Oleh Pandu Radea
(Catatan lama Tapak Karuhun Galuh)
Ketinggian
Gunung Susuru mencapai sekitar 200 meter. Dari atas puncaknya pandangan
mata pun akan dimanjakan dengan keindahan alam yang menggetarkan.
Hamparan sawah nampak serasi ber-adu manis dengan rangkaian perbukitan.
Dipasieup lagi dengan dua sungai besar di sisi kiri kanannya,melingkar-lingkar
lir tubuh
Nagaraja Taksaka yang membelit Gunung Susuru.
Dua
sungai tersebut yaitu Cimuntur dan Cileueur yang bertemu di ujung
gunung sebelah selatan. Dan tempat pertemuan kedua sunga itersebut
dinamakan
Patimuan. Memang,sebagai sebuah situs, kewingitan sejarah yang menyelimutinya terasa sangat kental.
Betapa
tidakternyata tempat ini menyimpan bukti adanya peradaban dari beberapa
jaman. yaitumegalitik, hindu, dan masa Islam. H. Djaja Sukardja yang
mendokumentasikan proses awal penemuan situs mengungkapkan dalam bukunya
yang berjudul Patilasan Kerajaan Galuh Kertabumi, bahwa Situs Gunung
Susuru usiannya diperkirakan lebih tua dari situs Karang Kamulyan, atau
minimalnya sejaman, yaitu dari abad ke 7.
Hal
tersebut didasari setelah adanya penelitian oleh Tony Djibiantoro, Ir.
Agus dari Balai Arkeologi Bandung dan Dr.Fachroel Aziz dari Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung. Tim tersebut menemukan
tulang belulang binatang, gigi manusia yang mendekati fosil (Sub Fosil),
dan pecahan gerabah di dalam gua. Gua-gua yang ditemukan pada saat itu
baru di tigatempat, yaitu Gua Kamuning, Gua Macan 1 dan Gua Macan 2. Dan
ketiga gua tersebut sudah dinyatakan sebagai BCB Tak Bergerak.
“Numutkeun
para ahli, lamun di jero guha kapendak pecahan gerabah atanapi fosil,
tiasa janten guha eta teh mangrupikeun kuburan” Papar KiAndang yang
memandu saya menelusuri setiap lekuk Gunung Susuru. Bahkan menurutnya
masih terdapat dua gua lagi yang belum diteliti oleh tim
arkeolog,sehingga belum ditetapkan sebagai BCB. Memang potensi
BendaCagar Budaya yang belum ditemukan sangatlah besar. Di areal situs
yang luasnya7 ha ternyata masih terdapat beberapa batu yang diprediksi
kuat sebagai sisa kebudayaan jaman
baheula. Seperti contohnya batu tingkat yang ukurannya sangat besar, dan batu bergaris yang guratnya lebih dari seratus baris.
Sebagai
pembanding lainnya, batu bergaris juga terdapat di situs Astana Gede
Kawali dan Situs Batu Tulis Bogor dengan jumlah garis dan ukura batunya
jauh lebih sedikit dan kecil di banding batu bergaris di Gunung
Susuru.Jika batu bergaris di Gunug Susuru itu merupakan buatan manusia
maka tidakmustahil suatu saat akan ditemukan juga batu prasasti, sebagai
sebuah bukti otentik yang dapat mengungkap fakta sejarah di jamannya.
Yang
mengejutkan, ternyata secara keseluruhan Gunung Susuru merupakan sebuah
punden berundak yang tersusun dari 17 tingkatan teras. hal itu sudah
dibuktikan oleh tim peneliti yang menghitung tingkat atau teras berbalai
batu dari kaki Gunung Susuru, baik dari sisi Sungai Cileueur maupun
Sungai Cimuntur. Kenyataan tersebut semakin menjelaskan bahwa
GunungSusuru merupakan bekas sebuah pusat ritual pemujaan yang berkaitan
dengan keyakinan adanya ruh leluhur (
hiyang)
Sebagai
Punden Berundak maka di Gununug Susuru pun banyak di temukan menhir dan
dolmen. Menhir melambangkan adanya hubungan vertical dengan ruh seorang
pemimpin yang telah meninggal dunia. Ada 4 punden berundak yang
susunannya masih utuh yang di sebut
Batu Patapaan. Bahkan dolmen
yang terdapat di Patapaan 4 diduga adalah sarkofagus (peti kubur batu)
karenaketika ada penggalian di bawahnya terdapat batu penyangga. Dengan
bukti-bukti tersebut, semakin jelas bahwa Gunung Susuru merupakan
peninggalan dari kebudayaan
megalit (kebudayaan besar). Sedangkan temuan berupa kampak batu, manik-manik, pecahan tembikar, merupakan ciri zaman
Batu Muda (Neolitikum) yang diperkirakan berkembang 1.500 tahun sebelum Masehi.
Penelitian arkeologi dan sejarah yang
mindeng
dilakukan di tahun 2000, baik itu dari Arkenas Jakarta, Suaka
Peninggalan Sejarah dan Purbakala Serang, maupun dari Balai Arkeologi
Bandung serta berhasil mendapatkan berbagai temuan yang dikatagorikan
sebagai Benda Cagar Budaya membuat tempat ini menjadi pembicaraan di
berbagai kalangan. Gunung Susuru akhirnya menjadi sebuah bukti penting
adanya tingkat peradaban manusia yang sudah sangat tua usianya.Dan hal
tersebut semakin mengukuhkan Kabupaten Ciamis sebagai wilayah yang sarat
akan sumber sejarah peradaban sunda dari berbagai jaman disamping
wilayah priangan lainnya.
Adanya temuan dan kegiatan
penelitian tersebut memunculkan berbagai rumor dikalangan warga
sekitarnya. Apalagi setelah tempat itu semakin diyakini sebagai pusat
pemerintahan Galuh Kertabumi. Yang paling santer terdengar adalah berita
ditemukannya sebuah bokor yang terbuat dari emas di dalam sebuah gua.
Hal itu tentu saja memancing penduduk yang lainnya untuk datang berburu
harta karun yang diduga masih banyak terpendam.Tak ketinggalan,
cerita-cerita misteri pun meruak menjadi bahan obrolan dilingkungan
warga. Seperti cerita tentang auman harimau di sekitar Gua Macan 1dan 2
yang kerap terdengar oleh warga. Ataupun kabar aheng lainnya .
“ Maklum namina oge beja. Tina sajeungkalj anten sadeupa. Seueur implik-implikna anu teu saluyu jeung kanyataan.”Ujar Ki Adang. Lebih jauh, lelaki yang terlihat masih
jagjag belejag
ini menceritakan bahwa memang warga banyak menemukan berbagai benda.
Sejenis perhiasanpun pernah ditemukan oleh warga. Namun tidak ada yang
terbuat dari emas melainkan dari bahan bebatuan indah. Sedangkan temuan
lainnya kebanyakan terbuat dari tanah liat, batu dan besi. Piring dan
poci yang berbahan porselin banyak ditemukan. Ketika saya melihat contoh
piring tersebut ternyata ada cap Hong Botan-England dibelakangnya.
Piring tersebut oleh Ki Andang sudah dibuktikan sebagai piringanti basi
dengan menyimpan makanan basah selama seminggu ternyata
teu haseum-haseum. :)
“
Ti saprak di bewarakeun yen timuanbenda-benda sejarah ditangtayungan ku
undang-undang kalebet aya ancamanana.Seueur oge warga nu nyetorkeun
timuanana ka abdi. Nanging aya oge anu keukeuh dipimilik ku aranjeuna.
Malih aya nu di jantenkeun jimat sagala.” Ujar Ki Adang saat memasuki gerbang makam Prabu Dimuntur.
Rupanya
untuk dapat mengunjungi semua objek sejarah Gunung Susuru tidak cukup
memakan waktu satu hari. Makam Prabu Dimuntur saja lokasinya berjarak
sekitar 2 km dari Gunung Susuru. Demikian pula jika ingin melihat Sumur
Batu yang
aheng, harus
meuntas walungan Cimuntur karena
letaknya disebrang Gunung Susuru. Sedangkan Sumur Taman yang khasiat
airnya dipercaya untuk perjodohan terdapat di perkebunan pendudukyang
berbatasan dengan
gawir Cimuntur. Belum lagi Curug Kamuning yang letaknya di tebing Cileueur dan bersebrangan dengan ujung Gunung Susuru.
Lokasi
lainnyayang dinilai penting adalah bekas pemukiman penduduk dan pasar
kuno di dekat makam Nyi Tanduran Sari ( selir Prabu Dimuntur) ditempat
ini paling banyak ditemukan arang, keramik dan gerabah. Dan sebelum
tahun 1920-an beberapa kandang kuno yang ukurannya basar pernah
disaksikan keberadaannya oleh sejumlah tetua kampung. Letaknya
bersebelahan dengan lokasi pasar kuno. Demikian juga batu-batu bata
heubeul bekas pondasi rumah sat itu masih banyak berserakan.
Sekian
banyaknya temuan yang dititipkan di Ki Andang membuat dirinya sedikit
khawatir kerena takut ada yang hilang. Selama ini benda-benda tersebut
hanya disimpan seadanya
. “ Abdi mah moal seueur pamundut, mun
pamarentah paduli cing atuh pangadamelkeun lomari keur merenahkeun
barang-barang eta. Salian moal bacacar tangtuna oge ngagampangkeun keur
balarea anu hoyong ningal atanapi naliti.” Ujarnya.
Munculnya
nama Gunung Susuru kepermukaan tidak lepas dari peranan H. Djaja
Sukardja yang saat itu menjabat sebagai Kasi Kebudayaan Depdiknas Ciamis
tahun 2000. Karena kepentingannya dalam menyusun buku sejarah Kota
Banjar maka penelusurannya membawa dirinya ke Gunung Susuru yang
merupakan patilasan Kerajaan Galuh Kertabumi. Hal tersebut berdasarkan
pertimbangan bahwa Singaperbangsa I, cicitnya PrabuDimuntur, yang
memindahkan pusat pemerintahan dari Galuh Kertabumi ke Banjar Pataruman
dianggap sebagai peletak dasar berdirinya kota Banjar.
Untukmemenuhi
kelengkapan data yang tengah dikumpulkan, maka H. Djaja Sukardja
menugaskan Penilik Kebudayaan Cijeungjing yang bernama Deni SIP untuk
terjun langsung kelokasi. Saat itu Gunung Susuru keadaanya terbengkalai
dan gersang tanpa arti setelah ditinggalkan oleh para petani karena
tanah di tempat tersebut sudah tidak subur lagi seusai dipelakan jagong
selama 15 tahun (sejak tahun 1960).
Berbagai temuan
Deni di lapangan hasilnya sangat mengejutkan, sehingga selanjutnya
tempat tersebut menjadi objek penelitian para ahli yang berkaitan
dibidangnya. Lain halnya dengan Ki Adang yang sudah menduga bahwa Gunug
Susuru bukanlah tempat
samanea. Sejak kecil lokasi tersebuta
dalah tempat bermainnya. Kala itu keadaan lingkungannya masih utuh. Jauh
dengan keadaanya jaman sekarang. Ki Adang memperkirakan 50 % keaslian
Gunung Susuru telah berubah dan hilang.
Masyarakat
Kertabumi pun akhirnya peduli untuk menyelamatkan situs tersebut, maka
saat dilaksanakan penghijauan pada 11 Oktober 2000 sekitar seribu orang
warga bergerak membantu pemerintah untuk memulihkan tempat tersebut
mendekati asalnya. Hasilnya, Gunung Susuru menjadi tempat yang nyaman
untuk dikunjungi. Pohon-pohon Jati yang ditanam saat penghijauan kini
sudah merindangi Gunung Susuru. Jika saja pemerintah Ciamis jeli dan
peduli maka peluang untuk dijadikan sebagai tempat wisatapun sangat
menjanjikan. Apalagi lokasi Gunung Susuru masih berdekatan dengan Situs
Karangkamulyan yang sudah lebih dulu menjadi objek wisata.
Sayangnya
tumbuhan Susuru yang membuat tempat ini bernilai, tidak dapat tumbuh
subur seperti di jamannya. Konon waktu itu, Susuru merupakan tumbuhan
yang menghiasi taman keraton Galuh Kertabumi atau dipergunakan juga
tanaman pagar keraton.Saya yang mencoba mencari tanaman tersebut,
susuganan menemukan ternyata
lapur teu hiji-hiji acan. Ki Andang pernah memelihara tanaman tersebut di rumahnya, namun lambat laun habis karena banyak yang meminta untuk dikoleksi.
Masyarakat di wilayah Kertabumi ternyata memiliki tradisi budaya yang bernama
Merlawu. Ritual acaranya terdiri dari
ngarekes, medar sajarah, dan susuguh.
Waktu penyelenggaraannya dilaksanakan setiap bulan Rewah, Hari Senin
atau padaHari Kamis terakhir di bulan itu dengan dipimpin oleh
Aki Kuncen.
Kegiatan tersebut merupakan bentuk syukuran hasil panen warga
Kertabumi dan sekitarnya. Menurut keterangan Ki Adang, tradisi ini sudah
berlangsung sejak tahun 1535, sekaligus sebagai warisan dari prilaku
budaya masyarakat di Kerajaan Galuh Kertabumi yang masih tetap dpelihara
sampai saat ini.
Kawali, 2007




