di timur dan Dewa Wisnu (pemelihara kehidupan) di utara. Konsep Triwarga menyebutkan bahwa dalam kehidupan, Wisnuibarat prabu (ratu), Isora ibarat resi. Ratu memiliki tugas memimpin negara dan resi bertugas mikukuhkeun, manaungi, mengayomi agama
Gunung Sawal di arah selatan adalah tempatnya Dewa Brahma (Daksina-dewa penciptaan) yang diibaratkan rama (ayah) yang bertugas mengasuh, menasehati, membimbing ratu. Sedangkan Gunung Cakrabuana di sebelah Barat menjadi wilayah Dewa Siwa (pasima-netral) ditafsirkan sebagai marcapada atau kehidupan itu sendiri. Dan posisi GunungMadati yang berada ditengah (pancer) merupakan inti yang mengikat ketiganya,seperti yang terkandung dalam prinsip tilu sapamalu, dua sakarupa, hiji eta-etakeneh (Ciptagelar).
Dalam Naskah Siksakanda Ng Karesian disebutkan pula bahwa Ratu bakti ka dewata dan dewata bakti ka Hyang, maka posisis Gunung Madati yang berada di tengah (pancer) seolah mengisyarakan sebagai arah hadap dari ke tiga gunung yang ditempati dewa-dewa diatas. Maka Batu Susun Jahim merupakan Mandala Agung untuk melakukan sembah hyang sekaligus gerbang yang menghubungkan buana larang, buana pancatengah dengan buana nyungcung, wujud pemujaan terhadap Hyang sebagai Tuhan Yang Maha Tunggal. Hal ini semakin menegaskan bahwa tibaheula urang sunda geus boga Hyang Tunggal nu teu bisa dibandingkeunjeung ciptaanana, termasuk dengan panteon dewa sekalipun.
Talaga Renalaya dan Talaga Langarea
Sudahmenjadi
ciri, bahwa setiap kabuyutan atau pusat kegiatan religi selalu
berdekatan dengan sumber air. Baik itu sungai, telaga, kolam, mata air,
curug ataupun sumur. Jika Kabuyutan Batu Panjang memang pusat religi,
tentu sumber air itu tidak jauh letaknya. Karena gunung dan laut menjadi
simbol penting dalam konsep religi. Setelah menggali keterangan dari
beberapa warga setempat, ternyata di kawasan Jahim ada dua telaga yang
masih diingat.
Hal itu kemudian dipertegas oleh Kuncen Shahidin. Bahwa telaga yang pertama tepat berada di samping Kabuyutan Batu Panjang bagian utara luasnya sekitar 200 bata,mengarah timur barat. Telaga ini terbentuk secara alami karena berada di lembah dan sumber mata airnya sampai saat ini tetap mengalir. Tetapi karena tak terurus, telaga atau kolam besar ini akhirnya mengalami pendangkalan dan ditumbuhi oleh ilalang. Namun, jejaknya masih dapat dilihat. Selokan kecil yang mengalir jernih di depan situs, airnya berasal dari mata air talaga. Kuncen Shahidin masih ingat bahwa dulu tempat itu sering digunakan untuk memandikan kerbau. Malah dipinggir telaga sebelah barat terdapat makam yang tak dikenal lagi.
Sayangnya, saat saya bersama Ki Shahidin dan anggota Tapak Karuhun (Imank Pasha, TiziRakyan, Ridwan Hasyimi, Irvan Kivong dan Mulyo Suprio) mencoba menjelajahi wilayah bekas telaga ini, tidak berhasil menemukan sumber mata air dan batu yang disebutkan Ki Kuncen karena lebatnya tanaman perdu disepanjang lembah Batu panjang. Keterangan adanya telaga itu membuka ingatan beberapa tahun silam, saat saya ngobrol dengan seorang sesepuh di desa Cibeureum, bahwa di dekat karamat Batu Panjang Jahim terdapat balong yang cek kolot baheula disebut Renalaya. Mungkin talaga inilah yangdi maksud. Dalam bahasa kawi atau sangsekerta rena berarti ibu dan laya berarti tempat tinggal.
Dalam pemahaman sunda tokoh indung (ibu) sangat disakralkan bahkan memiliki sifat keilahian, mewakili aspek kehidupan,ciptaan, dan cinta kasih. Hal itu tersirat kuat dalam figur agung Sunan Ambu. Nyi Dewi Sri Pohaci yang dikenal sebagai karuhun Situs batu Panjang merupakan indikasi kuat adanya hubungan dengan Sunan Ambu. Pohaci berasal dari kata Pwah Aci yangberati hakikat keperempuanan. Dan tugas utama Dewi Sri Pohaci adalah pelaksana perintah Sunan Ambu di buana pancatengahuntuk melayani manusia.
Telaga kedua terdapat di sekitar 400 meter dari telaga pertama melewati tugu perbatasan kabupaten, lokasinya sudah masuk ke wilayah Majalengka. Telaga kecil ini masih terlihat jelas walau permukaanya sudah menjadi ranca yang ditutupi rumput. Sumber mata airnya juga masih mengalir dan menggenangi beberapa bagian permukaan telaga. Dipinggir bagian utara terdapat gundukan batu besar yang dulunya dikeramatkan. Sedangkan ditengah telaga terdapat nusa kecil yang ditumbuhi beberapa pohon pinus. Disela-sela pohon pinus ada dua pasang nisan batu yang jenis batunya seperti di Batu Panjang jahim.
Masyarakat setempat masih mengenal tempat itu sebagai balong keramat, walaupun demikian dari beberapa warga yang ditanya, tidak ada yang tahu siapa tokoh yang dikuburkan di tengahnya. Kemungkinan tokoh karuhun lembur atau jangan-jangan kubur dari Mangkubumi dan Langlangbuana. Kuncen Shahidin mengatakan wilayah ini disebut Langarea, yang merujuk pada nama telaga kecil itu. Sedangkan arti bebas kata langarea adalah sendiri dalam keramaian. Sayangnya tempat yang masih terasa wingit itu tidak ada juru kuncinya. Nusa mungilnya hanya disambangi para penyadap getah pinus.(Bersambung/HU.Kabar Priangan)

Komunitas Tapak Karuhun

Batu Panjang dalam Kosmologi kunoBudaya dan peradaban terus berkelindan. Batu Panjang Jahim pun perkembangannya bersentuhan dengan tradisi budaya megalitikum. Analisa ini dapat dilacak berdasarkan kisah yang disampaikan oleh Kuncen Shahidin yang menyebut nama Nyi Dewi Sri Pohaci sebagai sosok yang disakralkan. Selain itu juga disebutkan dua figur lainnya yaitu Eyang Mangkubumi dan Eyang Langlangbuana. Sri Pohaci merupakan sosok yang sudah dikenal luas dalam kosmologi sunda berkaitan dengan asal usul tanaman padi. Kisahnya dapat dibaca dalam pantun Sri Sadana dan Sulanjana.
Sampai saat ini tak ada kepastian sejak kapan pemahaman terhadap Sanghyang Sri Pohaci ini muncul. Namun bisa diduga seiring dengan dikenalnya tumbuhan padi yang diprediksi telah ada sejak 3000 Tahun SMdi Cina. Jika itu benar, maka Nyi Dewi Sri Pohaci merupakan simbol artefak yang lahir di peradaban purba nusantara pada masa megalitikum-neolitikum. Sedangkan dua tokoh lainnya secara umum namanya dikenal di banyak kabuyutan sebagai gelaran yang menjadi ciri pada masa sejarah klasik. Analisa ini semakin tumbuk karena Kuncen Shahidin menuturkan bahwa dua tokoh tersebut memiliki keterkaitan dengan sosok Raden Panglurah dari Gunung Bitung.
Konsep kosmologi Situs Batu Jahim diantaranya dapat ditafsirkan berdasarkan letak geografisnya. Dari analisa sementara,Google Earth menunjukan bahwa Situs Batu Panjang Jahim terletak di tengah empat gunung yang sejak jaman purba yang merupkan pusat-pusat kabataraan yang sangat disakralkan. Yaitu, Gunung Ceremai di timur laut, Gunung Sawal sebelah selatan, Gunung Cakrabuana di barat dan Gunung Galunggung di arah baratdaya. Lepas ke utara lagi berhadapan dengan Laut Jawa dan arah selatan ke Samudra Indonesia. Sedangkan pintu masuknya menghadap timur membujur ke barat.
Apakah posisi arah mata angin gunung-gunung tersebut memiliki makna? Hal ini bisa dirujuk dari naskah Sanghyang Siksakandang Karesian : Lamun pahi kaopeksa sanghyang wuku lima (dina) bwana, boa halimpu ikangdesa kabeh. Desa kabeh ngaranya: purba, daksina, pasima, utara, madya. Purba,timur, kahanan Hyang Isora, putih rupanya: daksina, kidul, (kahanan Hyang Brahma, mirah rupanya; Pasima, kulon, kahanan Hyang Mahadewa, kuning (rupanya);utara, lor, kahanan Hyang Wisnu, hideung rupanya; madya, tengah, kahanan HyangSiwah, (aneka) warna rupanya. Nya mana sakitu sanghyang wuku lima dina bwana.
Artinya :Kalau terpahami semua sanghiyang wuku lima di bumi, tentu (tampak) menyenangkan(keadaan) semua tempat. Tempat itu disebut: purwa, daksina, pasima, utara,madya. Purba yaitu timur, tempat Hyang Isora, putih warnanya. Daksina yaituselatan, tempat Hyang Brahma, merah warnanya. Pasima yaitu barat, tempat Hiyang Mahadewa, kuning warnanya. Utara yaitu utara, tempat Hyang Wisnu, hitamwarnanya. Madya yaitu tengah, tempat Hiyang Siwa, aneka macam warnanya. Yasekian wuku lima di bumi.
Orientasi empat gunung dalam arah kompas ternyata tidak begitu tepat dengan kedudukan arah yang disebutkan di dalam naskah. Namun sebelum mengenal arah utara-selatan dalam kompas, bangunan religi megalitikum selalu berpatokan pada matahari dengan arah timur – barat, sebagai tempat terbit dan tenggelamnya matahari. Ini merupakan lambang perjalanan manusia dari lahir(terbit) sampai mati (tenggelam). Dan Inilah pemaham religi tertua yang dapat difahami dari kabuyutan ini. Pada perkembangan religi berikutnya arah timur tetap dipertahankan dalam agama asli sunda, walau kemudian bersinkretis dengan pengaruh hindu dan budha.
Dari patokan arah timur sebagai arah hadap dan barat sebagai arah belakang, maka pembagian arah berkembang menjadi Hareup-tukang (depan-belakang) dan kenca-katuhu (kiri-kanan). Jika dikompaskan,maka timur adalah hareup, barat adalah tukang, kenca sebagai utara dan selatan merupakan katuhu. Masing-masing arah memiliki dewa yang menjaga dengan tugasnya masing-masing. Sedangkan pancernya adalah Gunung Madati. Garis segi empat dalam keletakan gunung membentuk bidang jajaran genjang yang memanjang ke arah Gunung Ceremai, jika diimajinasikan bidangini seperti arah mata panah dan diarahkan ke timur sebagai arah hadap utama maka bisa disimbolkan : Hareupna GunungCeremai (Isora) belakangnya Gunung Galunggung (Brahma), di kiri Gunung Cakrabuana (Wisnu), di kanan Gunung Sawal (Mahadewa) dan Gunung Madati ditengah (Siwa).
Jika kemudian ditafsirkan dengan perkmbangan kehidupan di mandala masing-masing gunung maka akan terlihat benang merahnya. Ceremai merupakan gunung tertinggi yang dekat dengan matahari menjadi arah suci tempat kedudukan Dewa Isora yang menyinari kehidupan. Gunung Galunggung yang disimbolkan dengan Brahma dengan gambaran seorang maharesi yang usianya melebihi alam semesta. Kawasan Kabataan Galunggung merupakan salah satu puseur religi yang sangat penting dan dihormati oleh kerajaan Sunda dan Galuh. Dari Kabataraan Galunggung banyak dilahirkan pemahaman tentang ajaran keagamaan, dari berbagai naskah kuno yang berasal dari kawasan ini.
Gunung Sawal disimbolkan dengan Mahadewa. Dewa keluhuran budi, kemuliaan, kepahlawanan dan keperkasaan. Sejarah menulis Kerajaan Galuh yang dirintis Wretikandayun mulai berkembang pesat dari kawasan Gunung Sawal. Di salah satu puncaknya Rabuyut Sawal yang memegang kitab Pustakaning Bala Sarewu (kitab strategi perang) membuka padepokan. Sehingga tak salah jika Sanjaya sebelum menjadi penguasa tanah jawa menggodok dirinya di tempat ini. Demikian pula pada periode berikutnya, dari lembah Gunung Sawal berkembang pesat Kerajaan Sunda Galuh Kawali yang mampu menandingi kebesaran Majapahit di Timur Jawa. Tercatat tiga orang rajanya yang lahir dan berkuasa di Kawali yaitu Linggabuana, Niskala WastuKancana dan Jayadewata namanya mewangi di nusantara dengan keluhuran, kemuliaan, keperkasaan dan Kepahlawanannya.
Gunung Cakrabuana yang disimbolkan Wisnu seolah menjadi penengah, pengatur dan pemelihara kehidupan di dunia. Kenyataannya Gunung ini adalah batas dari lima kabupaten yang memiliki sejarah penting di tatar sunda. Yaitu Ciamis, Majalengka, Kuningan, Tasikmalaya dan Garut. Sedangkan Siwa yang berkedudukan di Gunung Madati merupakan manifestasi dari penguasa alam madya yaitu manusia dan alamnya. Dialah yang yang bersifat membangun, menghancurkan dan banyak dipuja dikalangan pemeluk hindu.
Jika arah hadap dikembalikan lagi ke kutub utara, maka dalam pemahaman Astadikpalaka( 8 dewa penjaga), terkesan kuat Gunung Madati dan Situs Batu Jahim seperti halnya Gunung Mahameru. Keletakannya menyebutkan bahwa arah timur laut (Gunung Ceremai) merupakan arah yang paling diagungkan. tempat bersemayam Dewa Isana (Siwa) yang menguasai kekuatan alam. Selatan (Gunung Sawal) tempat Dewa Kala/Yama yang berkaitan dengan kematian. Barat (Gunung Cakrabuana) ditempati Dewa Baruna sebagai keluasan tanpa batas yang membersihkan kotoran. Dan baratdaya ditempati Dewa Nrrti (Rudra) yang menyimbolkan kesedihan.
Keempat arah itu mewakili unsur nista, madya utama, bawah-tengah-atas dan profan-netral-sakral. Dari konsep tersebut, dapat ditafsirkan pula bahwa posisi cekungan tempat gugusan batu yang menghadap timur laut-baratdaya bisa dipresepsikan : timur laut Gunung Ceremai sebagai arah sakral pemujaan. Sedangkan barat laut merupakan wilayah profan (bawah, dasar, awal)tempat bersemayam Nrrti, DewaKesedihan. Maka Situs Batu Jahim bisa disebut sebagai tempat penyucian. Dari kotor menjadi bersih, dari nista menjadi utama.
Tri Tangtu
Seperti ditulis di atas bahwa arah hadap pintu masuk yang mengarah ke timur menjadi penentu arah puja situs ini. Dalam pemahaman Sunda, timur juga identik dengan kehidupan karena arah terbitnya matahari tempat Dewa Isora. Ini sesuai dengan pemujaan terhadap Sanghyang Dewi Sri terkait dengan kesuburan. Bahkan lebih jauhnya arah timur menjadi konsep penting bagi religi purba masyarakat sunda yang dikenal memuja cahaya yang disimbolkan dengan matahari. Seperti gambar manusia kangkang yang dibuat oleh manusia purba di Situs Citapen Rancah juga menghadap ketimur.

Gunung Sawal di arah selatan adalah tempatnya Dewa Brahma (Daksina-dewa penciptaan) yang diibaratkan rama (ayah) yang bertugas mengasuh, menasehati, membimbing ratu. Sedangkan Gunung Cakrabuana di sebelah Barat menjadi wilayah Dewa Siwa (pasima-netral) ditafsirkan sebagai marcapada atau kehidupan itu sendiri. Dan posisi GunungMadati yang berada ditengah (pancer) merupakan inti yang mengikat ketiganya,seperti yang terkandung dalam prinsip tilu sapamalu, dua sakarupa, hiji eta-etakeneh (Ciptagelar).
Dalam Naskah Siksakanda Ng Karesian disebutkan pula bahwa Ratu bakti ka dewata dan dewata bakti ka Hyang, maka posisis Gunung Madati yang berada di tengah (pancer) seolah mengisyarakan sebagai arah hadap dari ke tiga gunung yang ditempati dewa-dewa diatas. Maka Batu Susun Jahim merupakan Mandala Agung untuk melakukan sembah hyang sekaligus gerbang yang menghubungkan buana larang, buana pancatengah dengan buana nyungcung, wujud pemujaan terhadap Hyang sebagai Tuhan Yang Maha Tunggal. Hal ini semakin menegaskan bahwa tibaheula urang sunda geus boga Hyang Tunggal nu teu bisa dibandingkeunjeung ciptaanana, termasuk dengan panteon dewa sekalipun.
Talaga Renalaya dan Talaga Langarea

Hal itu kemudian dipertegas oleh Kuncen Shahidin. Bahwa telaga yang pertama tepat berada di samping Kabuyutan Batu Panjang bagian utara luasnya sekitar 200 bata,mengarah timur barat. Telaga ini terbentuk secara alami karena berada di lembah dan sumber mata airnya sampai saat ini tetap mengalir. Tetapi karena tak terurus, telaga atau kolam besar ini akhirnya mengalami pendangkalan dan ditumbuhi oleh ilalang. Namun, jejaknya masih dapat dilihat. Selokan kecil yang mengalir jernih di depan situs, airnya berasal dari mata air talaga. Kuncen Shahidin masih ingat bahwa dulu tempat itu sering digunakan untuk memandikan kerbau. Malah dipinggir telaga sebelah barat terdapat makam yang tak dikenal lagi.
Sayangnya, saat saya bersama Ki Shahidin dan anggota Tapak Karuhun (Imank Pasha, TiziRakyan, Ridwan Hasyimi, Irvan Kivong dan Mulyo Suprio) mencoba menjelajahi wilayah bekas telaga ini, tidak berhasil menemukan sumber mata air dan batu yang disebutkan Ki Kuncen karena lebatnya tanaman perdu disepanjang lembah Batu panjang. Keterangan adanya telaga itu membuka ingatan beberapa tahun silam, saat saya ngobrol dengan seorang sesepuh di desa Cibeureum, bahwa di dekat karamat Batu Panjang Jahim terdapat balong yang cek kolot baheula disebut Renalaya. Mungkin talaga inilah yangdi maksud. Dalam bahasa kawi atau sangsekerta rena berarti ibu dan laya berarti tempat tinggal.
Dalam pemahaman sunda tokoh indung (ibu) sangat disakralkan bahkan memiliki sifat keilahian, mewakili aspek kehidupan,ciptaan, dan cinta kasih. Hal itu tersirat kuat dalam figur agung Sunan Ambu. Nyi Dewi Sri Pohaci yang dikenal sebagai karuhun Situs batu Panjang merupakan indikasi kuat adanya hubungan dengan Sunan Ambu. Pohaci berasal dari kata Pwah Aci yangberati hakikat keperempuanan. Dan tugas utama Dewi Sri Pohaci adalah pelaksana perintah Sunan Ambu di buana pancatengahuntuk melayani manusia.
Telaga kedua terdapat di sekitar 400 meter dari telaga pertama melewati tugu perbatasan kabupaten, lokasinya sudah masuk ke wilayah Majalengka. Telaga kecil ini masih terlihat jelas walau permukaanya sudah menjadi ranca yang ditutupi rumput. Sumber mata airnya juga masih mengalir dan menggenangi beberapa bagian permukaan telaga. Dipinggir bagian utara terdapat gundukan batu besar yang dulunya dikeramatkan. Sedangkan ditengah telaga terdapat nusa kecil yang ditumbuhi beberapa pohon pinus. Disela-sela pohon pinus ada dua pasang nisan batu yang jenis batunya seperti di Batu Panjang jahim.
Masyarakat setempat masih mengenal tempat itu sebagai balong keramat, walaupun demikian dari beberapa warga yang ditanya, tidak ada yang tahu siapa tokoh yang dikuburkan di tengahnya. Kemungkinan tokoh karuhun lembur atau jangan-jangan kubur dari Mangkubumi dan Langlangbuana. Kuncen Shahidin mengatakan wilayah ini disebut Langarea, yang merujuk pada nama telaga kecil itu. Sedangkan arti bebas kata langarea adalah sendiri dalam keramaian. Sayangnya tempat yang masih terasa wingit itu tidak ada juru kuncinya. Nusa mungilnya hanya disambangi para penyadap getah pinus.(Bersambung/HU.Kabar Priangan)


MACATANDA PERADABAN PURBA KABUYUTAN BATU PANJANG JAHIM SUKAMANTRI (Bag.1)
Tapak KaruhunOleh Pandu Radea
Musim kemarau tiba. Udara kering becampur debu dan rumput mulai
terlihat meranggas. Namun, nun jauh di puncak pegunungan Madati,
kesejukan alam masih terjaga dalam kerimbunannya. Pepohonan tetap
menghijau dan gemercik air masih terdengar. Itu yang terasa saat saya
dan beberapa anggota Komunitas Tapak Karuhun Galuh menyambangi situs
Batu Panjang di kawasan perkebunan pinus wilayah Jahim yang dikelola RPH
Madati BKPH Ciamis. Sebagian masyarakat di wilayah jahim bekerja
sebagai penyadap pinus. Sebagian lagi menjadi petani sayuran. Maka dari
itu bentangan plastik mulsa dan lahan sayuran akan mendominasi
perjalanan menuju puncak Jahim
Batu Panjang Jahim terletak di wilayah Dusun Cimara, Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Ciamis. Termasuk kabuyutan yang keletakannya berada paling utara Kabupaten Ciamis karena sekitar 200 meter ke arah utaranya lagi berdiri tapel wates kabupaten Ciamis dan Majalengka. Oleh Karena itu situs ini sering juga dianggap masuk ke Kabupaten Majalengka. Yang menjadi juru kuncinya saat ini adalah Ki Shahidin, rumahnya berada di kampung yang sama.
Kabuyutan Batu Panjang Jahim berada di ketinggian sekitar 1080 mdpl. Lokasinya tepat dipinggir jalan lintas desa yang cukup ramai dilalui kendaraan bermotor karena merupakan jalur alternatif yang menghubungkan kedua kabupaten. Ciri kabuyutannya dapat dilihat dari rimbunan pepohonan hutan yang masih tersisa diantara dominasi pohon-pohon pinus, sehingga mudah untuk mengenalinya. Keindahan alam sudah terasa manakala akan memasuki kawasan hutan pinus. Baik dari arah Majalengka maupun Ciamis panorama luas akan terhampar. Di Sebelah utara, ngemplang daerah Sawah Lega Cikijing dan sekitarnya, dari arah selatan membentang hamparan pesawahan Sukamantri dan sebagian Panjalu.
Keberadaan Situs Batu Panjang sudah dikenal sejak lama dikalangan masyarakat sekitarnya. Luasnya sekitar 500 meter persegi berada di kawasan Pegunungan Madati. Bagi sebagian masyarakat, pegunungan ini juga disebut Gunung Bitung karena terkait dengan keberadaan Situs Gunung Bitung yang berjarak beberapa kilometer ke arah timur, yaitu di Desa Wangkelang, Kampung Pawijen, Kecamatan Cingambul, Majalengka. Gunung Bitung sudah dikenal sebagai situs sejarah peninggalan masa klasik terkait dengan Kerajaan Sunda Galuh Kawali. Beberapa literatur, terutama Naskah Pustaka Rajya Rajya Bumi Nusantara menyebutkan bahwa Gunung Bitung merupakan cikal bakal KerajaanTalaga.
Sedangkan Situs Batu Panjang Jahim keberadaanya belum dikenal luas. apalagi kandungan sejarahnya. Padahal situs ini konon pernah diteliti, namun entah peneliti yangmana dan dari mana, karena sampai saat ini hasilnya belum tersebar dikalangan umum. Maka sampai saat ini, Batu Panjang tetap masih menjadi misteri yang laya kuntuk terus dikaji dan diteliti. Secara fisik, apa yang dapat dilihat di kabuyutan ini berupa kumpulan batu andesit berukuran besar dengan bentuk dominan panjang. Posisinya ada yang berdiri memancang dan rebah melintang, nyaris tak beraturan. Batu-batu panjang inilah yang melatar belakangi penamaan kabuyutan.
Gugusan bebatuan utama dari situs ini ini berada di cekungan lereng bukit dengan arah memanjang timur laut– barat daya. Lebar cekungan itu sekitar 8 meter dan panjangnya menanjak sekitar 30 meter. Ujung bukit yang mengarah ketimur merupakan bagian yang menurun, sekaligus sebagai gerbangnya, berhadapan tepat dengan jalan aspal. Sedangkan bagian baratnya merupakan lereng menuju puncak bukit. Di jalan masuk situs terdapat sekelompok batu panjang yang bertumpangan. Batu ini disebut masyarakat sebagai Batu Kendang, karena mirip alat musik kendang. Sesungguhnya sebaran batu berukuran panjang dan besar terlihat cukup banyak di wilayah sekitarnya. Sepertinya, jika lereng bukit itu dikupas akan tersusun dari bebatuan seperti itu.
Menurut keterangan Pak Shahidin, juru kunci yang sudah bertugas selama 20 tahun, wilayah sakralnya berada di sebelah selatan ditandai dengan kelompok batu yang berciri khusus. Ciri khusus ini berupa batu yang berdiri tegak setinggi kurang lebih 1,7 meter. Batu ini dikelilingi batu-batu panjang lainnya dengan posisi rebah maupun berdiri dengan psosisi lebih rendah. Didekatnya tumbuh Pohon Tanjung. Tidak Jauh dari kedua batu itu, terdapat sebuah batu yang juga dikeramatkan karena di dindingnya ada cekung-cekung kecil berjumlah 5 buah yang dianggap masyarakat setempat merupakan jejak kaki maung. Batu Tapak Maung ini tingginya sekitar 80 cm dan berdiameter 50cm. Bentuknya seperti batang pohon yang terpotong.
Sementara sebaran batu lainnya yang terhampar menurun ke arah timur laut juga seperti terkondisi membentuk semacam tatanan. Walau terkesan acak-acakan, namun beberapa susunan batu menyiratkan adanya pesan tertentu. Seperti misalnya batu besar yang berdiri tegak di disisi kiri dan kanan Seolah-olah merupakan lawang masuk ke area utama. Terdapat juga batu tegak yang dikelilingi kumpulan batu yang lebih kecil serta batu pasangan yang berdiri miring dan ujungnya saling tertaut membentuk bangun segitiga. Namun menurut saya, beberapa kedudukan batu di atas bukan formasi aslinya.
Teori Ketika Magma Membeku Dan Tradisi Megalitikum
Apa
yang terlihat di Situs Batu Panjang Jahim, merupakan ciri penting
tinggalan budaya dari masa megalitikum (megas berati besar, lithos
berarti batu). Dalam tradisi megalitikum, batu yang digunakan dapat
berupa satu batu tunggal (monolit), tumpukan batu besar maupun kecil,
atau susunan batu yang diatur dalam bentuk tertentu. Megalit seringkali
dipotong atau dipahat terlebih dahulu dan dibuat terkait dengan ritual
religius atau upacara-upacara tertentu seperti kematian atau masa tanam.
Beberapa ciri budaya megalitikum diantaranya menhir, dolmen, kubur batu, sarkofagus. Selain itu, batu dakon, batu kenong,waruga, batu lumpang pun termasuk ciri Megalitikum. Tidak semua mesti berciri primer batu saja, struktur ruangpun dapat menjadi ciri jaman mgelaitikum seperti punden berundak misalnya. Budaya Megalitikum berkembang antara 2500-1500 SM. Masa yang lebih muda disebut neolitikum (1000-100 SM) ditandai dengan batu-batu yang sudah mengalami proses penghalusan. Di tatar sunda, punden berundak, batu lumpang, batu dakon dan menhir termasuk paling banyak ditemukan tersebar di berbagai tempat. Situs Megalitikum terkenal yang jaraknya paling dekat dengan Batu Panjang Jahim adalah Situs Cipari di Kuningan dengan keberadaan peti kubur batunya.
Dari gambaran diatas, maka Kabuyutan batu panjang Jahim memenuhi unsur tradisi megalitik. Adanya menhir dari batu yangmasih utuh tegak berdiri, dan mungkin dolmen dari susunan batu yang rebah atau bertumpuk,memberi gambaran bahwa pada jamannya tempat ini merupakan wilayah sakral terutama pemujaan terhadap Hyang (sembah-hyang) dan unsur lainnya yang berhubungan dengan kesuburan
Batu-batu yang berserakan di Kabuyutan Batu Panjang Jahim ini mirip atau mungkin sejenis dengan bebatuan yang ada di Situs Gunung Padang Cianjur, Situs Pabahanan Majenang Cilacap dan bebatuan di Situs Lebak Sibedug Pandeglang. Situs-situs tersebut secara umum merupakan struktur ruang punden berundak yang juga didominasi batu-batu panjang.
Kenapa bebatuan seperti itu berada di Gunung Madati ? Dari beberapa sumber lisan, menyebutkan bahwa batu-batu panjang tersebut merupakan reruntuhan bangunan kuno. Bisa saja hal itu benar, bahwa jaman baheula ada bangunan sederhana yang terbentuk dari tatanan batu sebagai pusat ritual, atau memang kabuyutan ini adalah punden berundak seperti halnya Gunung Padang dan Lebak Sibedug namun hancur kemudian. Penyebab kehancurannya bisa disengaja atau terjadi secara alamiah.
Karena kemiripannya dengan Batu-batu yang ada di Gunung Padang Cianjur maka kemungkinan besar bebatuan jahim tersebut merupakan batuan andesit berupa stuktur tihang kekar (columnar Joint) yang terbentuk dari proses pendinginan aliran basalt. Pendinginan itu menyebabkan penyusutan, keretakan dan patahan membentuk tihang dengan pola hexagonal. Dari beberapa bentuk yang tidak umum maka tiang-tiang tersebut memiliki 3 hingga 12 sisi. Konon di Indonesia jarang ditemukan dengan bentuk jelas, namun di Situs Pabahanan Cilacap menunjukan sisi-sisi yang jelas. Batuan seperti ini posisinya cenderung berdiri vertikal dan ditemukandi daerah intrusif dangkal atau ektrusif tubuh batuan beku.
Analisa sementara dugaan adanya basalt yang muncul di wilayah Jahim bisa dikaitkan dengan pristiwa meletusnya Gunung Gegerhalang (Gunung Candradimuka) 7000 tahun SM. Gunung ini merupakan priode kedua setelah Gunung Plistosen yang meletus sebelumnya. Dari kaldera di sisi utara Gunung Gegerhalang ini lahirlah Gunung Ciremai yang dikenal saat ini. Ada analisa serupa yang ditulis dalam blog hutanrimbun.wordpress bahwa Sawah Lega yang terdapat di Wilayah Cikijing merupakan danau purba yang terbentuk berbarengan dengan lahirnya Gunung Api Gegerhalang.
Namun ketika Gegerhalang meletus dan melahirkan Gunung Ceremai, danau itu mungkin terkubur material letusan Gegerhalang sehingga terjadi pendangkalan dan berubah menjadi rawa. Danau Purba Cikijingini membentang dari timur hingga ke barat, di ujung barat dari danau ini mengalir sungai Cilutung dan sebelah selatan mengalir pula sebuah sungai ke arah Ciamis yang sekarang sudah hilang dan mungkin berubah jadi jalan raya Cingambul-Ciamis. Sungai-sungai ini berfungsi sebagai tempat buangan air dari danau purba tersebut.
Selain Gunung Gegerhalang yang berada di arah timur laut, maka di arah lainnya berdiriGunung Sawal, Gunung Cakrabuana dan Gunung Galunggung yang juga pernah meletus pada masanya. Jadi masuk akal jika akhirnya tersingkap batuan tihang kekar di Jahim karena lokasi ini memang berada di tengah dua gunung api purba yang sudah tidak aktip dan dua gunug api lainnya yang masih aktif dan juga pernah meletus pada masanya. (Bersambung / Komunitas Tapak Karuhun / dimuat di HU. Kabar Priangan)


Batu Panjang Jahim terletak di wilayah Dusun Cimara, Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Ciamis. Termasuk kabuyutan yang keletakannya berada paling utara Kabupaten Ciamis karena sekitar 200 meter ke arah utaranya lagi berdiri tapel wates kabupaten Ciamis dan Majalengka. Oleh Karena itu situs ini sering juga dianggap masuk ke Kabupaten Majalengka. Yang menjadi juru kuncinya saat ini adalah Ki Shahidin, rumahnya berada di kampung yang sama.
Kabuyutan Batu Panjang Jahim berada di ketinggian sekitar 1080 mdpl. Lokasinya tepat dipinggir jalan lintas desa yang cukup ramai dilalui kendaraan bermotor karena merupakan jalur alternatif yang menghubungkan kedua kabupaten. Ciri kabuyutannya dapat dilihat dari rimbunan pepohonan hutan yang masih tersisa diantara dominasi pohon-pohon pinus, sehingga mudah untuk mengenalinya. Keindahan alam sudah terasa manakala akan memasuki kawasan hutan pinus. Baik dari arah Majalengka maupun Ciamis panorama luas akan terhampar. Di Sebelah utara, ngemplang daerah Sawah Lega Cikijing dan sekitarnya, dari arah selatan membentang hamparan pesawahan Sukamantri dan sebagian Panjalu.
Keberadaan Situs Batu Panjang sudah dikenal sejak lama dikalangan masyarakat sekitarnya. Luasnya sekitar 500 meter persegi berada di kawasan Pegunungan Madati. Bagi sebagian masyarakat, pegunungan ini juga disebut Gunung Bitung karena terkait dengan keberadaan Situs Gunung Bitung yang berjarak beberapa kilometer ke arah timur, yaitu di Desa Wangkelang, Kampung Pawijen, Kecamatan Cingambul, Majalengka. Gunung Bitung sudah dikenal sebagai situs sejarah peninggalan masa klasik terkait dengan Kerajaan Sunda Galuh Kawali. Beberapa literatur, terutama Naskah Pustaka Rajya Rajya Bumi Nusantara menyebutkan bahwa Gunung Bitung merupakan cikal bakal KerajaanTalaga.
Sedangkan Situs Batu Panjang Jahim keberadaanya belum dikenal luas. apalagi kandungan sejarahnya. Padahal situs ini konon pernah diteliti, namun entah peneliti yangmana dan dari mana, karena sampai saat ini hasilnya belum tersebar dikalangan umum. Maka sampai saat ini, Batu Panjang tetap masih menjadi misteri yang laya kuntuk terus dikaji dan diteliti. Secara fisik, apa yang dapat dilihat di kabuyutan ini berupa kumpulan batu andesit berukuran besar dengan bentuk dominan panjang. Posisinya ada yang berdiri memancang dan rebah melintang, nyaris tak beraturan. Batu-batu panjang inilah yang melatar belakangi penamaan kabuyutan.
Gugusan bebatuan utama dari situs ini ini berada di cekungan lereng bukit dengan arah memanjang timur laut– barat daya. Lebar cekungan itu sekitar 8 meter dan panjangnya menanjak sekitar 30 meter. Ujung bukit yang mengarah ketimur merupakan bagian yang menurun, sekaligus sebagai gerbangnya, berhadapan tepat dengan jalan aspal. Sedangkan bagian baratnya merupakan lereng menuju puncak bukit. Di jalan masuk situs terdapat sekelompok batu panjang yang bertumpangan. Batu ini disebut masyarakat sebagai Batu Kendang, karena mirip alat musik kendang. Sesungguhnya sebaran batu berukuran panjang dan besar terlihat cukup banyak di wilayah sekitarnya. Sepertinya, jika lereng bukit itu dikupas akan tersusun dari bebatuan seperti itu.
Menurut keterangan Pak Shahidin, juru kunci yang sudah bertugas selama 20 tahun, wilayah sakralnya berada di sebelah selatan ditandai dengan kelompok batu yang berciri khusus. Ciri khusus ini berupa batu yang berdiri tegak setinggi kurang lebih 1,7 meter. Batu ini dikelilingi batu-batu panjang lainnya dengan posisi rebah maupun berdiri dengan psosisi lebih rendah. Didekatnya tumbuh Pohon Tanjung. Tidak Jauh dari kedua batu itu, terdapat sebuah batu yang juga dikeramatkan karena di dindingnya ada cekung-cekung kecil berjumlah 5 buah yang dianggap masyarakat setempat merupakan jejak kaki maung. Batu Tapak Maung ini tingginya sekitar 80 cm dan berdiameter 50cm. Bentuknya seperti batang pohon yang terpotong.
Sementara sebaran batu lainnya yang terhampar menurun ke arah timur laut juga seperti terkondisi membentuk semacam tatanan. Walau terkesan acak-acakan, namun beberapa susunan batu menyiratkan adanya pesan tertentu. Seperti misalnya batu besar yang berdiri tegak di disisi kiri dan kanan Seolah-olah merupakan lawang masuk ke area utama. Terdapat juga batu tegak yang dikelilingi kumpulan batu yang lebih kecil serta batu pasangan yang berdiri miring dan ujungnya saling tertaut membentuk bangun segitiga. Namun menurut saya, beberapa kedudukan batu di atas bukan formasi aslinya.
Teori Ketika Magma Membeku Dan Tradisi Megalitikum

Beberapa ciri budaya megalitikum diantaranya menhir, dolmen, kubur batu, sarkofagus. Selain itu, batu dakon, batu kenong,waruga, batu lumpang pun termasuk ciri Megalitikum. Tidak semua mesti berciri primer batu saja, struktur ruangpun dapat menjadi ciri jaman mgelaitikum seperti punden berundak misalnya. Budaya Megalitikum berkembang antara 2500-1500 SM. Masa yang lebih muda disebut neolitikum (1000-100 SM) ditandai dengan batu-batu yang sudah mengalami proses penghalusan. Di tatar sunda, punden berundak, batu lumpang, batu dakon dan menhir termasuk paling banyak ditemukan tersebar di berbagai tempat. Situs Megalitikum terkenal yang jaraknya paling dekat dengan Batu Panjang Jahim adalah Situs Cipari di Kuningan dengan keberadaan peti kubur batunya.
Dari gambaran diatas, maka Kabuyutan batu panjang Jahim memenuhi unsur tradisi megalitik. Adanya menhir dari batu yangmasih utuh tegak berdiri, dan mungkin dolmen dari susunan batu yang rebah atau bertumpuk,memberi gambaran bahwa pada jamannya tempat ini merupakan wilayah sakral terutama pemujaan terhadap Hyang (sembah-hyang) dan unsur lainnya yang berhubungan dengan kesuburan
Batu-batu yang berserakan di Kabuyutan Batu Panjang Jahim ini mirip atau mungkin sejenis dengan bebatuan yang ada di Situs Gunung Padang Cianjur, Situs Pabahanan Majenang Cilacap dan bebatuan di Situs Lebak Sibedug Pandeglang. Situs-situs tersebut secara umum merupakan struktur ruang punden berundak yang juga didominasi batu-batu panjang.
Kenapa bebatuan seperti itu berada di Gunung Madati ? Dari beberapa sumber lisan, menyebutkan bahwa batu-batu panjang tersebut merupakan reruntuhan bangunan kuno. Bisa saja hal itu benar, bahwa jaman baheula ada bangunan sederhana yang terbentuk dari tatanan batu sebagai pusat ritual, atau memang kabuyutan ini adalah punden berundak seperti halnya Gunung Padang dan Lebak Sibedug namun hancur kemudian. Penyebab kehancurannya bisa disengaja atau terjadi secara alamiah.
Karena kemiripannya dengan Batu-batu yang ada di Gunung Padang Cianjur maka kemungkinan besar bebatuan jahim tersebut merupakan batuan andesit berupa stuktur tihang kekar (columnar Joint) yang terbentuk dari proses pendinginan aliran basalt. Pendinginan itu menyebabkan penyusutan, keretakan dan patahan membentuk tihang dengan pola hexagonal. Dari beberapa bentuk yang tidak umum maka tiang-tiang tersebut memiliki 3 hingga 12 sisi. Konon di Indonesia jarang ditemukan dengan bentuk jelas, namun di Situs Pabahanan Cilacap menunjukan sisi-sisi yang jelas. Batuan seperti ini posisinya cenderung berdiri vertikal dan ditemukandi daerah intrusif dangkal atau ektrusif tubuh batuan beku.
Analisa sementara dugaan adanya basalt yang muncul di wilayah Jahim bisa dikaitkan dengan pristiwa meletusnya Gunung Gegerhalang (Gunung Candradimuka) 7000 tahun SM. Gunung ini merupakan priode kedua setelah Gunung Plistosen yang meletus sebelumnya. Dari kaldera di sisi utara Gunung Gegerhalang ini lahirlah Gunung Ciremai yang dikenal saat ini. Ada analisa serupa yang ditulis dalam blog hutanrimbun.wordpress bahwa Sawah Lega yang terdapat di Wilayah Cikijing merupakan danau purba yang terbentuk berbarengan dengan lahirnya Gunung Api Gegerhalang.
Namun ketika Gegerhalang meletus dan melahirkan Gunung Ceremai, danau itu mungkin terkubur material letusan Gegerhalang sehingga terjadi pendangkalan dan berubah menjadi rawa. Danau Purba Cikijingini membentang dari timur hingga ke barat, di ujung barat dari danau ini mengalir sungai Cilutung dan sebelah selatan mengalir pula sebuah sungai ke arah Ciamis yang sekarang sudah hilang dan mungkin berubah jadi jalan raya Cingambul-Ciamis. Sungai-sungai ini berfungsi sebagai tempat buangan air dari danau purba tersebut.
Selain Gunung Gegerhalang yang berada di arah timur laut, maka di arah lainnya berdiriGunung Sawal, Gunung Cakrabuana dan Gunung Galunggung yang juga pernah meletus pada masanya. Jadi masuk akal jika akhirnya tersingkap batuan tihang kekar di Jahim karena lokasi ini memang berada di tengah dua gunung api purba yang sudah tidak aktip dan dua gunug api lainnya yang masih aktif dan juga pernah meletus pada masanya. (Bersambung / Komunitas Tapak Karuhun / dimuat di HU. Kabar Priangan)

Langganan:
Postingan (Atom)