PHOTO JURU KUNCI
ABAH LATIF DAN ISWANTO
Pages - Menu
▼
Sejarah Singkat
Salah satu situs unggulan di Kabupaten Ciamis yaitu situs Sang Hyang Cipta Permana Prabudigaluh Salawe, di Dusun Tinggarahayu, Desa Cimaragas, Kecamatan Cimaragas Kabupaten Ciamis.Situs Sang Hyang Cipta Permana Prabudigaluh Salawe merupakan tinggalan Situs yang di dalmnya adanya bcb batu entog , batu lambang peribadatan, patilasan Prabu Galuh Salawe, dan sebagainya.Prabu Salawe sekitar tahun 30 an ternyata telah dikunjungi oleh Bapak Proklamator Presiden pertama RI Ir. Soekarno, beliau berkunjung ke situs Prabu Galuh di Salawe ketika masih menjadi mahasiswa ITB Bandung. Hal tersebut dibuktikan dengan adanyadata-data kliping koran yang masih tersimpan sampai sekarang di Jupel Salawe Abah latif Adiwijaya.Kemudian pada tahun 2013 setelah melalui seleksi yang ketat dari The soekarno Center yang berpusat di Tampaksiring Bali, Situs Prabu Galuh di Salawe mendapatkan sertifikat The Soekarno Center yang akan diberikan penganugrahan pada tanggal 20 Nopember 2013 di Balai Kota Bandung oleh Ketua The Soekarno Center Ibu Sukmawati Soekarno Puteri.sumber: Eman Hermansyah Sastrapraja/PANGAUBAN GALUH PAKUAN
Lembur Salawe Hanya Dihuni 25 Kepala Keluarga

Juru pelihara situs cagar budaya Sang Hyang Maharaja Cipta Permana Prabu Galuh Salawe Iswanto Tirtawijaya dan Jagabaya Tanto Herdianto berdiri di pintu gerbang masuk Lembur Salawe, di Dusun Tunggarahayu, Desa/kecamatan Cimaragas, kabupaten Ciamis. sejak dulu hingga saat ini di tempat tersebut hanya dihuni 25 tugu atau kepala keluarga.*
CIAMIS, (PRLM).- Dari sekian banyak tempat di Tatar Galuh, ada satu wilayah yang sejak jaman dulu hingga saat ini masih kental dengan tradisinya yakni Lembur Salawe. Terletak di Dusun Tunggarahayu, Desa/Kecamatan Cimaragas, Kabupaten Ciamis. Sesuai namanya, di wilayah yang lokasinya tidak jauh dari aliran Sungai Citanduy itu hanya dihuni 25 tugu atau kepala keluarga.Lokasi tersebut berada di sisi jalur alternatif Ciamis - Kota Banjar, lewat Kkecamatan Cimaragas. Berjarak sekitar 400 meter dari Situs Sang Hyang Maharaja Cipta Permana Prabudigaluh Slawe. Situs yang juga menyimpan sebanyak 25 petilasan itu cukup asri karena banyak terdapat pohon besar."Sejak jaman nenek moyang sampai sekarang di lembur Salawe hanya dihuni 25 tugu atau kepala rumah tangga. Jumlah rumah juga hanya 25, akan tetapi sekarang sudah bertambah," tutur Juru Pelihara Situs Sang Hyang Maharaja Cipta Permana Prabudigaluh Salawe, Iswanto Tirtawijaya (25).Didampingi Jagabaya Tanto Herdianto (34), saat ditemui di Pos Kamling masuk Lembur Salawe, dia mengungkapkan, apabila ada keturunan tugu hendak membangun rumah baru, maka harus di luar lembur Salawe."Pada intinya jumlah tugu tidak pernah kurang atau bertambah, tetap 25," katanya.Seiring dengan perkembangan jaman, lanjutnya rumah tradisional yang sebelumnya berupa rumah panggung, saat ini sudah banyak yang diganti dengan rumah semi permanen. Meskipun demikian, tutur Iswanto, banyak warga yang kembali menginginkan membangun rumah tradisional."Tidak hanya bentuk rumah panggung, beberapa bagian ruangan dalam rumah juga ada bagian-bagiannya. Misalnya kamar, dapur, tempat menimpan hasil panen dan lainnya," jelasnya.Kedua pemuda yang mengenakan pakaian pangsi dengan iket di kepalanya, menambahkan perkembangan jaman tidak mengurangi atau melunturkan warga Salawe mempertahankan tradisi. Misalnya Masalain atau Ngikis yang digelar menjelang bulan puasa.Sebelum panen, warga juga melakukan ritus berdoa agar hasil panen mendatang melimpah serta bebas dari serangan hama."Sampai sekarang tradisi Masalin dan ritus menjelang panen masih kami pertahankan. Banyak nilai yang terkandung dalam keguatan tersebut, tidak hanya yang tersurat atau yang tampak saja, akan tetapi juga makna yang tersirat," katanya.Keduanya juga mengaku minimnya perhatian Pemerintah Kabupaten Ciamis terhadap keberadaan Lembur Salawe.Ppadahal, lembur Salawe berikut situs yang ada di tempat tersebut merupakan kekayaan budaya nasional.sumber : PR
SENI BEBEGIG GALUH, DENAWA YANG MASIH MISTERI (bag.1)
Oleh Pandu Radea
Tapak Karuhun Galuh
Bebegig atau orang-orangan sawah sudah dikenal hampir diseluruh pelosok
daerah yang berkultur pesawahan. Biasanya dibuat dari jerami dan
dipergunakan "kaumbercaping" untuk menakuti burung yang mengganggu
tanaman padi terutama menjelang panen tiba. Namun ada satu jenis bebegig
yang memang dibuat justruuntuk menakut-nakuti manusia. Dan sampai saat
ini tidak ada nama spesifik untukmembedakan antara bebegig sawah dan
bebegig yang satu ini, sehingga untukmempermudah penyebutan cukup dengan
nama Bebegig Sukamantri, mengingat kesenian ini hanya terdapat di
Kecamatan Sukamantri, wilayah paling utara KabupatenCiamis (Galuh) yang
berbatasan langsung dengan Kabupaten Majalengka.
Seni Bebegig yang disinyalir sudah ada sejak jaman baheula ini, boleh dikata terlambat dikenal, terutama di wilayahyang lebih luas. Keberadaan dan eksistensinya mulai terendus awal tahun 2000. Akhirnya Seni yang awalnya dianggap “jarambah” (tidak terorganisir) ini mulai diperhatikan oleh pemerintah Ciamis, terutama oleh pihak Disbudpar. Apalagi setelah mendapat sentuhan dalam kemasan pertunjukannyasebagai Seni Helaran yang disebut “Dugig” (Bedug dan Bebegig) dan menjadi pusatperhatian karena meraih juara pertama pada Even Kemilau Nusantara diBandung pada tahun 2006 serta berhakmewakili Jawa Barat di event yang sama ditahun 2007.
Melihat bentuk dan karakteristiknya Bebegig Sukamantri memiliki
keunikan pada tampilannnya yang menyeramkan dan menyiratkan kesan
kepurbaan, karena bahan-bahan untuk membuat Bebegig hampir semuanya
diambil dari hutan yang ada di sekitar Sukamantri sampai ke Gunung Sawal
seperti ijuk kawung, bubuay, kembang hahapaan, dan daun waregu.
Sepintas bentuk kepalanya seperti Reog Ponorogo. Namun jika diperhatikan
Seni Bebegig Sukamantri memiliki ciri tersendiri. Bidang atasnya
membentuk segitiga terbalik. Didalamnya terbuat dari rangka bambu yang
diberipenopang untuk dipanggul karena bagian kepala merupakan bagian
yang terberatdan terbesar proporsinya.
Topeng Bebegig dengan raut buta atau denawa terbuat dari kayu yang ditatah/dipahat. Awalnya untuk membuat topeng yang ukurannya rata-rata 1 m x 60 cm, diambil dari bahan kayu bahbir (kayu sisa). Kini, untukmendapatkan dimensi yang lebih baik, topeng bebegig terbuat dari kayu gelondongan terutama jenis Mahoni dan Albusiah. Saat ini motif raut dan karakternya mulai meniru tokoh denawa dalam wayang golek sunda. Namun ada juga yang meniru raut topeng barong khas Bali. Pada pewarnaan dan pengecatan tidak ada pakemkhusus.
Setiap pembuat topeng, bebas mengeluarkan ekspresinya untuk membentuk
karakter yang diinginkannya. seniman topeng Bebegig yang dianggap
senior diantaranyaAhen Kertasari, Jaja Cikole dan Elim Campaka. Generasi
berikutnya di kembangkan oleh Aan Brajagati yang mendidik anak-anak
membuat topeng bebegig. Ketiganya memiliki corak dan gaya topeng yang
berbeda.Topeng Bebegig pun ternyata laku dijual sebagai cendramata.
Ukurannya yangbesar memang menarik sebagai barang pajangan. Sebuah
topeng Bebegig dijualdengan kisaran harga 100 sampai 200 ribu rupiah.
Rambut Bebegig terbentuk dari rangkaian Kembang Bubuay sementara mahkota atau kepala bagian atas tersusun dari daun Waregu dengan hiasan Kembang hahapaan. Motif rambutpun pada perkembangannya mulai mengikuti trend modern. Gaya indian mohawk mulaidisukai oleh pemain Bebegig saat ini. Sedangkan badan sampai kaki yangmerupakan tubuh pemain, seluruhnya dibalut tebal oleh injuk kawung. Kononbahan-bahan tersebut merupakan sebuah keharusan yang tidak boleh diganti denganbahan lainnya. Ciri lainnya adalah setiap pemain bebegig selalu membawa kolotoksapi di pinggangnya. Malah dulunya pemain Bebegig juga selalu membawa (menghunus)pedang-pedangan yang terbuat darikayu dan di dadanya diberi hiasan dari buah kalayar dan terong ungu.
Elah Suherlan S.Pd, Guru Kesenian SMPN 1 Cibeureum, Kec. Sukamantrimenjelaskan bahwa bahan-bahan untuk membuat Bebegig saat ini agak susah didapat. TerutamaBubuay dan Hahapaan. “Menjelang Agustusan, masyarakat yang ingin membuatBebegig harus aprak-aprakan mencaribahan tersebut sampai ke daerah hutan Gunung Sawal yang ada di KecamatanCikoneng, karena yang ada di hutan sekitar Sukamantri sudah habis”. Elan jugamenjelaskan bahwa untuk beberapa jenis bahan, dapat disimpan dalam jangkawaktu yang lama seperti injuk, topengbuta dan bubuay, sedangkan Hahapaandan Daun Waregu hanya sekali pakai lalu dibuang.
(bersambung)
pernah dimuat di HU. Kabar Priangan.
Tapak Karuhun Galuh

Seni Bebegig yang disinyalir sudah ada sejak jaman baheula ini, boleh dikata terlambat dikenal, terutama di wilayahyang lebih luas. Keberadaan dan eksistensinya mulai terendus awal tahun 2000. Akhirnya Seni yang awalnya dianggap “jarambah” (tidak terorganisir) ini mulai diperhatikan oleh pemerintah Ciamis, terutama oleh pihak Disbudpar. Apalagi setelah mendapat sentuhan dalam kemasan pertunjukannyasebagai Seni Helaran yang disebut “Dugig” (Bedug dan Bebegig) dan menjadi pusatperhatian karena meraih juara pertama pada Even Kemilau Nusantara diBandung pada tahun 2006 serta berhakmewakili Jawa Barat di event yang sama ditahun 2007.

Topeng Bebegig dengan raut buta atau denawa terbuat dari kayu yang ditatah/dipahat. Awalnya untuk membuat topeng yang ukurannya rata-rata 1 m x 60 cm, diambil dari bahan kayu bahbir (kayu sisa). Kini, untukmendapatkan dimensi yang lebih baik, topeng bebegig terbuat dari kayu gelondongan terutama jenis Mahoni dan Albusiah. Saat ini motif raut dan karakternya mulai meniru tokoh denawa dalam wayang golek sunda. Namun ada juga yang meniru raut topeng barong khas Bali. Pada pewarnaan dan pengecatan tidak ada pakemkhusus.

Rambut Bebegig terbentuk dari rangkaian Kembang Bubuay sementara mahkota atau kepala bagian atas tersusun dari daun Waregu dengan hiasan Kembang hahapaan. Motif rambutpun pada perkembangannya mulai mengikuti trend modern. Gaya indian mohawk mulaidisukai oleh pemain Bebegig saat ini. Sedangkan badan sampai kaki yangmerupakan tubuh pemain, seluruhnya dibalut tebal oleh injuk kawung. Kononbahan-bahan tersebut merupakan sebuah keharusan yang tidak boleh diganti denganbahan lainnya. Ciri lainnya adalah setiap pemain bebegig selalu membawa kolotoksapi di pinggangnya. Malah dulunya pemain Bebegig juga selalu membawa (menghunus)pedang-pedangan yang terbuat darikayu dan di dadanya diberi hiasan dari buah kalayar dan terong ungu.
Elah Suherlan S.Pd, Guru Kesenian SMPN 1 Cibeureum, Kec. Sukamantrimenjelaskan bahwa bahan-bahan untuk membuat Bebegig saat ini agak susah didapat. TerutamaBubuay dan Hahapaan. “Menjelang Agustusan, masyarakat yang ingin membuatBebegig harus aprak-aprakan mencaribahan tersebut sampai ke daerah hutan Gunung Sawal yang ada di KecamatanCikoneng, karena yang ada di hutan sekitar Sukamantri sudah habis”. Elan jugamenjelaskan bahwa untuk beberapa jenis bahan, dapat disimpan dalam jangkawaktu yang lama seperti injuk, topengbuta dan bubuay, sedangkan Hahapaandan Daun Waregu hanya sekali pakai lalu dibuang.
(bersambung)
pernah dimuat di HU. Kabar Priangan.
RASPI, RONGGENG GUNUNG TERAKHIR
oleh Pandu Radea

Tariannya, bergerak di bawa angin, dari gunung ke pesisir,Kawihnya melantunkan pedih perih kerinduan bercampur kesumat dendam. Mengalun dibawa angin sampai jauh. Namun, kini petitnya kian hilang ditelan jaman.
LEBIH DARI 40 TAHUN Bi Raspi menekuni pahit manisnyakehidupan menjadi peronggeng gunung. Sejak 1972 sampai kini, sudah takterhitung lagi banyaknya pagelaran yang telah dilakoninya. Dari tingkat RTsampai festival budaya bertaraf internasional, semua sudah dialaminya. Sosokini pun menjadi saksi sekaligus pelaku hidup perkembangan seni Buhun Ronggeng Gunung dari tahun ke tahun. Tatkala seni tradisi umumnya semakin termarjinalkan,pronggeng yang sudah disuia senja ini tetap tuhu untuk terus berkiprahmemelihara seni warisan karuhun yang hanya terdapat di Ciamis dan Pangandaran. Tatkala banyak seniman banting stir ke bidang lainnya agar dapur tetap ngebul, Bi Raspi tetep panceg menjadi ronggeng.
Tak berlebihan pula jika Bi Raspi disebut seorang maestro.Semangat dan dedikasinya telah terbukti oleh waktu, teu laas ku jaman dan pantas untuk ditiru. Sudah selayaknya wanita dari Ciganjeng ini diberi penghargaan atas perjuangannya melestarikan seni tradisi. Untuk menjadi seorang Ronggeng Gunung yang berkualitas tentunya memerlukan proses yang panjang dan melelahkan. Seorang ronggeng gunung harus wanita pinilih. Dalam arti mampu melewati berbagai tahapan latihan berat dan lelaku khusus yang telah ditentukan oleh gurunya. Dahulu, calon yang ingin menjadi Ronggeng Gunung diantaranya harus bermukim dirumah sang guru maksimalnya selama 3 bulan. setiap malam belajar tembang disamping menari. Dan dalam proses tersebut si murid harus memiliki daya ingat yang tinggi sebab sang guru tidak akan mengulang pelajaran tersebut sampai 3 hari lamanya.
Untuk melatih suara biasanya dari lubang hidung sampai kerongkonan “digera” (dimasuki) oleh akar antanan. Dan untuk melatih nafas harus merendamkan kepala dalam curug sungai di 7 tempat berbeda untuk menguasai mantra atau doa tertentu yang disebut uluk-uluk. Dengan menguasainya, maka seorang Ronggeng akan memiliki suara keras dan nyaring. Kekuatan suara memang menjadi modal utama seorang ronggeng gunung sebab kesenian ini digelar tanpamenggunakan sound system.
Ronggeng Gunung berbeda dengan jenis kesenian ronggeng lainya. Kesenian ini dianggap sakral karena menurut legenda di Ciamis Selatan,Ronggeng Gunung diciptakan berdasarkan wangsit dari Patih Kidang Pananjung kepada Dewi Samboja yang isinya menyuruh sang Dewi untuk menyamar menjadi Ronggeng dengan memakai nama samaran Dewi Rengganis. Sedangkan lengsernya menjadi nayaga. Hal itu dimaksudkan untuk membalas dendam terhadap kawanan bajoyang telah membunuh suaminya yaitu Anggalarang. Dan semua lirik lagu yang dinyanyikan dalam Ronggeng Gunungmerupakan kisah dan cetusan hati Dewi Samboja yang merindukan suaminya .Berdasarkan hal itu maka figur seorang ronggeng gunung menjadi istimewa karena diciptakan bukan oleh wanita samanea, tapi oleh seorang permaisuri raja. Latar belakang ini berbeda dengan Ronggeng Kaler atau Ronggeng Amen yang mendapat pengaruh dari seni tayub dari pesisir Indramayu dan Cirebon.
Dengan legenda tersebut membuat sosok Ronggeng Gunung ternyata begitu dihormati dan dihargai oleh masyarakat tempat kesenian ini tumbuh dan berkembang pada masanya. Bahkan untuk nanggap ronggeng gunung, baik itu untuk acara tanam padi (tandur) atau ritual lainnya seperti panen padi, mendatangkan hujan, gusaran dan pakaulan, tidak sembarangan seperti memesan group pongdut. Ada cara-cara tertentu untuk ngala ronggeng yang pada jamannya begitu dipelihara oleh masyarakat Ciamis pakidulan.
Sebagian kebiasaan-kebiasaan diatas saat ini mungkin sudah hilang ditelan jaman seiring dengan berkurangnya peronggeng gunung. Saat ini yang masih terlihat eksis memang hanya Bi Raspi seorang. Dan untuk menciptakan regenerasi pun selalu terbentur oleh pradigma kekinian. Profesi ronggeng gunung bagi kalangan wanita bukanlah pekerjaan yang menjanjikan. kendati Ronggeng Gunung juga berfungsi sebagai media hiburan namun didalamnya sarat dengannilai-nilai sacral yang juga tidak sembarang orang dapat mempelajarinya.
Menurut cerita Bi Raspi, bahwa rongeng gunung yang sudah berpengalaman biasanya menguasai mantra atau doa tertentuuntuk melepaskan suara agar terdengar keras dan nyaring yang disebut uluk-uluk.“ Margi kapungkur mah teu aya sound system. Janten sora teh kedah tarik nangingteu leupas tina ugeran, sangkan kakuping kamana-mana.” (sebab dulu tidak adasound system, sehingga suara harus keras sehingga tidak lepas dari aturan, supayaterdengar kemana-mana) Ujarnya. Bi Raspi terkenal dengan suara petit yang tinggi. Dan Boleh jadi, salah satu alasan kenapa waditra dan tetabuhan ronggeng gunung terlihat minimalis mungkin untuk memberi ruang resonansi lebih agar suara Nyi Ronggeng terdengar dominan.
Pada katagori tertentu Ronggeng Gunung dapat disebut juga olahraga tradisional. Hal itu disebabkan adanya adegan Dogong yang tampil pada babak tertentu. Para penari pria yang terbagi dalam dua kelompok mengadu kekuatan dengan saling mendorong menggunakan pundak. Dan uniknya selama menari,biasanya penari pria selalu diharudung sarung, sehingga wajahnya tertutup. adegan ini merupakan simbol dari kisah pembalasan Dewi Rengganis terhadap kawanan Bajo yang telah membunuh suaminya.
Jadi tidak heran kenapa kesenian ini diambang kepunahan .Disamping kecilnya minat untuk menjadi ronggeng gunung, peran pemerintah, khususnya Disbudpar Kabupaten Ciamis masih tamba heunteu teuing. Saat ini upaya untuk menumbuhkan kembali kesenian ini dengan melakukan tindakan langsung dilapangan belum terlihat. Baik itu berupa pendataan, pembinaan dan pelatihanyang intensif ataupun even budayanya. Apalagi saat sektor Kebudayaan pindah ke dinas pendidikan, khususnya di Ciamis, para pejabat baru di wilayah kebudayaan masih rampang reumpeung untuk berbuat dan bertindak karena kecilnya pemahaman terhadap peta seni budaya di daerahnya.
Apa jadinya kesenian ini sepeninggal Bi Raspi nanti? Ronggeng Gunung yang menjadi salah satu ikon kabupaten Ciamis mungkin hanyaakan tinggal serpihan kenangan saja. berbeda dengan di Pangandaran, kesenian ini mulai dikembangkan oleh pemerintahnya. Jika pemerintah Ciamis tetap mengabaikannya, maka Tak heran jika suatu saat Bi Raspi berniat pindah ke Pangandaran. Padahal pada perkembangannya, akhir tahun 2013 Ronggeng Gunung telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda TingkatNasional oleh Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan.

Tariannya, bergerak di bawa angin, dari gunung ke pesisir,Kawihnya melantunkan pedih perih kerinduan bercampur kesumat dendam. Mengalun dibawa angin sampai jauh. Namun, kini petitnya kian hilang ditelan jaman.
LEBIH DARI 40 TAHUN Bi Raspi menekuni pahit manisnyakehidupan menjadi peronggeng gunung. Sejak 1972 sampai kini, sudah takterhitung lagi banyaknya pagelaran yang telah dilakoninya. Dari tingkat RTsampai festival budaya bertaraf internasional, semua sudah dialaminya. Sosokini pun menjadi saksi sekaligus pelaku hidup perkembangan seni Buhun Ronggeng Gunung dari tahun ke tahun. Tatkala seni tradisi umumnya semakin termarjinalkan,pronggeng yang sudah disuia senja ini tetap tuhu untuk terus berkiprahmemelihara seni warisan karuhun yang hanya terdapat di Ciamis dan Pangandaran. Tatkala banyak seniman banting stir ke bidang lainnya agar dapur tetap ngebul, Bi Raspi tetep panceg menjadi ronggeng.
Tak berlebihan pula jika Bi Raspi disebut seorang maestro.Semangat dan dedikasinya telah terbukti oleh waktu, teu laas ku jaman dan pantas untuk ditiru. Sudah selayaknya wanita dari Ciganjeng ini diberi penghargaan atas perjuangannya melestarikan seni tradisi. Untuk menjadi seorang Ronggeng Gunung yang berkualitas tentunya memerlukan proses yang panjang dan melelahkan. Seorang ronggeng gunung harus wanita pinilih. Dalam arti mampu melewati berbagai tahapan latihan berat dan lelaku khusus yang telah ditentukan oleh gurunya. Dahulu, calon yang ingin menjadi Ronggeng Gunung diantaranya harus bermukim dirumah sang guru maksimalnya selama 3 bulan. setiap malam belajar tembang disamping menari. Dan dalam proses tersebut si murid harus memiliki daya ingat yang tinggi sebab sang guru tidak akan mengulang pelajaran tersebut sampai 3 hari lamanya.
Untuk melatih suara biasanya dari lubang hidung sampai kerongkonan “digera” (dimasuki) oleh akar antanan. Dan untuk melatih nafas harus merendamkan kepala dalam curug sungai di 7 tempat berbeda untuk menguasai mantra atau doa tertentu yang disebut uluk-uluk. Dengan menguasainya, maka seorang Ronggeng akan memiliki suara keras dan nyaring. Kekuatan suara memang menjadi modal utama seorang ronggeng gunung sebab kesenian ini digelar tanpamenggunakan sound system.
Ronggeng Gunung berbeda dengan jenis kesenian ronggeng lainya. Kesenian ini dianggap sakral karena menurut legenda di Ciamis Selatan,Ronggeng Gunung diciptakan berdasarkan wangsit dari Patih Kidang Pananjung kepada Dewi Samboja yang isinya menyuruh sang Dewi untuk menyamar menjadi Ronggeng dengan memakai nama samaran Dewi Rengganis. Sedangkan lengsernya menjadi nayaga. Hal itu dimaksudkan untuk membalas dendam terhadap kawanan bajoyang telah membunuh suaminya yaitu Anggalarang. Dan semua lirik lagu yang dinyanyikan dalam Ronggeng Gunungmerupakan kisah dan cetusan hati Dewi Samboja yang merindukan suaminya .Berdasarkan hal itu maka figur seorang ronggeng gunung menjadi istimewa karena diciptakan bukan oleh wanita samanea, tapi oleh seorang permaisuri raja. Latar belakang ini berbeda dengan Ronggeng Kaler atau Ronggeng Amen yang mendapat pengaruh dari seni tayub dari pesisir Indramayu dan Cirebon.
Dengan legenda tersebut membuat sosok Ronggeng Gunung ternyata begitu dihormati dan dihargai oleh masyarakat tempat kesenian ini tumbuh dan berkembang pada masanya. Bahkan untuk nanggap ronggeng gunung, baik itu untuk acara tanam padi (tandur) atau ritual lainnya seperti panen padi, mendatangkan hujan, gusaran dan pakaulan, tidak sembarangan seperti memesan group pongdut. Ada cara-cara tertentu untuk ngala ronggeng yang pada jamannya begitu dipelihara oleh masyarakat Ciamis pakidulan.
Sebagian kebiasaan-kebiasaan diatas saat ini mungkin sudah hilang ditelan jaman seiring dengan berkurangnya peronggeng gunung. Saat ini yang masih terlihat eksis memang hanya Bi Raspi seorang. Dan untuk menciptakan regenerasi pun selalu terbentur oleh pradigma kekinian. Profesi ronggeng gunung bagi kalangan wanita bukanlah pekerjaan yang menjanjikan. kendati Ronggeng Gunung juga berfungsi sebagai media hiburan namun didalamnya sarat dengannilai-nilai sacral yang juga tidak sembarang orang dapat mempelajarinya.
Menurut cerita Bi Raspi, bahwa rongeng gunung yang sudah berpengalaman biasanya menguasai mantra atau doa tertentuuntuk melepaskan suara agar terdengar keras dan nyaring yang disebut uluk-uluk.“ Margi kapungkur mah teu aya sound system. Janten sora teh kedah tarik nangingteu leupas tina ugeran, sangkan kakuping kamana-mana.” (sebab dulu tidak adasound system, sehingga suara harus keras sehingga tidak lepas dari aturan, supayaterdengar kemana-mana) Ujarnya. Bi Raspi terkenal dengan suara petit yang tinggi. Dan Boleh jadi, salah satu alasan kenapa waditra dan tetabuhan ronggeng gunung terlihat minimalis mungkin untuk memberi ruang resonansi lebih agar suara Nyi Ronggeng terdengar dominan.
Pada katagori tertentu Ronggeng Gunung dapat disebut juga olahraga tradisional. Hal itu disebabkan adanya adegan Dogong yang tampil pada babak tertentu. Para penari pria yang terbagi dalam dua kelompok mengadu kekuatan dengan saling mendorong menggunakan pundak. Dan uniknya selama menari,biasanya penari pria selalu diharudung sarung, sehingga wajahnya tertutup. adegan ini merupakan simbol dari kisah pembalasan Dewi Rengganis terhadap kawanan Bajo yang telah membunuh suaminya.
Jadi tidak heran kenapa kesenian ini diambang kepunahan .Disamping kecilnya minat untuk menjadi ronggeng gunung, peran pemerintah, khususnya Disbudpar Kabupaten Ciamis masih tamba heunteu teuing. Saat ini upaya untuk menumbuhkan kembali kesenian ini dengan melakukan tindakan langsung dilapangan belum terlihat. Baik itu berupa pendataan, pembinaan dan pelatihanyang intensif ataupun even budayanya. Apalagi saat sektor Kebudayaan pindah ke dinas pendidikan, khususnya di Ciamis, para pejabat baru di wilayah kebudayaan masih rampang reumpeung untuk berbuat dan bertindak karena kecilnya pemahaman terhadap peta seni budaya di daerahnya.
Apa jadinya kesenian ini sepeninggal Bi Raspi nanti? Ronggeng Gunung yang menjadi salah satu ikon kabupaten Ciamis mungkin hanyaakan tinggal serpihan kenangan saja. berbeda dengan di Pangandaran, kesenian ini mulai dikembangkan oleh pemerintahnya. Jika pemerintah Ciamis tetap mengabaikannya, maka Tak heran jika suatu saat Bi Raspi berniat pindah ke Pangandaran. Padahal pada perkembangannya, akhir tahun 2013 Ronggeng Gunung telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda TingkatNasional oleh Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan.

BATU PANJANG JAHIM SUKAMANTRI (Bag.3-Tamat)
Oleh Pandu Radea
Komunitas Tapak Karuhun

Batara Gunung Bitung
Sepertinya posisi geografis dari Pegunungan Madati yang sejak megalitikum dijadikan pusat religi, menjadi acuan bagi Sang Sudayosa (Batara Gunung Bitung) untuk mendirikan Padepokan Agama Budha Sarwastiwada di Gunung Bitung. Padepokan Agama Budha terbesar di sunda galuh dan dikenal luas sampai Sumatera. Sudhayosa adalah putra Suryadewata. Sedangkan Suryadewata putra ke tiga dari Prabu Ajiguna Linggawisesa dan Ratna Uma lestari yang memerintah Kerajaan Sunda Galuh di Kawali pada tahun 1333 M. Sedangkan putra sulung Ajiguna Linggawisesa yaitu Ragamulya Luhur Prabawa kelak menjadi penguasa berikutnya di Kawali.
Namun dalam keterangan selanjutnya, Shahidi mengisahkan Eyang Mangkubumi dan Eyang Langlangbuana ini konon berasal dari Jawa Tengah dan melakukan perjalanan menuju Panjalu. Namun kedatangannya tidak diterima oleh penguasa Panjalu, mereka akhirnya beristirahat di Batu Panjang. Larangan itu mereka laporkan ke Raden Panglurah di Gunung Bitung. Raden Panglurah laporan ke Sanghyang Talaga, dan Sanghyang Talaga laporan ke Cirebon. Akhirnya oleh Cirebon diputuskan mereka berdua disuruh tinggal di wilayah Jahim. Dan kalau terjadi apa-apa disuruh lapor ke Cirebon. Dalam kisah ini maka Nama Raden Panglurah menjadi simpul penting karena kejelasan asal usulnya. Dia adalah Putra cikal Prabu Talagamanggung yang tidak berminat menjadi raja, namun memilih menjadi biksu budha di Gunung Bitung.
Kakeknya bernama Rajaguru Darmasuci, adalah putra sulung Sang Sudayosa. Darmasucilah tokoh yang merubah padepokan Budha Gunung Bitung menjadi Kerajaan bercorak Budha Talaga yang Pusat pemerintahanya bergeser ke wilayah Talaga. Kerajaan ini berada di bawah kekuasaan Sunda Galuh Kawali yang saat itu dipimpin oleh Niskala Wastu Kancana (1371 M-1475 M). Dari garis keturunan, maka Raden Panglurah adalah sifat cucu Wastu Kancana, karena bao-nya, yaitu Suryadewata adalah adik Ragamulya Luhur Prabawa (Kakek NiskalaWastu Kancana).
Lantas
siapakah yang disebut Mangkubumi dan Langlangbuana yang berasal dari
Jawa Tengah ini? Kuncen Shahidin menyebutkan keduanya dari sekitar
wilayah Jogjakarta atau dari wilayah kekuasaan Mataram. Analisa
sementara, kemungkinan kedua tokoh ini merupakan bhiksu atau penganut
Budha yang menyelamatkan diri saat daerah jawa dilanda Perang Paregreg yang berkecamuk tahun 1453 M -1456M. Saat itu Niskala Wastu Kancana dan Darmasuci masih hidup. Namun Kawali sudah dirajai oleh Dewa Niskala. Akibat paregreg, ada Rombongan Raden Baribin dari Majapahit yang mengungsi ke Kawali. Mungkin saja kedua tokoh diatas termasuk dalam rombongan.
dari kisah Ki Shahidi bisa direkontruksi menjadi sebuah analisa kejadian. Anggap saja ini hanya "meureun dan sugan". Namun walau demikian susuganan tersebut tetap bersandar dari sekian data yang telah di telaah di lapangan. Tafsiran saya, bisa saja mereka berdua berniat menyebarkan agama budha di Panjalu, namun tidak diiizinkan karena perbedaan mazhab. Aliran Sarwastiwada merupakan bagian dari Budha Hinayana yang berorientasi pada tingkatan arhat nirwana, sedangkan kedua bhiksu itu ingin mengembangkan faham budha Mahayana yang berorientasi pada tingkatan yang lebih tinggi lagi, yaitu menjadi budha. Akhirnya mereka meminta tolong pada Raden Panglurah sebagai sesama penganut agama Budha. Namun karena menyangkut agama dan kerajaan, maka Raden Panglurah meminta pendapat pada ayahnya, Prabu Talagamanggung (Sanghyang Talaga) yang menganut Budha Hinayana Sarwatiwada.
Demikian pula Sanghyang Talaga merasa perlu untuk meminta pendapat kepada Pihak Cirebon. Yang dimaksud pihak Cirebon disini kemungkinan adalah putra Bunisora Suradipati yaitu Ki Gedeng Kasmaya (Giridewata) yang berkuasa di Carbon Girang dan Surawijaya Sakti, penguasa Wilayah di Singapura (Mertasinga, Cirebon) yang merupakan putra Niskala Wastukancana dari Mayangsari. Kedua tokoh tersebut sejaman dengan Prabu Talagamanggung. Akhirnya atas musyawarah para putra Niskala Wastu Kancana dan Bunisora Suradipati,keduanya diizinkan untuk tinggal di Jahim. Bahkan keduanya mendapat jaminan.
Adanya
interaksi dengan Cirebon ditandai dengan mangkuk kuno yang saya temukan
dilereng barat, jaraknya sekitar 500 meter dari Kabuyutan Batu Panjang.
Di area perkebunan juga terdapat gugusan batu panjang. Menurut Kuncen
Shahidin batu panjang itu merupakan arah datang Eyang Mangkubumi dan
Eyang Langlangbuana. Di sebelahnya terdapat bukit kecil yang lebat
ditumbuhi perdu dan beberapa pohon besar. Ternyata bukit itu merupakan
pekuburan kuno yang tak terurus. Mangkuk itu didapat dari salah satu
tetengger batu dengan kondisi masih utuh namun sedikit pecah pinggirnya.
Berdasarkan
bentuk kakinya, Nanang Saptono, arkeolog ahli pemukiman masa klasik
dari Balai Arkeologi Bandung memperkirakan mangkuk tersebut buatan cina
masa dinasti Ming yang diproduksi di Swatouw abad 15 – 17M. Produk
keramik dari Dinasty Ming ini memang membanjiri asia tenggara
dandiproduksi untuk membiayai perang melawan"pemberontak" Mongolia.
Olehkarena itu bentuknya terkesanasal-asalan. Di duga masuk ke
Indonesia melalui Pelabuhan Kerajaan Sunda di Cimanuk Indramayu yang
kini sudah hilang jejaknya.
Menafsir Nama
Madati berasal dari bahasa Kawi yaitu Madhati yang berarti naik pedati, Kata inilah yang sedikit menjelaskan tentang pengaruh Budha Mahayana di wilayah ini, bersanding dengan Budha Hinayana Sarwastiwada yang sudah berkembang lebih dulu. Naskah Sewaka Darma menyatakan tentang kiasan Panca Tathagata dengan kalimat sampangan mangregat lima Na jalan pa[da] tiageung” (Sewaka, 28: 8—9) yang artinya : Simpang jalan terbagi lima, itu jalan pedati besar. Menurut filolog Aditya Gunawan pernyataan tersebut sebenarnya merupakan perumpamaan bagi PancaTathagata yang terdiri dari Amitabha (barat), Amoghasiddhi (utara), Aksobhya (timur), Ratnasambhawa (selatan), dan Wairocana (tengah). Merekalah yang telah memperoleh jalan keBuddhaan. Para Buddha tersebut hanya dikenal dalam ajaran Mahayana yang artinya pedati besar, ataujuga golongan Mahasanghika yang menyetujui adanya perubahan-perubahan (Hadiwijono 1982: 67), oleh karena itu disebut dengan na jalan padati ageung.
Madhati (naik kereta/pedati) merupakan cara untuk mencapai jalan kebudddhaan dengan cara mengdalami Panca Tathataga (disebut juga Panca Dhyani Budha). AliranMahayana memiliki kesamaan dengan Hindu karena adanya pantheon atau anasir yangmenguasai mata angin sehingga aliran ini mudah bersinkretis dengan agama Hindu. Wairocana yang berada di tengah berarti sumber cahaya dengan warna Putih. Sikapnya Witarka-Mudra, Unsurbhuttha-nya Tanah, skandhanya adalah rupa, dan unsur indranya penciuman (hidung), sepertinya merujuk pada Batu Panjang.
Sedangkan Jahim berasal
dari bahasa arab yang merujuk pada salah satu neraka dalam Islam. Nama
ini berindikasi kuat muncul pada masa awal penyebaran Islam oleh Cirebon
ke wilayah Pajajaran. Namun kenapa kawasan Batu Panjang yang indah ini
disebut neraka? Analisa yang masuk akal berkaitan dengan dogma agama.
Konsep religi dan kegiatan pemujaan terhadap ageman di luar Islam yang
telah ada dikawasan ini jelas bertentangan dengan penyebaran Islam waktu
itu. Hal-hal yang bertentangan tersebut akhirnya dikafirkan dan
neraka(jahim) jaminannya. Simbol-simbol pemujaan lama yang berada di
Kabuyutan Batu Panjang seperti kemungkinan adanya arca atau bahkan
bangunan ibadah sederhana juga dihancurkan. Karena jika dibiarkan akan
merusak akidah dalam proses Islamisasi yang dilakukan oleh Cirebon pasca
runtuhnya Pajajaran. Begitu kuatnya orientasi Islam untuk mengikis
unsur wiwitan dan hindu budha di wilayah ini, jejaknya dapat dilihat
dari Situ Lengkong Panjalu (berjarak sekitar 8 km dari Batu Panjang)
yang saat ini merupakan salah tujuan wisata ziarah penting di Jawa Barat
dan banyak dikunjungi peziarah dari berbagi pelosok tanah air.
Yang
jelas dari tebalnya kabut sejarah Batu Panjang Jahim, setidaknya ada
beberapa tanda yang dapat dibaca dan ditafsirkan walau hanya merupakan
analisa yang masih jauh dari kebenarannya. Sayangnya, tatanan batu yang
ada saat ini sudah tidak asli lagi posisinya. Seperti pada beberapa
pasang batu yang saling ditautkan atau dikomposisikan membentuk simbol
baru berdasarkan presepsi dan tafsir darisegelintir orang. Pintu
masukpun dirubah dengan membersihkan area sebelah utara. Adanya
perubahan itu tentu nantinya akan menyulitkan jika ada penelitian
ilmiah. Terutama mengidentifikasi dari keletakan batu yang sudah tidak
asli lagi posisinya.
Dan lagi-lagi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Ciamis yang mengurus bagian sejarah memang terkesan hoream untuk memperhatikan tinggalan budaya yang berharga ini. Entah karena situs ini kurang dikenal atau karena berada paling ujung kabupaten yang jauh untuk disaba, atau entah karena geus kitu watek pagawena. Karena jika dibiarkan maka lambat laun tanda-tanda sejarah yang ada di Situs Batu Susun Jahim ini akan semakin sulit diidentifikasi lagi. Apalagi saat ini sedang gencar-gencarnya ekskavasi Gunung Padang Cianjur. Tidak menutupkemungkinan kandungan sejarah Situs Batu Panjang Jahim memiliki kesamaan dengan situs Gunung Padang Cianjur. Selain unsur sejarahnya, faktor keindahan alam dan beberapa potensi lainnya seperti adanya telaga, sebetulnya dapat di kembangkan untuk tujuan wisata. Apalagi sarana jalan dan arus lalu lintas sangat mendukung untuk tujuan itu. Maka, situs ini harus secepatnya diteliti, dilindungi dan kemudian dikembangkan sebagai cagar budaya sejarah, alam sekaligus tempat tujuan wisata. Tabe Pun.
Penulis adalah penggemar kopi

Komunitas Tapak Karuhun

Batara Gunung Bitung
Sepertinya posisi geografis dari Pegunungan Madati yang sejak megalitikum dijadikan pusat religi, menjadi acuan bagi Sang Sudayosa (Batara Gunung Bitung) untuk mendirikan Padepokan Agama Budha Sarwastiwada di Gunung Bitung. Padepokan Agama Budha terbesar di sunda galuh dan dikenal luas sampai Sumatera. Sudhayosa adalah putra Suryadewata. Sedangkan Suryadewata putra ke tiga dari Prabu Ajiguna Linggawisesa dan Ratna Uma lestari yang memerintah Kerajaan Sunda Galuh di Kawali pada tahun 1333 M. Sedangkan putra sulung Ajiguna Linggawisesa yaitu Ragamulya Luhur Prabawa kelak menjadi penguasa berikutnya di Kawali.
Namun dalam keterangan selanjutnya, Shahidi mengisahkan Eyang Mangkubumi dan Eyang Langlangbuana ini konon berasal dari Jawa Tengah dan melakukan perjalanan menuju Panjalu. Namun kedatangannya tidak diterima oleh penguasa Panjalu, mereka akhirnya beristirahat di Batu Panjang. Larangan itu mereka laporkan ke Raden Panglurah di Gunung Bitung. Raden Panglurah laporan ke Sanghyang Talaga, dan Sanghyang Talaga laporan ke Cirebon. Akhirnya oleh Cirebon diputuskan mereka berdua disuruh tinggal di wilayah Jahim. Dan kalau terjadi apa-apa disuruh lapor ke Cirebon. Dalam kisah ini maka Nama Raden Panglurah menjadi simpul penting karena kejelasan asal usulnya. Dia adalah Putra cikal Prabu Talagamanggung yang tidak berminat menjadi raja, namun memilih menjadi biksu budha di Gunung Bitung.
Kakeknya bernama Rajaguru Darmasuci, adalah putra sulung Sang Sudayosa. Darmasucilah tokoh yang merubah padepokan Budha Gunung Bitung menjadi Kerajaan bercorak Budha Talaga yang Pusat pemerintahanya bergeser ke wilayah Talaga. Kerajaan ini berada di bawah kekuasaan Sunda Galuh Kawali yang saat itu dipimpin oleh Niskala Wastu Kancana (1371 M-1475 M). Dari garis keturunan, maka Raden Panglurah adalah sifat cucu Wastu Kancana, karena bao-nya, yaitu Suryadewata adalah adik Ragamulya Luhur Prabawa (Kakek NiskalaWastu Kancana).

dari kisah Ki Shahidi bisa direkontruksi menjadi sebuah analisa kejadian. Anggap saja ini hanya "meureun dan sugan". Namun walau demikian susuganan tersebut tetap bersandar dari sekian data yang telah di telaah di lapangan. Tafsiran saya, bisa saja mereka berdua berniat menyebarkan agama budha di Panjalu, namun tidak diiizinkan karena perbedaan mazhab. Aliran Sarwastiwada merupakan bagian dari Budha Hinayana yang berorientasi pada tingkatan arhat nirwana, sedangkan kedua bhiksu itu ingin mengembangkan faham budha Mahayana yang berorientasi pada tingkatan yang lebih tinggi lagi, yaitu menjadi budha. Akhirnya mereka meminta tolong pada Raden Panglurah sebagai sesama penganut agama Budha. Namun karena menyangkut agama dan kerajaan, maka Raden Panglurah meminta pendapat pada ayahnya, Prabu Talagamanggung (Sanghyang Talaga) yang menganut Budha Hinayana Sarwatiwada.
Demikian pula Sanghyang Talaga merasa perlu untuk meminta pendapat kepada Pihak Cirebon. Yang dimaksud pihak Cirebon disini kemungkinan adalah putra Bunisora Suradipati yaitu Ki Gedeng Kasmaya (Giridewata) yang berkuasa di Carbon Girang dan Surawijaya Sakti, penguasa Wilayah di Singapura (Mertasinga, Cirebon) yang merupakan putra Niskala Wastukancana dari Mayangsari. Kedua tokoh tersebut sejaman dengan Prabu Talagamanggung. Akhirnya atas musyawarah para putra Niskala Wastu Kancana dan Bunisora Suradipati,keduanya diizinkan untuk tinggal di Jahim. Bahkan keduanya mendapat jaminan.


Menafsir Nama
Madati berasal dari bahasa Kawi yaitu Madhati yang berarti naik pedati, Kata inilah yang sedikit menjelaskan tentang pengaruh Budha Mahayana di wilayah ini, bersanding dengan Budha Hinayana Sarwastiwada yang sudah berkembang lebih dulu. Naskah Sewaka Darma menyatakan tentang kiasan Panca Tathagata dengan kalimat sampangan mangregat lima Na jalan pa[da] tiageung” (Sewaka, 28: 8—9) yang artinya : Simpang jalan terbagi lima, itu jalan pedati besar. Menurut filolog Aditya Gunawan pernyataan tersebut sebenarnya merupakan perumpamaan bagi PancaTathagata yang terdiri dari Amitabha (barat), Amoghasiddhi (utara), Aksobhya (timur), Ratnasambhawa (selatan), dan Wairocana (tengah). Merekalah yang telah memperoleh jalan keBuddhaan. Para Buddha tersebut hanya dikenal dalam ajaran Mahayana yang artinya pedati besar, ataujuga golongan Mahasanghika yang menyetujui adanya perubahan-perubahan (Hadiwijono 1982: 67), oleh karena itu disebut dengan na jalan padati ageung.
Madhati (naik kereta/pedati) merupakan cara untuk mencapai jalan kebudddhaan dengan cara mengdalami Panca Tathataga (disebut juga Panca Dhyani Budha). AliranMahayana memiliki kesamaan dengan Hindu karena adanya pantheon atau anasir yangmenguasai mata angin sehingga aliran ini mudah bersinkretis dengan agama Hindu. Wairocana yang berada di tengah berarti sumber cahaya dengan warna Putih. Sikapnya Witarka-Mudra, Unsurbhuttha-nya Tanah, skandhanya adalah rupa, dan unsur indranya penciuman (hidung), sepertinya merujuk pada Batu Panjang.


Dan lagi-lagi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Ciamis yang mengurus bagian sejarah memang terkesan hoream untuk memperhatikan tinggalan budaya yang berharga ini. Entah karena situs ini kurang dikenal atau karena berada paling ujung kabupaten yang jauh untuk disaba, atau entah karena geus kitu watek pagawena. Karena jika dibiarkan maka lambat laun tanda-tanda sejarah yang ada di Situs Batu Susun Jahim ini akan semakin sulit diidentifikasi lagi. Apalagi saat ini sedang gencar-gencarnya ekskavasi Gunung Padang Cianjur. Tidak menutupkemungkinan kandungan sejarah Situs Batu Panjang Jahim memiliki kesamaan dengan situs Gunung Padang Cianjur. Selain unsur sejarahnya, faktor keindahan alam dan beberapa potensi lainnya seperti adanya telaga, sebetulnya dapat di kembangkan untuk tujuan wisata. Apalagi sarana jalan dan arus lalu lintas sangat mendukung untuk tujuan itu. Maka, situs ini harus secepatnya diteliti, dilindungi dan kemudian dikembangkan sebagai cagar budaya sejarah, alam sekaligus tempat tujuan wisata. Tabe Pun.
Penulis adalah penggemar kopi

MACATANDA PERADABAN PURBA KABUYUTAN BATU PANJANG JAHIM SUKAMANTRI (Bag.2)
Oleh Pandu Radea
Komunitas Tapak Karuhun

Batu Panjang dalam Kosmologi kunoBudaya dan peradaban terus berkelindan. Batu Panjang Jahim pun perkembangannya bersentuhan dengan tradisi budaya megalitikum. Analisa ini dapat dilacak berdasarkan kisah yang disampaikan oleh Kuncen Shahidin yang menyebut nama Nyi Dewi Sri Pohaci sebagai sosok yang disakralkan. Selain itu juga disebutkan dua figur lainnya yaitu Eyang Mangkubumi dan Eyang Langlangbuana. Sri Pohaci merupakan sosok yang sudah dikenal luas dalam kosmologi sunda berkaitan dengan asal usul tanaman padi. Kisahnya dapat dibaca dalam pantun Sri Sadana dan Sulanjana.
Sampai saat ini tak ada kepastian sejak kapan pemahaman terhadap Sanghyang Sri Pohaci ini muncul. Namun bisa diduga seiring dengan dikenalnya tumbuhan padi yang diprediksi telah ada sejak 3000 Tahun SMdi Cina. Jika itu benar, maka Nyi Dewi Sri Pohaci merupakan simbol artefak yang lahir di peradaban purba nusantara pada masa megalitikum-neolitikum. Sedangkan dua tokoh lainnya secara umum namanya dikenal di banyak kabuyutan sebagai gelaran yang menjadi ciri pada masa sejarah klasik. Analisa ini semakin tumbuk karena Kuncen Shahidin menuturkan bahwa dua tokoh tersebut memiliki keterkaitan dengan sosok Raden Panglurah dari Gunung Bitung.
Konsep kosmologi Situs Batu Jahim diantaranya dapat ditafsirkan berdasarkan letak geografisnya. Dari analisa sementara,Google Earth menunjukan bahwa Situs Batu Panjang Jahim terletak di tengah empat gunung yang sejak jaman purba yang merupkan pusat-pusat kabataraan yang sangat disakralkan. Yaitu, Gunung Ceremai di timur laut, Gunung Sawal sebelah selatan, Gunung Cakrabuana di barat dan Gunung Galunggung di arah baratdaya. Lepas ke utara lagi berhadapan dengan Laut Jawa dan arah selatan ke Samudra Indonesia. Sedangkan pintu masuknya menghadap timur membujur ke barat.
Apakah posisi arah mata angin gunung-gunung tersebut memiliki makna? Hal ini bisa dirujuk dari naskah Sanghyang Siksakandang Karesian : Lamun pahi kaopeksa sanghyang wuku lima (dina) bwana, boa halimpu ikangdesa kabeh. Desa kabeh ngaranya: purba, daksina, pasima, utara, madya. Purba,timur, kahanan Hyang Isora, putih rupanya: daksina, kidul, (kahanan Hyang Brahma, mirah rupanya; Pasima, kulon, kahanan Hyang Mahadewa, kuning (rupanya);utara, lor, kahanan Hyang Wisnu, hideung rupanya; madya, tengah, kahanan HyangSiwah, (aneka) warna rupanya. Nya mana sakitu sanghyang wuku lima dina bwana.
Artinya :Kalau terpahami semua sanghiyang wuku lima di bumi, tentu (tampak) menyenangkan(keadaan) semua tempat. Tempat itu disebut: purwa, daksina, pasima, utara,madya. Purba yaitu timur, tempat Hyang Isora, putih warnanya. Daksina yaituselatan, tempat Hyang Brahma, merah warnanya. Pasima yaitu barat, tempat Hiyang Mahadewa, kuning warnanya. Utara yaitu utara, tempat Hyang Wisnu, hitamwarnanya. Madya yaitu tengah, tempat Hiyang Siwa, aneka macam warnanya. Yasekian wuku lima di bumi.
Orientasi empat gunung dalam arah kompas ternyata tidak begitu tepat dengan kedudukan arah yang disebutkan di dalam naskah. Namun sebelum mengenal arah utara-selatan dalam kompas, bangunan religi megalitikum selalu berpatokan pada matahari dengan arah timur – barat, sebagai tempat terbit dan tenggelamnya matahari. Ini merupakan lambang perjalanan manusia dari lahir(terbit) sampai mati (tenggelam). Dan Inilah pemaham religi tertua yang dapat difahami dari kabuyutan ini. Pada perkembangan religi berikutnya arah timur tetap dipertahankan dalam agama asli sunda, walau kemudian bersinkretis dengan pengaruh hindu dan budha.
Dari patokan arah timur sebagai arah hadap dan barat sebagai arah belakang, maka pembagian arah berkembang menjadi Hareup-tukang (depan-belakang) dan kenca-katuhu (kiri-kanan). Jika dikompaskan,maka timur adalah hareup, barat adalah tukang, kenca sebagai utara dan selatan merupakan katuhu. Masing-masing arah memiliki dewa yang menjaga dengan tugasnya masing-masing. Sedangkan pancernya adalah Gunung Madati. Garis segi empat dalam keletakan gunung membentuk bidang jajaran genjang yang memanjang ke arah Gunung Ceremai, jika diimajinasikan bidangini seperti arah mata panah dan diarahkan ke timur sebagai arah hadap utama maka bisa disimbolkan : Hareupna GunungCeremai (Isora) belakangnya Gunung Galunggung (Brahma), di kiri Gunung Cakrabuana (Wisnu), di kanan Gunung Sawal (Mahadewa) dan Gunung Madati ditengah (Siwa).
Jika kemudian ditafsirkan dengan perkmbangan kehidupan di mandala masing-masing gunung maka akan terlihat benang merahnya. Ceremai merupakan gunung tertinggi yang dekat dengan matahari menjadi arah suci tempat kedudukan Dewa Isora yang menyinari kehidupan. Gunung Galunggung yang disimbolkan dengan Brahma dengan gambaran seorang maharesi yang usianya melebihi alam semesta. Kawasan Kabataan Galunggung merupakan salah satu puseur religi yang sangat penting dan dihormati oleh kerajaan Sunda dan Galuh. Dari Kabataraan Galunggung banyak dilahirkan pemahaman tentang ajaran keagamaan, dari berbagai naskah kuno yang berasal dari kawasan ini.
Gunung Sawal disimbolkan dengan Mahadewa. Dewa keluhuran budi, kemuliaan, kepahlawanan dan keperkasaan. Sejarah menulis Kerajaan Galuh yang dirintis Wretikandayun mulai berkembang pesat dari kawasan Gunung Sawal. Di salah satu puncaknya Rabuyut Sawal yang memegang kitab Pustakaning Bala Sarewu (kitab strategi perang) membuka padepokan. Sehingga tak salah jika Sanjaya sebelum menjadi penguasa tanah jawa menggodok dirinya di tempat ini. Demikian pula pada periode berikutnya, dari lembah Gunung Sawal berkembang pesat Kerajaan Sunda Galuh Kawali yang mampu menandingi kebesaran Majapahit di Timur Jawa. Tercatat tiga orang rajanya yang lahir dan berkuasa di Kawali yaitu Linggabuana, Niskala WastuKancana dan Jayadewata namanya mewangi di nusantara dengan keluhuran, kemuliaan, keperkasaan dan Kepahlawanannya.
Gunung Cakrabuana yang disimbolkan Wisnu seolah menjadi penengah, pengatur dan pemelihara kehidupan di dunia. Kenyataannya Gunung ini adalah batas dari lima kabupaten yang memiliki sejarah penting di tatar sunda. Yaitu Ciamis, Majalengka, Kuningan, Tasikmalaya dan Garut. Sedangkan Siwa yang berkedudukan di Gunung Madati merupakan manifestasi dari penguasa alam madya yaitu manusia dan alamnya. Dialah yang yang bersifat membangun, menghancurkan dan banyak dipuja dikalangan pemeluk hindu.
Jika arah hadap dikembalikan lagi ke kutub utara, maka dalam pemahaman Astadikpalaka( 8 dewa penjaga), terkesan kuat Gunung Madati dan Situs Batu Jahim seperti halnya Gunung Mahameru. Keletakannya menyebutkan bahwa arah timur laut (Gunung Ceremai) merupakan arah yang paling diagungkan. tempat bersemayam Dewa Isana (Siwa) yang menguasai kekuatan alam. Selatan (Gunung Sawal) tempat Dewa Kala/Yama yang berkaitan dengan kematian. Barat (Gunung Cakrabuana) ditempati Dewa Baruna sebagai keluasan tanpa batas yang membersihkan kotoran. Dan baratdaya ditempati Dewa Nrrti (Rudra) yang menyimbolkan kesedihan.
Keempat arah itu mewakili unsur nista, madya utama, bawah-tengah-atas dan profan-netral-sakral. Dari konsep tersebut, dapat ditafsirkan pula bahwa posisi cekungan tempat gugusan batu yang menghadap timur laut-baratdaya bisa dipresepsikan : timur laut Gunung Ceremai sebagai arah sakral pemujaan. Sedangkan barat laut merupakan wilayah profan (bawah, dasar, awal)tempat bersemayam Nrrti, DewaKesedihan. Maka Situs Batu Jahim bisa disebut sebagai tempat penyucian. Dari kotor menjadi bersih, dari nista menjadi utama.
Tri Tangtu
Seperti ditulis di atas bahwa arah hadap pintu masuk yang mengarah ke timur menjadi penentu arah puja situs ini. Dalam pemahaman Sunda, timur juga identik dengan kehidupan karena arah terbitnya matahari tempat Dewa Isora. Ini sesuai dengan pemujaan terhadap Sanghyang Dewi Sri terkait dengan kesuburan. Bahkan lebih jauhnya arah timur menjadi konsep penting bagi religi purba masyarakat sunda yang dikenal memuja cahaya yang disimbolkan dengan matahari. Seperti gambar manusia kangkang yang dibuat oleh manusia purba di Situs Citapen Rancah juga menghadap ketimur.
Apabila
posisi Gunung Galunggung dihilangkan karena posisinya paling luar,
maka akan terkait dengan konsep tritunggal yang disebut terdiri
rama-resi-ratu, bayu-sabda-hedap, buana larang - buana panca tengah -
buana nyungcung. Gunung Ceremai yang berada di posisi timur laut
menjadi wilayah transisi Dewa Isora (Purwa-yangmenyinari kehidupan) di timur dan Dewa Wisnu (pemelihara kehidupan) di utara. Konsep Triwarga menyebutkan bahwa dalam kehidupan, Wisnuibarat prabu (ratu), Isora ibarat resi. Ratu memiliki tugas memimpin negara dan resi bertugas mikukuhkeun, manaungi, mengayomi agama
Gunung Sawal di arah selatan adalah tempatnya Dewa Brahma (Daksina-dewa penciptaan) yang diibaratkan rama (ayah) yang bertugas mengasuh, menasehati, membimbing ratu. Sedangkan Gunung Cakrabuana di sebelah Barat menjadi wilayah Dewa Siwa (pasima-netral) ditafsirkan sebagai marcapada atau kehidupan itu sendiri. Dan posisi GunungMadati yang berada ditengah (pancer) merupakan inti yang mengikat ketiganya,seperti yang terkandung dalam prinsip tilu sapamalu, dua sakarupa, hiji eta-etakeneh (Ciptagelar).
Dalam Naskah Siksakanda Ng Karesian disebutkan pula bahwa Ratu bakti ka dewata dan dewata bakti ka Hyang, maka posisis Gunung Madati yang berada di tengah (pancer) seolah mengisyarakan sebagai arah hadap dari ke tiga gunung yang ditempati dewa-dewa diatas. Maka Batu Susun Jahim merupakan Mandala Agung untuk melakukan sembah hyang sekaligus gerbang yang menghubungkan buana larang, buana pancatengah dengan buana nyungcung, wujud pemujaan terhadap Hyang sebagai Tuhan Yang Maha Tunggal. Hal ini semakin menegaskan bahwa tibaheula urang sunda geus boga Hyang Tunggal nu teu bisa dibandingkeunjeung ciptaanana, termasuk dengan panteon dewa sekalipun.
Talaga Renalaya dan Talaga Langarea
Sudahmenjadi
ciri, bahwa setiap kabuyutan atau pusat kegiatan religi selalu
berdekatan dengan sumber air. Baik itu sungai, telaga, kolam, mata air,
curug ataupun sumur. Jika Kabuyutan Batu Panjang memang pusat religi,
tentu sumber air itu tidak jauh letaknya. Karena gunung dan laut menjadi
simbol penting dalam konsep religi. Setelah menggali keterangan dari
beberapa warga setempat, ternyata di kawasan Jahim ada dua telaga yang
masih diingat.
Hal itu kemudian dipertegas oleh Kuncen Shahidin. Bahwa telaga yang pertama tepat berada di samping Kabuyutan Batu Panjang bagian utara luasnya sekitar 200 bata,mengarah timur barat. Telaga ini terbentuk secara alami karena berada di lembah dan sumber mata airnya sampai saat ini tetap mengalir. Tetapi karena tak terurus, telaga atau kolam besar ini akhirnya mengalami pendangkalan dan ditumbuhi oleh ilalang. Namun, jejaknya masih dapat dilihat. Selokan kecil yang mengalir jernih di depan situs, airnya berasal dari mata air talaga. Kuncen Shahidin masih ingat bahwa dulu tempat itu sering digunakan untuk memandikan kerbau. Malah dipinggir telaga sebelah barat terdapat makam yang tak dikenal lagi.
Sayangnya, saat saya bersama Ki Shahidin dan anggota Tapak Karuhun (Imank Pasha, TiziRakyan, Ridwan Hasyimi, Irvan Kivong dan Mulyo Suprio) mencoba menjelajahi wilayah bekas telaga ini, tidak berhasil menemukan sumber mata air dan batu yang disebutkan Ki Kuncen karena lebatnya tanaman perdu disepanjang lembah Batu panjang. Keterangan adanya telaga itu membuka ingatan beberapa tahun silam, saat saya ngobrol dengan seorang sesepuh di desa Cibeureum, bahwa di dekat karamat Batu Panjang Jahim terdapat balong yang cek kolot baheula disebut Renalaya. Mungkin talaga inilah yangdi maksud. Dalam bahasa kawi atau sangsekerta rena berarti ibu dan laya berarti tempat tinggal.
Dalam pemahaman sunda tokoh indung (ibu) sangat disakralkan bahkan memiliki sifat keilahian, mewakili aspek kehidupan,ciptaan, dan cinta kasih. Hal itu tersirat kuat dalam figur agung Sunan Ambu. Nyi Dewi Sri Pohaci yang dikenal sebagai karuhun Situs batu Panjang merupakan indikasi kuat adanya hubungan dengan Sunan Ambu. Pohaci berasal dari kata Pwah Aci yangberati hakikat keperempuanan. Dan tugas utama Dewi Sri Pohaci adalah pelaksana perintah Sunan Ambu di buana pancatengahuntuk melayani manusia.
Telaga kedua terdapat di sekitar 400 meter dari telaga pertama melewati tugu perbatasan kabupaten, lokasinya sudah masuk ke wilayah Majalengka. Telaga kecil ini masih terlihat jelas walau permukaanya sudah menjadi ranca yang ditutupi rumput. Sumber mata airnya juga masih mengalir dan menggenangi beberapa bagian permukaan telaga. Dipinggir bagian utara terdapat gundukan batu besar yang dulunya dikeramatkan. Sedangkan ditengah telaga terdapat nusa kecil yang ditumbuhi beberapa pohon pinus. Disela-sela pohon pinus ada dua pasang nisan batu yang jenis batunya seperti di Batu Panjang jahim.
Masyarakat setempat masih mengenal tempat itu sebagai balong keramat, walaupun demikian dari beberapa warga yang ditanya, tidak ada yang tahu siapa tokoh yang dikuburkan di tengahnya. Kemungkinan tokoh karuhun lembur atau jangan-jangan kubur dari Mangkubumi dan Langlangbuana. Kuncen Shahidin mengatakan wilayah ini disebut Langarea, yang merujuk pada nama telaga kecil itu. Sedangkan arti bebas kata langarea adalah sendiri dalam keramaian. Sayangnya tempat yang masih terasa wingit itu tidak ada juru kuncinya. Nusa mungilnya hanya disambangi para penyadap getah pinus.(Bersambung/HU.Kabar Priangan)
Komunitas Tapak Karuhun

Batu Panjang dalam Kosmologi kunoBudaya dan peradaban terus berkelindan. Batu Panjang Jahim pun perkembangannya bersentuhan dengan tradisi budaya megalitikum. Analisa ini dapat dilacak berdasarkan kisah yang disampaikan oleh Kuncen Shahidin yang menyebut nama Nyi Dewi Sri Pohaci sebagai sosok yang disakralkan. Selain itu juga disebutkan dua figur lainnya yaitu Eyang Mangkubumi dan Eyang Langlangbuana. Sri Pohaci merupakan sosok yang sudah dikenal luas dalam kosmologi sunda berkaitan dengan asal usul tanaman padi. Kisahnya dapat dibaca dalam pantun Sri Sadana dan Sulanjana.
Sampai saat ini tak ada kepastian sejak kapan pemahaman terhadap Sanghyang Sri Pohaci ini muncul. Namun bisa diduga seiring dengan dikenalnya tumbuhan padi yang diprediksi telah ada sejak 3000 Tahun SMdi Cina. Jika itu benar, maka Nyi Dewi Sri Pohaci merupakan simbol artefak yang lahir di peradaban purba nusantara pada masa megalitikum-neolitikum. Sedangkan dua tokoh lainnya secara umum namanya dikenal di banyak kabuyutan sebagai gelaran yang menjadi ciri pada masa sejarah klasik. Analisa ini semakin tumbuk karena Kuncen Shahidin menuturkan bahwa dua tokoh tersebut memiliki keterkaitan dengan sosok Raden Panglurah dari Gunung Bitung.
Konsep kosmologi Situs Batu Jahim diantaranya dapat ditafsirkan berdasarkan letak geografisnya. Dari analisa sementara,Google Earth menunjukan bahwa Situs Batu Panjang Jahim terletak di tengah empat gunung yang sejak jaman purba yang merupkan pusat-pusat kabataraan yang sangat disakralkan. Yaitu, Gunung Ceremai di timur laut, Gunung Sawal sebelah selatan, Gunung Cakrabuana di barat dan Gunung Galunggung di arah baratdaya. Lepas ke utara lagi berhadapan dengan Laut Jawa dan arah selatan ke Samudra Indonesia. Sedangkan pintu masuknya menghadap timur membujur ke barat.
Apakah posisi arah mata angin gunung-gunung tersebut memiliki makna? Hal ini bisa dirujuk dari naskah Sanghyang Siksakandang Karesian : Lamun pahi kaopeksa sanghyang wuku lima (dina) bwana, boa halimpu ikangdesa kabeh. Desa kabeh ngaranya: purba, daksina, pasima, utara, madya. Purba,timur, kahanan Hyang Isora, putih rupanya: daksina, kidul, (kahanan Hyang Brahma, mirah rupanya; Pasima, kulon, kahanan Hyang Mahadewa, kuning (rupanya);utara, lor, kahanan Hyang Wisnu, hideung rupanya; madya, tengah, kahanan HyangSiwah, (aneka) warna rupanya. Nya mana sakitu sanghyang wuku lima dina bwana.
Artinya :Kalau terpahami semua sanghiyang wuku lima di bumi, tentu (tampak) menyenangkan(keadaan) semua tempat. Tempat itu disebut: purwa, daksina, pasima, utara,madya. Purba yaitu timur, tempat Hyang Isora, putih warnanya. Daksina yaituselatan, tempat Hyang Brahma, merah warnanya. Pasima yaitu barat, tempat Hiyang Mahadewa, kuning warnanya. Utara yaitu utara, tempat Hyang Wisnu, hitamwarnanya. Madya yaitu tengah, tempat Hiyang Siwa, aneka macam warnanya. Yasekian wuku lima di bumi.
Orientasi empat gunung dalam arah kompas ternyata tidak begitu tepat dengan kedudukan arah yang disebutkan di dalam naskah. Namun sebelum mengenal arah utara-selatan dalam kompas, bangunan religi megalitikum selalu berpatokan pada matahari dengan arah timur – barat, sebagai tempat terbit dan tenggelamnya matahari. Ini merupakan lambang perjalanan manusia dari lahir(terbit) sampai mati (tenggelam). Dan Inilah pemaham religi tertua yang dapat difahami dari kabuyutan ini. Pada perkembangan religi berikutnya arah timur tetap dipertahankan dalam agama asli sunda, walau kemudian bersinkretis dengan pengaruh hindu dan budha.
Dari patokan arah timur sebagai arah hadap dan barat sebagai arah belakang, maka pembagian arah berkembang menjadi Hareup-tukang (depan-belakang) dan kenca-katuhu (kiri-kanan). Jika dikompaskan,maka timur adalah hareup, barat adalah tukang, kenca sebagai utara dan selatan merupakan katuhu. Masing-masing arah memiliki dewa yang menjaga dengan tugasnya masing-masing. Sedangkan pancernya adalah Gunung Madati. Garis segi empat dalam keletakan gunung membentuk bidang jajaran genjang yang memanjang ke arah Gunung Ceremai, jika diimajinasikan bidangini seperti arah mata panah dan diarahkan ke timur sebagai arah hadap utama maka bisa disimbolkan : Hareupna GunungCeremai (Isora) belakangnya Gunung Galunggung (Brahma), di kiri Gunung Cakrabuana (Wisnu), di kanan Gunung Sawal (Mahadewa) dan Gunung Madati ditengah (Siwa).
Jika kemudian ditafsirkan dengan perkmbangan kehidupan di mandala masing-masing gunung maka akan terlihat benang merahnya. Ceremai merupakan gunung tertinggi yang dekat dengan matahari menjadi arah suci tempat kedudukan Dewa Isora yang menyinari kehidupan. Gunung Galunggung yang disimbolkan dengan Brahma dengan gambaran seorang maharesi yang usianya melebihi alam semesta. Kawasan Kabataan Galunggung merupakan salah satu puseur religi yang sangat penting dan dihormati oleh kerajaan Sunda dan Galuh. Dari Kabataraan Galunggung banyak dilahirkan pemahaman tentang ajaran keagamaan, dari berbagai naskah kuno yang berasal dari kawasan ini.
Gunung Sawal disimbolkan dengan Mahadewa. Dewa keluhuran budi, kemuliaan, kepahlawanan dan keperkasaan. Sejarah menulis Kerajaan Galuh yang dirintis Wretikandayun mulai berkembang pesat dari kawasan Gunung Sawal. Di salah satu puncaknya Rabuyut Sawal yang memegang kitab Pustakaning Bala Sarewu (kitab strategi perang) membuka padepokan. Sehingga tak salah jika Sanjaya sebelum menjadi penguasa tanah jawa menggodok dirinya di tempat ini. Demikian pula pada periode berikutnya, dari lembah Gunung Sawal berkembang pesat Kerajaan Sunda Galuh Kawali yang mampu menandingi kebesaran Majapahit di Timur Jawa. Tercatat tiga orang rajanya yang lahir dan berkuasa di Kawali yaitu Linggabuana, Niskala WastuKancana dan Jayadewata namanya mewangi di nusantara dengan keluhuran, kemuliaan, keperkasaan dan Kepahlawanannya.
Gunung Cakrabuana yang disimbolkan Wisnu seolah menjadi penengah, pengatur dan pemelihara kehidupan di dunia. Kenyataannya Gunung ini adalah batas dari lima kabupaten yang memiliki sejarah penting di tatar sunda. Yaitu Ciamis, Majalengka, Kuningan, Tasikmalaya dan Garut. Sedangkan Siwa yang berkedudukan di Gunung Madati merupakan manifestasi dari penguasa alam madya yaitu manusia dan alamnya. Dialah yang yang bersifat membangun, menghancurkan dan banyak dipuja dikalangan pemeluk hindu.
Jika arah hadap dikembalikan lagi ke kutub utara, maka dalam pemahaman Astadikpalaka( 8 dewa penjaga), terkesan kuat Gunung Madati dan Situs Batu Jahim seperti halnya Gunung Mahameru. Keletakannya menyebutkan bahwa arah timur laut (Gunung Ceremai) merupakan arah yang paling diagungkan. tempat bersemayam Dewa Isana (Siwa) yang menguasai kekuatan alam. Selatan (Gunung Sawal) tempat Dewa Kala/Yama yang berkaitan dengan kematian. Barat (Gunung Cakrabuana) ditempati Dewa Baruna sebagai keluasan tanpa batas yang membersihkan kotoran. Dan baratdaya ditempati Dewa Nrrti (Rudra) yang menyimbolkan kesedihan.
Keempat arah itu mewakili unsur nista, madya utama, bawah-tengah-atas dan profan-netral-sakral. Dari konsep tersebut, dapat ditafsirkan pula bahwa posisi cekungan tempat gugusan batu yang menghadap timur laut-baratdaya bisa dipresepsikan : timur laut Gunung Ceremai sebagai arah sakral pemujaan. Sedangkan barat laut merupakan wilayah profan (bawah, dasar, awal)tempat bersemayam Nrrti, DewaKesedihan. Maka Situs Batu Jahim bisa disebut sebagai tempat penyucian. Dari kotor menjadi bersih, dari nista menjadi utama.
Tri Tangtu
Seperti ditulis di atas bahwa arah hadap pintu masuk yang mengarah ke timur menjadi penentu arah puja situs ini. Dalam pemahaman Sunda, timur juga identik dengan kehidupan karena arah terbitnya matahari tempat Dewa Isora. Ini sesuai dengan pemujaan terhadap Sanghyang Dewi Sri terkait dengan kesuburan. Bahkan lebih jauhnya arah timur menjadi konsep penting bagi religi purba masyarakat sunda yang dikenal memuja cahaya yang disimbolkan dengan matahari. Seperti gambar manusia kangkang yang dibuat oleh manusia purba di Situs Citapen Rancah juga menghadap ketimur.

Gunung Sawal di arah selatan adalah tempatnya Dewa Brahma (Daksina-dewa penciptaan) yang diibaratkan rama (ayah) yang bertugas mengasuh, menasehati, membimbing ratu. Sedangkan Gunung Cakrabuana di sebelah Barat menjadi wilayah Dewa Siwa (pasima-netral) ditafsirkan sebagai marcapada atau kehidupan itu sendiri. Dan posisi GunungMadati yang berada ditengah (pancer) merupakan inti yang mengikat ketiganya,seperti yang terkandung dalam prinsip tilu sapamalu, dua sakarupa, hiji eta-etakeneh (Ciptagelar).
Dalam Naskah Siksakanda Ng Karesian disebutkan pula bahwa Ratu bakti ka dewata dan dewata bakti ka Hyang, maka posisis Gunung Madati yang berada di tengah (pancer) seolah mengisyarakan sebagai arah hadap dari ke tiga gunung yang ditempati dewa-dewa diatas. Maka Batu Susun Jahim merupakan Mandala Agung untuk melakukan sembah hyang sekaligus gerbang yang menghubungkan buana larang, buana pancatengah dengan buana nyungcung, wujud pemujaan terhadap Hyang sebagai Tuhan Yang Maha Tunggal. Hal ini semakin menegaskan bahwa tibaheula urang sunda geus boga Hyang Tunggal nu teu bisa dibandingkeunjeung ciptaanana, termasuk dengan panteon dewa sekalipun.
Talaga Renalaya dan Talaga Langarea

Hal itu kemudian dipertegas oleh Kuncen Shahidin. Bahwa telaga yang pertama tepat berada di samping Kabuyutan Batu Panjang bagian utara luasnya sekitar 200 bata,mengarah timur barat. Telaga ini terbentuk secara alami karena berada di lembah dan sumber mata airnya sampai saat ini tetap mengalir. Tetapi karena tak terurus, telaga atau kolam besar ini akhirnya mengalami pendangkalan dan ditumbuhi oleh ilalang. Namun, jejaknya masih dapat dilihat. Selokan kecil yang mengalir jernih di depan situs, airnya berasal dari mata air talaga. Kuncen Shahidin masih ingat bahwa dulu tempat itu sering digunakan untuk memandikan kerbau. Malah dipinggir telaga sebelah barat terdapat makam yang tak dikenal lagi.
Sayangnya, saat saya bersama Ki Shahidin dan anggota Tapak Karuhun (Imank Pasha, TiziRakyan, Ridwan Hasyimi, Irvan Kivong dan Mulyo Suprio) mencoba menjelajahi wilayah bekas telaga ini, tidak berhasil menemukan sumber mata air dan batu yang disebutkan Ki Kuncen karena lebatnya tanaman perdu disepanjang lembah Batu panjang. Keterangan adanya telaga itu membuka ingatan beberapa tahun silam, saat saya ngobrol dengan seorang sesepuh di desa Cibeureum, bahwa di dekat karamat Batu Panjang Jahim terdapat balong yang cek kolot baheula disebut Renalaya. Mungkin talaga inilah yangdi maksud. Dalam bahasa kawi atau sangsekerta rena berarti ibu dan laya berarti tempat tinggal.
Dalam pemahaman sunda tokoh indung (ibu) sangat disakralkan bahkan memiliki sifat keilahian, mewakili aspek kehidupan,ciptaan, dan cinta kasih. Hal itu tersirat kuat dalam figur agung Sunan Ambu. Nyi Dewi Sri Pohaci yang dikenal sebagai karuhun Situs batu Panjang merupakan indikasi kuat adanya hubungan dengan Sunan Ambu. Pohaci berasal dari kata Pwah Aci yangberati hakikat keperempuanan. Dan tugas utama Dewi Sri Pohaci adalah pelaksana perintah Sunan Ambu di buana pancatengahuntuk melayani manusia.
Telaga kedua terdapat di sekitar 400 meter dari telaga pertama melewati tugu perbatasan kabupaten, lokasinya sudah masuk ke wilayah Majalengka. Telaga kecil ini masih terlihat jelas walau permukaanya sudah menjadi ranca yang ditutupi rumput. Sumber mata airnya juga masih mengalir dan menggenangi beberapa bagian permukaan telaga. Dipinggir bagian utara terdapat gundukan batu besar yang dulunya dikeramatkan. Sedangkan ditengah telaga terdapat nusa kecil yang ditumbuhi beberapa pohon pinus. Disela-sela pohon pinus ada dua pasang nisan batu yang jenis batunya seperti di Batu Panjang jahim.
Masyarakat setempat masih mengenal tempat itu sebagai balong keramat, walaupun demikian dari beberapa warga yang ditanya, tidak ada yang tahu siapa tokoh yang dikuburkan di tengahnya. Kemungkinan tokoh karuhun lembur atau jangan-jangan kubur dari Mangkubumi dan Langlangbuana. Kuncen Shahidin mengatakan wilayah ini disebut Langarea, yang merujuk pada nama telaga kecil itu. Sedangkan arti bebas kata langarea adalah sendiri dalam keramaian. Sayangnya tempat yang masih terasa wingit itu tidak ada juru kuncinya. Nusa mungilnya hanya disambangi para penyadap getah pinus.(Bersambung/HU.Kabar Priangan)

MACATANDA PERADABAN PURBA KABUYUTAN BATU PANJANG JAHIM SUKAMANTRI (Bag.1)
Oleh Pandu Radea
Musim kemarau tiba. Udara kering becampur debu dan rumput mulai
terlihat meranggas. Namun, nun jauh di puncak pegunungan Madati,
kesejukan alam masih terjaga dalam kerimbunannya. Pepohonan tetap
menghijau dan gemercik air masih terdengar. Itu yang terasa saat saya
dan beberapa anggota Komunitas Tapak Karuhun Galuh menyambangi situs
Batu Panjang di kawasan perkebunan pinus wilayah Jahim yang dikelola RPH
Madati BKPH Ciamis. Sebagian masyarakat di wilayah jahim bekerja
sebagai penyadap pinus. Sebagian lagi menjadi petani sayuran. Maka dari
itu bentangan plastik mulsa dan lahan sayuran akan mendominasi
perjalanan menuju puncak Jahim
Batu Panjang Jahim terletak di wilayah Dusun Cimara, Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Ciamis. Termasuk kabuyutan yang keletakannya berada paling utara Kabupaten Ciamis karena sekitar 200 meter ke arah utaranya lagi berdiri tapel wates kabupaten Ciamis dan Majalengka. Oleh Karena itu situs ini sering juga dianggap masuk ke Kabupaten Majalengka. Yang menjadi juru kuncinya saat ini adalah Ki Shahidin, rumahnya berada di kampung yang sama.
Kabuyutan Batu Panjang Jahim berada di ketinggian sekitar 1080 mdpl. Lokasinya tepat dipinggir jalan lintas desa yang cukup ramai dilalui kendaraan bermotor karena merupakan jalur alternatif yang menghubungkan kedua kabupaten. Ciri kabuyutannya dapat dilihat dari rimbunan pepohonan hutan yang masih tersisa diantara dominasi pohon-pohon pinus, sehingga mudah untuk mengenalinya. Keindahan alam sudah terasa manakala akan memasuki kawasan hutan pinus. Baik dari arah Majalengka maupun Ciamis panorama luas akan terhampar. Di Sebelah utara, ngemplang daerah Sawah Lega Cikijing dan sekitarnya, dari arah selatan membentang hamparan pesawahan Sukamantri dan sebagian Panjalu.
Keberadaan Situs Batu Panjang sudah dikenal sejak lama dikalangan masyarakat sekitarnya. Luasnya sekitar 500 meter persegi berada di kawasan Pegunungan Madati. Bagi sebagian masyarakat, pegunungan ini juga disebut Gunung Bitung karena terkait dengan keberadaan Situs Gunung Bitung yang berjarak beberapa kilometer ke arah timur, yaitu di Desa Wangkelang, Kampung Pawijen, Kecamatan Cingambul, Majalengka. Gunung Bitung sudah dikenal sebagai situs sejarah peninggalan masa klasik terkait dengan Kerajaan Sunda Galuh Kawali. Beberapa literatur, terutama Naskah Pustaka Rajya Rajya Bumi Nusantara menyebutkan bahwa Gunung Bitung merupakan cikal bakal KerajaanTalaga.
Sedangkan Situs Batu Panjang Jahim keberadaanya belum dikenal luas. apalagi kandungan sejarahnya. Padahal situs ini konon pernah diteliti, namun entah peneliti yangmana dan dari mana, karena sampai saat ini hasilnya belum tersebar dikalangan umum. Maka sampai saat ini, Batu Panjang tetap masih menjadi misteri yang laya kuntuk terus dikaji dan diteliti. Secara fisik, apa yang dapat dilihat di kabuyutan ini berupa kumpulan batu andesit berukuran besar dengan bentuk dominan panjang. Posisinya ada yang berdiri memancang dan rebah melintang, nyaris tak beraturan. Batu-batu panjang inilah yang melatar belakangi penamaan kabuyutan.
Gugusan bebatuan utama dari situs ini ini berada di cekungan lereng bukit dengan arah memanjang timur laut– barat daya. Lebar cekungan itu sekitar 8 meter dan panjangnya menanjak sekitar 30 meter. Ujung bukit yang mengarah ketimur merupakan bagian yang menurun, sekaligus sebagai gerbangnya, berhadapan tepat dengan jalan aspal. Sedangkan bagian baratnya merupakan lereng menuju puncak bukit. Di jalan masuk situs terdapat sekelompok batu panjang yang bertumpangan. Batu ini disebut masyarakat sebagai Batu Kendang, karena mirip alat musik kendang. Sesungguhnya sebaran batu berukuran panjang dan besar terlihat cukup banyak di wilayah sekitarnya. Sepertinya, jika lereng bukit itu dikupas akan tersusun dari bebatuan seperti itu.
Menurut keterangan Pak Shahidin, juru kunci yang sudah bertugas selama 20 tahun, wilayah sakralnya berada di sebelah selatan ditandai dengan kelompok batu yang berciri khusus. Ciri khusus ini berupa batu yang berdiri tegak setinggi kurang lebih 1,7 meter. Batu ini dikelilingi batu-batu panjang lainnya dengan posisi rebah maupun berdiri dengan psosisi lebih rendah. Didekatnya tumbuh Pohon Tanjung. Tidak Jauh dari kedua batu itu, terdapat sebuah batu yang juga dikeramatkan karena di dindingnya ada cekung-cekung kecil berjumlah 5 buah yang dianggap masyarakat setempat merupakan jejak kaki maung. Batu Tapak Maung ini tingginya sekitar 80 cm dan berdiameter 50cm. Bentuknya seperti batang pohon yang terpotong.
Sementara sebaran batu lainnya yang terhampar menurun ke arah timur laut juga seperti terkondisi membentuk semacam tatanan. Walau terkesan acak-acakan, namun beberapa susunan batu menyiratkan adanya pesan tertentu. Seperti misalnya batu besar yang berdiri tegak di disisi kiri dan kanan Seolah-olah merupakan lawang masuk ke area utama. Terdapat juga batu tegak yang dikelilingi kumpulan batu yang lebih kecil serta batu pasangan yang berdiri miring dan ujungnya saling tertaut membentuk bangun segitiga. Namun menurut saya, beberapa kedudukan batu di atas bukan formasi aslinya.
Teori Ketika Magma Membeku Dan Tradisi Megalitikum
Apa
yang terlihat di Situs Batu Panjang Jahim, merupakan ciri penting
tinggalan budaya dari masa megalitikum (megas berati besar, lithos
berarti batu). Dalam tradisi megalitikum, batu yang digunakan dapat
berupa satu batu tunggal (monolit), tumpukan batu besar maupun kecil,
atau susunan batu yang diatur dalam bentuk tertentu. Megalit seringkali
dipotong atau dipahat terlebih dahulu dan dibuat terkait dengan ritual
religius atau upacara-upacara tertentu seperti kematian atau masa tanam.
Beberapa ciri budaya megalitikum diantaranya menhir, dolmen, kubur batu, sarkofagus. Selain itu, batu dakon, batu kenong,waruga, batu lumpang pun termasuk ciri Megalitikum. Tidak semua mesti berciri primer batu saja, struktur ruangpun dapat menjadi ciri jaman mgelaitikum seperti punden berundak misalnya. Budaya Megalitikum berkembang antara 2500-1500 SM. Masa yang lebih muda disebut neolitikum (1000-100 SM) ditandai dengan batu-batu yang sudah mengalami proses penghalusan. Di tatar sunda, punden berundak, batu lumpang, batu dakon dan menhir termasuk paling banyak ditemukan tersebar di berbagai tempat. Situs Megalitikum terkenal yang jaraknya paling dekat dengan Batu Panjang Jahim adalah Situs Cipari di Kuningan dengan keberadaan peti kubur batunya.
Dari gambaran diatas, maka Kabuyutan batu panjang Jahim memenuhi unsur tradisi megalitik. Adanya menhir dari batu yangmasih utuh tegak berdiri, dan mungkin dolmen dari susunan batu yang rebah atau bertumpuk,memberi gambaran bahwa pada jamannya tempat ini merupakan wilayah sakral terutama pemujaan terhadap Hyang (sembah-hyang) dan unsur lainnya yang berhubungan dengan kesuburan
Batu-batu yang berserakan di Kabuyutan Batu Panjang Jahim ini mirip atau mungkin sejenis dengan bebatuan yang ada di Situs Gunung Padang Cianjur, Situs Pabahanan Majenang Cilacap dan bebatuan di Situs Lebak Sibedug Pandeglang. Situs-situs tersebut secara umum merupakan struktur ruang punden berundak yang juga didominasi batu-batu panjang.
Kenapa bebatuan seperti itu berada di Gunung Madati ? Dari beberapa sumber lisan, menyebutkan bahwa batu-batu panjang tersebut merupakan reruntuhan bangunan kuno. Bisa saja hal itu benar, bahwa jaman baheula ada bangunan sederhana yang terbentuk dari tatanan batu sebagai pusat ritual, atau memang kabuyutan ini adalah punden berundak seperti halnya Gunung Padang dan Lebak Sibedug namun hancur kemudian. Penyebab kehancurannya bisa disengaja atau terjadi secara alamiah.
Karena kemiripannya dengan Batu-batu yang ada di Gunung Padang Cianjur maka kemungkinan besar bebatuan jahim tersebut merupakan batuan andesit berupa stuktur tihang kekar (columnar Joint) yang terbentuk dari proses pendinginan aliran basalt. Pendinginan itu menyebabkan penyusutan, keretakan dan patahan membentuk tihang dengan pola hexagonal. Dari beberapa bentuk yang tidak umum maka tiang-tiang tersebut memiliki 3 hingga 12 sisi. Konon di Indonesia jarang ditemukan dengan bentuk jelas, namun di Situs Pabahanan Cilacap menunjukan sisi-sisi yang jelas. Batuan seperti ini posisinya cenderung berdiri vertikal dan ditemukandi daerah intrusif dangkal atau ektrusif tubuh batuan beku.
Analisa sementara dugaan adanya basalt yang muncul di wilayah Jahim bisa dikaitkan dengan pristiwa meletusnya Gunung Gegerhalang (Gunung Candradimuka) 7000 tahun SM. Gunung ini merupakan priode kedua setelah Gunung Plistosen yang meletus sebelumnya. Dari kaldera di sisi utara Gunung Gegerhalang ini lahirlah Gunung Ciremai yang dikenal saat ini. Ada analisa serupa yang ditulis dalam blog hutanrimbun.wordpress bahwa Sawah Lega yang terdapat di Wilayah Cikijing merupakan danau purba yang terbentuk berbarengan dengan lahirnya Gunung Api Gegerhalang.
Namun ketika Gegerhalang meletus dan melahirkan Gunung Ceremai, danau itu mungkin terkubur material letusan Gegerhalang sehingga terjadi pendangkalan dan berubah menjadi rawa. Danau Purba Cikijingini membentang dari timur hingga ke barat, di ujung barat dari danau ini mengalir sungai Cilutung dan sebelah selatan mengalir pula sebuah sungai ke arah Ciamis yang sekarang sudah hilang dan mungkin berubah jadi jalan raya Cingambul-Ciamis. Sungai-sungai ini berfungsi sebagai tempat buangan air dari danau purba tersebut.
Selain Gunung Gegerhalang yang berada di arah timur laut, maka di arah lainnya berdiriGunung Sawal, Gunung Cakrabuana dan Gunung Galunggung yang juga pernah meletus pada masanya. Jadi masuk akal jika akhirnya tersingkap batuan tihang kekar di Jahim karena lokasi ini memang berada di tengah dua gunung api purba yang sudah tidak aktip dan dua gunug api lainnya yang masih aktif dan juga pernah meletus pada masanya. (Bersambung / Komunitas Tapak Karuhun / dimuat di HU. Kabar Priangan)

Batu Panjang Jahim terletak di wilayah Dusun Cimara, Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Ciamis. Termasuk kabuyutan yang keletakannya berada paling utara Kabupaten Ciamis karena sekitar 200 meter ke arah utaranya lagi berdiri tapel wates kabupaten Ciamis dan Majalengka. Oleh Karena itu situs ini sering juga dianggap masuk ke Kabupaten Majalengka. Yang menjadi juru kuncinya saat ini adalah Ki Shahidin, rumahnya berada di kampung yang sama.
Kabuyutan Batu Panjang Jahim berada di ketinggian sekitar 1080 mdpl. Lokasinya tepat dipinggir jalan lintas desa yang cukup ramai dilalui kendaraan bermotor karena merupakan jalur alternatif yang menghubungkan kedua kabupaten. Ciri kabuyutannya dapat dilihat dari rimbunan pepohonan hutan yang masih tersisa diantara dominasi pohon-pohon pinus, sehingga mudah untuk mengenalinya. Keindahan alam sudah terasa manakala akan memasuki kawasan hutan pinus. Baik dari arah Majalengka maupun Ciamis panorama luas akan terhampar. Di Sebelah utara, ngemplang daerah Sawah Lega Cikijing dan sekitarnya, dari arah selatan membentang hamparan pesawahan Sukamantri dan sebagian Panjalu.
Keberadaan Situs Batu Panjang sudah dikenal sejak lama dikalangan masyarakat sekitarnya. Luasnya sekitar 500 meter persegi berada di kawasan Pegunungan Madati. Bagi sebagian masyarakat, pegunungan ini juga disebut Gunung Bitung karena terkait dengan keberadaan Situs Gunung Bitung yang berjarak beberapa kilometer ke arah timur, yaitu di Desa Wangkelang, Kampung Pawijen, Kecamatan Cingambul, Majalengka. Gunung Bitung sudah dikenal sebagai situs sejarah peninggalan masa klasik terkait dengan Kerajaan Sunda Galuh Kawali. Beberapa literatur, terutama Naskah Pustaka Rajya Rajya Bumi Nusantara menyebutkan bahwa Gunung Bitung merupakan cikal bakal KerajaanTalaga.
Sedangkan Situs Batu Panjang Jahim keberadaanya belum dikenal luas. apalagi kandungan sejarahnya. Padahal situs ini konon pernah diteliti, namun entah peneliti yangmana dan dari mana, karena sampai saat ini hasilnya belum tersebar dikalangan umum. Maka sampai saat ini, Batu Panjang tetap masih menjadi misteri yang laya kuntuk terus dikaji dan diteliti. Secara fisik, apa yang dapat dilihat di kabuyutan ini berupa kumpulan batu andesit berukuran besar dengan bentuk dominan panjang. Posisinya ada yang berdiri memancang dan rebah melintang, nyaris tak beraturan. Batu-batu panjang inilah yang melatar belakangi penamaan kabuyutan.
Gugusan bebatuan utama dari situs ini ini berada di cekungan lereng bukit dengan arah memanjang timur laut– barat daya. Lebar cekungan itu sekitar 8 meter dan panjangnya menanjak sekitar 30 meter. Ujung bukit yang mengarah ketimur merupakan bagian yang menurun, sekaligus sebagai gerbangnya, berhadapan tepat dengan jalan aspal. Sedangkan bagian baratnya merupakan lereng menuju puncak bukit. Di jalan masuk situs terdapat sekelompok batu panjang yang bertumpangan. Batu ini disebut masyarakat sebagai Batu Kendang, karena mirip alat musik kendang. Sesungguhnya sebaran batu berukuran panjang dan besar terlihat cukup banyak di wilayah sekitarnya. Sepertinya, jika lereng bukit itu dikupas akan tersusun dari bebatuan seperti itu.
Menurut keterangan Pak Shahidin, juru kunci yang sudah bertugas selama 20 tahun, wilayah sakralnya berada di sebelah selatan ditandai dengan kelompok batu yang berciri khusus. Ciri khusus ini berupa batu yang berdiri tegak setinggi kurang lebih 1,7 meter. Batu ini dikelilingi batu-batu panjang lainnya dengan posisi rebah maupun berdiri dengan psosisi lebih rendah. Didekatnya tumbuh Pohon Tanjung. Tidak Jauh dari kedua batu itu, terdapat sebuah batu yang juga dikeramatkan karena di dindingnya ada cekung-cekung kecil berjumlah 5 buah yang dianggap masyarakat setempat merupakan jejak kaki maung. Batu Tapak Maung ini tingginya sekitar 80 cm dan berdiameter 50cm. Bentuknya seperti batang pohon yang terpotong.
Sementara sebaran batu lainnya yang terhampar menurun ke arah timur laut juga seperti terkondisi membentuk semacam tatanan. Walau terkesan acak-acakan, namun beberapa susunan batu menyiratkan adanya pesan tertentu. Seperti misalnya batu besar yang berdiri tegak di disisi kiri dan kanan Seolah-olah merupakan lawang masuk ke area utama. Terdapat juga batu tegak yang dikelilingi kumpulan batu yang lebih kecil serta batu pasangan yang berdiri miring dan ujungnya saling tertaut membentuk bangun segitiga. Namun menurut saya, beberapa kedudukan batu di atas bukan formasi aslinya.
Teori Ketika Magma Membeku Dan Tradisi Megalitikum

Beberapa ciri budaya megalitikum diantaranya menhir, dolmen, kubur batu, sarkofagus. Selain itu, batu dakon, batu kenong,waruga, batu lumpang pun termasuk ciri Megalitikum. Tidak semua mesti berciri primer batu saja, struktur ruangpun dapat menjadi ciri jaman mgelaitikum seperti punden berundak misalnya. Budaya Megalitikum berkembang antara 2500-1500 SM. Masa yang lebih muda disebut neolitikum (1000-100 SM) ditandai dengan batu-batu yang sudah mengalami proses penghalusan. Di tatar sunda, punden berundak, batu lumpang, batu dakon dan menhir termasuk paling banyak ditemukan tersebar di berbagai tempat. Situs Megalitikum terkenal yang jaraknya paling dekat dengan Batu Panjang Jahim adalah Situs Cipari di Kuningan dengan keberadaan peti kubur batunya.
Dari gambaran diatas, maka Kabuyutan batu panjang Jahim memenuhi unsur tradisi megalitik. Adanya menhir dari batu yangmasih utuh tegak berdiri, dan mungkin dolmen dari susunan batu yang rebah atau bertumpuk,memberi gambaran bahwa pada jamannya tempat ini merupakan wilayah sakral terutama pemujaan terhadap Hyang (sembah-hyang) dan unsur lainnya yang berhubungan dengan kesuburan
Batu-batu yang berserakan di Kabuyutan Batu Panjang Jahim ini mirip atau mungkin sejenis dengan bebatuan yang ada di Situs Gunung Padang Cianjur, Situs Pabahanan Majenang Cilacap dan bebatuan di Situs Lebak Sibedug Pandeglang. Situs-situs tersebut secara umum merupakan struktur ruang punden berundak yang juga didominasi batu-batu panjang.
Kenapa bebatuan seperti itu berada di Gunung Madati ? Dari beberapa sumber lisan, menyebutkan bahwa batu-batu panjang tersebut merupakan reruntuhan bangunan kuno. Bisa saja hal itu benar, bahwa jaman baheula ada bangunan sederhana yang terbentuk dari tatanan batu sebagai pusat ritual, atau memang kabuyutan ini adalah punden berundak seperti halnya Gunung Padang dan Lebak Sibedug namun hancur kemudian. Penyebab kehancurannya bisa disengaja atau terjadi secara alamiah.
Karena kemiripannya dengan Batu-batu yang ada di Gunung Padang Cianjur maka kemungkinan besar bebatuan jahim tersebut merupakan batuan andesit berupa stuktur tihang kekar (columnar Joint) yang terbentuk dari proses pendinginan aliran basalt. Pendinginan itu menyebabkan penyusutan, keretakan dan patahan membentuk tihang dengan pola hexagonal. Dari beberapa bentuk yang tidak umum maka tiang-tiang tersebut memiliki 3 hingga 12 sisi. Konon di Indonesia jarang ditemukan dengan bentuk jelas, namun di Situs Pabahanan Cilacap menunjukan sisi-sisi yang jelas. Batuan seperti ini posisinya cenderung berdiri vertikal dan ditemukandi daerah intrusif dangkal atau ektrusif tubuh batuan beku.
Analisa sementara dugaan adanya basalt yang muncul di wilayah Jahim bisa dikaitkan dengan pristiwa meletusnya Gunung Gegerhalang (Gunung Candradimuka) 7000 tahun SM. Gunung ini merupakan priode kedua setelah Gunung Plistosen yang meletus sebelumnya. Dari kaldera di sisi utara Gunung Gegerhalang ini lahirlah Gunung Ciremai yang dikenal saat ini. Ada analisa serupa yang ditulis dalam blog hutanrimbun.wordpress bahwa Sawah Lega yang terdapat di Wilayah Cikijing merupakan danau purba yang terbentuk berbarengan dengan lahirnya Gunung Api Gegerhalang.
Namun ketika Gegerhalang meletus dan melahirkan Gunung Ceremai, danau itu mungkin terkubur material letusan Gegerhalang sehingga terjadi pendangkalan dan berubah menjadi rawa. Danau Purba Cikijingini membentang dari timur hingga ke barat, di ujung barat dari danau ini mengalir sungai Cilutung dan sebelah selatan mengalir pula sebuah sungai ke arah Ciamis yang sekarang sudah hilang dan mungkin berubah jadi jalan raya Cingambul-Ciamis. Sungai-sungai ini berfungsi sebagai tempat buangan air dari danau purba tersebut.
Selain Gunung Gegerhalang yang berada di arah timur laut, maka di arah lainnya berdiriGunung Sawal, Gunung Cakrabuana dan Gunung Galunggung yang juga pernah meletus pada masanya. Jadi masuk akal jika akhirnya tersingkap batuan tihang kekar di Jahim karena lokasi ini memang berada di tengah dua gunung api purba yang sudah tidak aktip dan dua gunug api lainnya yang masih aktif dan juga pernah meletus pada masanya. (Bersambung / Komunitas Tapak Karuhun / dimuat di HU. Kabar Priangan)

TAPAK KARUHUN GALUH KERTABUMI DI GUNUNG SUSURU (3-tamat)
Oleh Pandu Radea
(Catatan lama Tapak Karuhun Galuh)
Ketinggian Gunung Susuru mencapai sekitar 200 meter. Dari atas puncaknya pandangan mata pun akan dimanjakan dengan keindahan alam yang menggetarkan. Hamparan sawah nampak serasi ber-adu manis dengan rangkaian perbukitan. Dipasieup lagi dengan dua sungai besar di sisi kiri kanannya,melingkar-lingkar lir tubuh Nagaraja Taksaka yang membelit Gunung Susuru. Dua sungai tersebut yaitu Cimuntur dan Cileueur yang bertemu di ujung gunung sebelah selatan. Dan tempat pertemuan kedua sunga itersebut dinamakan Patimuan. Memang,sebagai sebuah situs, kewingitan sejarah yang menyelimutinya terasa sangat kental.
Betapa tidakternyata tempat ini menyimpan bukti adanya peradaban dari beberapa jaman. yaitumegalitik, hindu, dan masa Islam. H. Djaja Sukardja yang mendokumentasikan proses awal penemuan situs mengungkapkan dalam bukunya yang berjudul Patilasan Kerajaan Galuh Kertabumi, bahwa Situs Gunung Susuru usiannya diperkirakan lebih tua dari situs Karang Kamulyan, atau minimalnya sejaman, yaitu dari abad ke 7.
Hal tersebut didasari setelah adanya penelitian oleh Tony Djibiantoro, Ir. Agus dari Balai Arkeologi Bandung dan Dr.Fachroel Aziz dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung. Tim tersebut menemukan tulang belulang binatang, gigi manusia yang mendekati fosil (Sub Fosil), dan pecahan gerabah di dalam gua. Gua-gua yang ditemukan pada saat itu baru di tigatempat, yaitu Gua Kamuning, Gua Macan 1 dan Gua Macan 2. Dan ketiga gua tersebut sudah dinyatakan sebagai BCB Tak Bergerak.
“Numutkeun para ahli, lamun di jero guha kapendak pecahan gerabah atanapi fosil, tiasa janten guha eta teh mangrupikeun kuburan” Papar KiAndang yang memandu saya menelusuri setiap lekuk Gunung Susuru. Bahkan menurutnya masih terdapat dua gua lagi yang belum diteliti oleh tim arkeolog,sehingga belum ditetapkan sebagai BCB. Memang potensi BendaCagar Budaya yang belum ditemukan sangatlah besar. Di areal situs yang luasnya7 ha ternyata masih terdapat beberapa batu yang diprediksi kuat sebagai sisa kebudayaan jaman baheula. Seperti contohnya batu tingkat yang ukurannya sangat besar, dan batu bergaris yang guratnya lebih dari seratus baris.
Sebagai pembanding lainnya, batu bergaris juga terdapat di situs Astana Gede Kawali dan Situs Batu Tulis Bogor dengan jumlah garis dan ukura batunya jauh lebih sedikit dan kecil di banding batu bergaris di Gunung Susuru.Jika batu bergaris di Gunug Susuru itu merupakan buatan manusia maka tidakmustahil suatu saat akan ditemukan juga batu prasasti, sebagai sebuah bukti otentik yang dapat mengungkap fakta sejarah di jamannya.
Yang mengejutkan, ternyata secara keseluruhan Gunung Susuru merupakan sebuah punden berundak yang tersusun dari 17 tingkatan teras. hal itu sudah dibuktikan oleh tim peneliti yang menghitung tingkat atau teras berbalai batu dari kaki Gunung Susuru, baik dari sisi Sungai Cileueur maupun Sungai Cimuntur. Kenyataan tersebut semakin menjelaskan bahwa GunungSusuru merupakan bekas sebuah pusat ritual pemujaan yang berkaitan dengan keyakinan adanya ruh leluhur (hiyang)
Sebagai Punden Berundak maka di Gununug Susuru pun banyak di temukan menhir dan dolmen. Menhir melambangkan adanya hubungan vertical dengan ruh seorang pemimpin yang telah meninggal dunia. Ada 4 punden berundak yang susunannya masih utuh yang di sebut Batu Patapaan. Bahkan dolmen yang terdapat di Patapaan 4 diduga adalah sarkofagus (peti kubur batu) karenaketika ada penggalian di bawahnya terdapat batu penyangga. Dengan bukti-bukti tersebut, semakin jelas bahwa Gunung Susuru merupakan peninggalan dari kebudayaan megalit (kebudayaan besar). Sedangkan temuan berupa kampak batu, manik-manik, pecahan tembikar, merupakan ciri zaman Batu Muda (Neolitikum) yang diperkirakan berkembang 1.500 tahun sebelum Masehi.
Penelitian arkeologi dan sejarah yang mindeng dilakukan di tahun 2000, baik itu dari Arkenas Jakarta, Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Serang, maupun dari Balai Arkeologi Bandung serta berhasil mendapatkan berbagai temuan yang dikatagorikan sebagai Benda Cagar Budaya membuat tempat ini menjadi pembicaraan di berbagai kalangan. Gunung Susuru akhirnya menjadi sebuah bukti penting adanya tingkat peradaban manusia yang sudah sangat tua usianya.Dan hal tersebut semakin mengukuhkan Kabupaten Ciamis sebagai wilayah yang sarat akan sumber sejarah peradaban sunda dari berbagai jaman disamping wilayah priangan lainnya.
Adanya temuan dan kegiatan penelitian tersebut memunculkan berbagai rumor dikalangan warga sekitarnya. Apalagi setelah tempat itu semakin diyakini sebagai pusat pemerintahan Galuh Kertabumi. Yang paling santer terdengar adalah berita ditemukannya sebuah bokor yang terbuat dari emas di dalam sebuah gua. Hal itu tentu saja memancing penduduk yang lainnya untuk datang berburu harta karun yang diduga masih banyak terpendam.Tak ketinggalan, cerita-cerita misteri pun meruak menjadi bahan obrolan dilingkungan warga. Seperti cerita tentang auman harimau di sekitar Gua Macan 1dan 2 yang kerap terdengar oleh warga. Ataupun kabar aheng lainnya .
“ Maklum namina oge beja. Tina sajeungkalj anten sadeupa. Seueur implik-implikna anu teu saluyu jeung kanyataan.”Ujar Ki Adang. Lebih jauh, lelaki yang terlihat masih jagjag belejag ini menceritakan bahwa memang warga banyak menemukan berbagai benda. Sejenis perhiasanpun pernah ditemukan oleh warga. Namun tidak ada yang terbuat dari emas melainkan dari bahan bebatuan indah. Sedangkan temuan lainnya kebanyakan terbuat dari tanah liat, batu dan besi. Piring dan poci yang berbahan porselin banyak ditemukan. Ketika saya melihat contoh piring tersebut ternyata ada cap Hong Botan-England dibelakangnya. Piring tersebut oleh Ki Andang sudah dibuktikan sebagai piringanti basi dengan menyimpan makanan basah selama seminggu ternyata teu haseum-haseum. :)
“ Ti saprak di bewarakeun yen timuanbenda-benda sejarah ditangtayungan ku undang-undang kalebet aya ancamanana.Seueur oge warga nu nyetorkeun timuanana ka abdi. Nanging aya oge anu keukeuh dipimilik ku aranjeuna. Malih aya nu di jantenkeun jimat sagala.” Ujar Ki Adang saat memasuki gerbang makam Prabu Dimuntur.
Rupanya untuk dapat mengunjungi semua objek sejarah Gunung Susuru tidak cukup memakan waktu satu hari. Makam Prabu Dimuntur saja lokasinya berjarak sekitar 2 km dari Gunung Susuru. Demikian pula jika ingin melihat Sumur Batu yang aheng, harus meuntas walungan Cimuntur karena letaknya disebrang Gunung Susuru. Sedangkan Sumur Taman yang khasiat airnya dipercaya untuk perjodohan terdapat di perkebunan pendudukyang berbatasan dengan gawir Cimuntur. Belum lagi Curug Kamuning yang letaknya di tebing Cileueur dan bersebrangan dengan ujung Gunung Susuru.
Lokasi lainnyayang dinilai penting adalah bekas pemukiman penduduk dan pasar kuno di dekat makam Nyi Tanduran Sari ( selir Prabu Dimuntur) ditempat ini paling banyak ditemukan arang, keramik dan gerabah. Dan sebelum tahun 1920-an beberapa kandang kuno yang ukurannya basar pernah disaksikan keberadaannya oleh sejumlah tetua kampung. Letaknya bersebelahan dengan lokasi pasar kuno. Demikian juga batu-batu bata heubeul bekas pondasi rumah sat itu masih banyak berserakan.
Sekian banyaknya temuan yang dititipkan di Ki Andang membuat dirinya sedikit khawatir kerena takut ada yang hilang. Selama ini benda-benda tersebut hanya disimpan seadanya. “ Abdi mah moal seueur pamundut, mun pamarentah paduli cing atuh pangadamelkeun lomari keur merenahkeun barang-barang eta. Salian moal bacacar tangtuna oge ngagampangkeun keur balarea anu hoyong ningal atanapi naliti.” Ujarnya.
Munculnya nama Gunung Susuru kepermukaan tidak lepas dari peranan H. Djaja Sukardja yang saat itu menjabat sebagai Kasi Kebudayaan Depdiknas Ciamis tahun 2000. Karena kepentingannya dalam menyusun buku sejarah Kota Banjar maka penelusurannya membawa dirinya ke Gunung Susuru yang merupakan patilasan Kerajaan Galuh Kertabumi. Hal tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa Singaperbangsa I, cicitnya PrabuDimuntur, yang memindahkan pusat pemerintahan dari Galuh Kertabumi ke Banjar Pataruman dianggap sebagai peletak dasar berdirinya kota Banjar.
Untukmemenuhi kelengkapan data yang tengah dikumpulkan, maka H. Djaja Sukardja menugaskan Penilik Kebudayaan Cijeungjing yang bernama Deni SIP untuk terjun langsung kelokasi. Saat itu Gunung Susuru keadaanya terbengkalai dan gersang tanpa arti setelah ditinggalkan oleh para petani karena tanah di tempat tersebut sudah tidak subur lagi seusai dipelakan jagong selama 15 tahun (sejak tahun 1960).
Berbagai temuan Deni di lapangan hasilnya sangat mengejutkan, sehingga selanjutnya tempat tersebut menjadi objek penelitian para ahli yang berkaitan dibidangnya. Lain halnya dengan Ki Adang yang sudah menduga bahwa Gunug Susuru bukanlah tempat samanea. Sejak kecil lokasi tersebuta dalah tempat bermainnya. Kala itu keadaan lingkungannya masih utuh. Jauh dengan keadaanya jaman sekarang. Ki Adang memperkirakan 50 % keaslian Gunung Susuru telah berubah dan hilang.
Masyarakat Kertabumi pun akhirnya peduli untuk menyelamatkan situs tersebut, maka saat dilaksanakan penghijauan pada 11 Oktober 2000 sekitar seribu orang warga bergerak membantu pemerintah untuk memulihkan tempat tersebut mendekati asalnya. Hasilnya, Gunung Susuru menjadi tempat yang nyaman untuk dikunjungi. Pohon-pohon Jati yang ditanam saat penghijauan kini sudah merindangi Gunung Susuru. Jika saja pemerintah Ciamis jeli dan peduli maka peluang untuk dijadikan sebagai tempat wisatapun sangat menjanjikan. Apalagi lokasi Gunung Susuru masih berdekatan dengan Situs Karangkamulyan yang sudah lebih dulu menjadi objek wisata.
Sayangnya tumbuhan Susuru yang membuat tempat ini bernilai, tidak dapat tumbuh subur seperti di jamannya. Konon waktu itu, Susuru merupakan tumbuhan yang menghiasi taman keraton Galuh Kertabumi atau dipergunakan juga tanaman pagar keraton.Saya yang mencoba mencari tanaman tersebut, susuganan menemukan ternyata lapur teu hiji-hiji acan. Ki Andang pernah memelihara tanaman tersebut di rumahnya, namun lambat laun habis karena banyak yang meminta untuk dikoleksi.
Masyarakat di wilayah Kertabumi ternyata memiliki tradisi budaya yang bernama Merlawu. Ritual acaranya terdiri dari ngarekes, medar sajarah, dan susuguh. Waktu penyelenggaraannya dilaksanakan setiap bulan Rewah, Hari Senin atau padaHari Kamis terakhir di bulan itu dengan dipimpin oleh Aki Kuncen. Kegiatan tersebut merupakan bentuk syukuran hasil panen warga Kertabumi dan sekitarnya. Menurut keterangan Ki Adang, tradisi ini sudah berlangsung sejak tahun 1535, sekaligus sebagai warisan dari prilaku budaya masyarakat di Kerajaan Galuh Kertabumi yang masih tetap dpelihara sampai saat ini.
Kawali, 2007





(Catatan lama Tapak Karuhun Galuh)
Ketinggian Gunung Susuru mencapai sekitar 200 meter. Dari atas puncaknya pandangan mata pun akan dimanjakan dengan keindahan alam yang menggetarkan. Hamparan sawah nampak serasi ber-adu manis dengan rangkaian perbukitan. Dipasieup lagi dengan dua sungai besar di sisi kiri kanannya,melingkar-lingkar lir tubuh Nagaraja Taksaka yang membelit Gunung Susuru. Dua sungai tersebut yaitu Cimuntur dan Cileueur yang bertemu di ujung gunung sebelah selatan. Dan tempat pertemuan kedua sunga itersebut dinamakan Patimuan. Memang,sebagai sebuah situs, kewingitan sejarah yang menyelimutinya terasa sangat kental.
Betapa tidakternyata tempat ini menyimpan bukti adanya peradaban dari beberapa jaman. yaitumegalitik, hindu, dan masa Islam. H. Djaja Sukardja yang mendokumentasikan proses awal penemuan situs mengungkapkan dalam bukunya yang berjudul Patilasan Kerajaan Galuh Kertabumi, bahwa Situs Gunung Susuru usiannya diperkirakan lebih tua dari situs Karang Kamulyan, atau minimalnya sejaman, yaitu dari abad ke 7.
Hal tersebut didasari setelah adanya penelitian oleh Tony Djibiantoro, Ir. Agus dari Balai Arkeologi Bandung dan Dr.Fachroel Aziz dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung. Tim tersebut menemukan tulang belulang binatang, gigi manusia yang mendekati fosil (Sub Fosil), dan pecahan gerabah di dalam gua. Gua-gua yang ditemukan pada saat itu baru di tigatempat, yaitu Gua Kamuning, Gua Macan 1 dan Gua Macan 2. Dan ketiga gua tersebut sudah dinyatakan sebagai BCB Tak Bergerak.
“Numutkeun para ahli, lamun di jero guha kapendak pecahan gerabah atanapi fosil, tiasa janten guha eta teh mangrupikeun kuburan” Papar KiAndang yang memandu saya menelusuri setiap lekuk Gunung Susuru. Bahkan menurutnya masih terdapat dua gua lagi yang belum diteliti oleh tim arkeolog,sehingga belum ditetapkan sebagai BCB. Memang potensi BendaCagar Budaya yang belum ditemukan sangatlah besar. Di areal situs yang luasnya7 ha ternyata masih terdapat beberapa batu yang diprediksi kuat sebagai sisa kebudayaan jaman baheula. Seperti contohnya batu tingkat yang ukurannya sangat besar, dan batu bergaris yang guratnya lebih dari seratus baris.
Sebagai pembanding lainnya, batu bergaris juga terdapat di situs Astana Gede Kawali dan Situs Batu Tulis Bogor dengan jumlah garis dan ukura batunya jauh lebih sedikit dan kecil di banding batu bergaris di Gunung Susuru.Jika batu bergaris di Gunug Susuru itu merupakan buatan manusia maka tidakmustahil suatu saat akan ditemukan juga batu prasasti, sebagai sebuah bukti otentik yang dapat mengungkap fakta sejarah di jamannya.
Yang mengejutkan, ternyata secara keseluruhan Gunung Susuru merupakan sebuah punden berundak yang tersusun dari 17 tingkatan teras. hal itu sudah dibuktikan oleh tim peneliti yang menghitung tingkat atau teras berbalai batu dari kaki Gunung Susuru, baik dari sisi Sungai Cileueur maupun Sungai Cimuntur. Kenyataan tersebut semakin menjelaskan bahwa GunungSusuru merupakan bekas sebuah pusat ritual pemujaan yang berkaitan dengan keyakinan adanya ruh leluhur (hiyang)
Sebagai Punden Berundak maka di Gununug Susuru pun banyak di temukan menhir dan dolmen. Menhir melambangkan adanya hubungan vertical dengan ruh seorang pemimpin yang telah meninggal dunia. Ada 4 punden berundak yang susunannya masih utuh yang di sebut Batu Patapaan. Bahkan dolmen yang terdapat di Patapaan 4 diduga adalah sarkofagus (peti kubur batu) karenaketika ada penggalian di bawahnya terdapat batu penyangga. Dengan bukti-bukti tersebut, semakin jelas bahwa Gunung Susuru merupakan peninggalan dari kebudayaan megalit (kebudayaan besar). Sedangkan temuan berupa kampak batu, manik-manik, pecahan tembikar, merupakan ciri zaman Batu Muda (Neolitikum) yang diperkirakan berkembang 1.500 tahun sebelum Masehi.
Penelitian arkeologi dan sejarah yang mindeng dilakukan di tahun 2000, baik itu dari Arkenas Jakarta, Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Serang, maupun dari Balai Arkeologi Bandung serta berhasil mendapatkan berbagai temuan yang dikatagorikan sebagai Benda Cagar Budaya membuat tempat ini menjadi pembicaraan di berbagai kalangan. Gunung Susuru akhirnya menjadi sebuah bukti penting adanya tingkat peradaban manusia yang sudah sangat tua usianya.Dan hal tersebut semakin mengukuhkan Kabupaten Ciamis sebagai wilayah yang sarat akan sumber sejarah peradaban sunda dari berbagai jaman disamping wilayah priangan lainnya.
Adanya temuan dan kegiatan penelitian tersebut memunculkan berbagai rumor dikalangan warga sekitarnya. Apalagi setelah tempat itu semakin diyakini sebagai pusat pemerintahan Galuh Kertabumi. Yang paling santer terdengar adalah berita ditemukannya sebuah bokor yang terbuat dari emas di dalam sebuah gua. Hal itu tentu saja memancing penduduk yang lainnya untuk datang berburu harta karun yang diduga masih banyak terpendam.Tak ketinggalan, cerita-cerita misteri pun meruak menjadi bahan obrolan dilingkungan warga. Seperti cerita tentang auman harimau di sekitar Gua Macan 1dan 2 yang kerap terdengar oleh warga. Ataupun kabar aheng lainnya .
“ Maklum namina oge beja. Tina sajeungkalj anten sadeupa. Seueur implik-implikna anu teu saluyu jeung kanyataan.”Ujar Ki Adang. Lebih jauh, lelaki yang terlihat masih jagjag belejag ini menceritakan bahwa memang warga banyak menemukan berbagai benda. Sejenis perhiasanpun pernah ditemukan oleh warga. Namun tidak ada yang terbuat dari emas melainkan dari bahan bebatuan indah. Sedangkan temuan lainnya kebanyakan terbuat dari tanah liat, batu dan besi. Piring dan poci yang berbahan porselin banyak ditemukan. Ketika saya melihat contoh piring tersebut ternyata ada cap Hong Botan-England dibelakangnya. Piring tersebut oleh Ki Andang sudah dibuktikan sebagai piringanti basi dengan menyimpan makanan basah selama seminggu ternyata teu haseum-haseum. :)
“ Ti saprak di bewarakeun yen timuanbenda-benda sejarah ditangtayungan ku undang-undang kalebet aya ancamanana.Seueur oge warga nu nyetorkeun timuanana ka abdi. Nanging aya oge anu keukeuh dipimilik ku aranjeuna. Malih aya nu di jantenkeun jimat sagala.” Ujar Ki Adang saat memasuki gerbang makam Prabu Dimuntur.
Rupanya untuk dapat mengunjungi semua objek sejarah Gunung Susuru tidak cukup memakan waktu satu hari. Makam Prabu Dimuntur saja lokasinya berjarak sekitar 2 km dari Gunung Susuru. Demikian pula jika ingin melihat Sumur Batu yang aheng, harus meuntas walungan Cimuntur karena letaknya disebrang Gunung Susuru. Sedangkan Sumur Taman yang khasiat airnya dipercaya untuk perjodohan terdapat di perkebunan pendudukyang berbatasan dengan gawir Cimuntur. Belum lagi Curug Kamuning yang letaknya di tebing Cileueur dan bersebrangan dengan ujung Gunung Susuru.
Lokasi lainnyayang dinilai penting adalah bekas pemukiman penduduk dan pasar kuno di dekat makam Nyi Tanduran Sari ( selir Prabu Dimuntur) ditempat ini paling banyak ditemukan arang, keramik dan gerabah. Dan sebelum tahun 1920-an beberapa kandang kuno yang ukurannya basar pernah disaksikan keberadaannya oleh sejumlah tetua kampung. Letaknya bersebelahan dengan lokasi pasar kuno. Demikian juga batu-batu bata heubeul bekas pondasi rumah sat itu masih banyak berserakan.
Sekian banyaknya temuan yang dititipkan di Ki Andang membuat dirinya sedikit khawatir kerena takut ada yang hilang. Selama ini benda-benda tersebut hanya disimpan seadanya. “ Abdi mah moal seueur pamundut, mun pamarentah paduli cing atuh pangadamelkeun lomari keur merenahkeun barang-barang eta. Salian moal bacacar tangtuna oge ngagampangkeun keur balarea anu hoyong ningal atanapi naliti.” Ujarnya.
Munculnya nama Gunung Susuru kepermukaan tidak lepas dari peranan H. Djaja Sukardja yang saat itu menjabat sebagai Kasi Kebudayaan Depdiknas Ciamis tahun 2000. Karena kepentingannya dalam menyusun buku sejarah Kota Banjar maka penelusurannya membawa dirinya ke Gunung Susuru yang merupakan patilasan Kerajaan Galuh Kertabumi. Hal tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa Singaperbangsa I, cicitnya PrabuDimuntur, yang memindahkan pusat pemerintahan dari Galuh Kertabumi ke Banjar Pataruman dianggap sebagai peletak dasar berdirinya kota Banjar.
Untukmemenuhi kelengkapan data yang tengah dikumpulkan, maka H. Djaja Sukardja menugaskan Penilik Kebudayaan Cijeungjing yang bernama Deni SIP untuk terjun langsung kelokasi. Saat itu Gunung Susuru keadaanya terbengkalai dan gersang tanpa arti setelah ditinggalkan oleh para petani karena tanah di tempat tersebut sudah tidak subur lagi seusai dipelakan jagong selama 15 tahun (sejak tahun 1960).
Berbagai temuan Deni di lapangan hasilnya sangat mengejutkan, sehingga selanjutnya tempat tersebut menjadi objek penelitian para ahli yang berkaitan dibidangnya. Lain halnya dengan Ki Adang yang sudah menduga bahwa Gunug Susuru bukanlah tempat samanea. Sejak kecil lokasi tersebuta dalah tempat bermainnya. Kala itu keadaan lingkungannya masih utuh. Jauh dengan keadaanya jaman sekarang. Ki Adang memperkirakan 50 % keaslian Gunung Susuru telah berubah dan hilang.
Masyarakat Kertabumi pun akhirnya peduli untuk menyelamatkan situs tersebut, maka saat dilaksanakan penghijauan pada 11 Oktober 2000 sekitar seribu orang warga bergerak membantu pemerintah untuk memulihkan tempat tersebut mendekati asalnya. Hasilnya, Gunung Susuru menjadi tempat yang nyaman untuk dikunjungi. Pohon-pohon Jati yang ditanam saat penghijauan kini sudah merindangi Gunung Susuru. Jika saja pemerintah Ciamis jeli dan peduli maka peluang untuk dijadikan sebagai tempat wisatapun sangat menjanjikan. Apalagi lokasi Gunung Susuru masih berdekatan dengan Situs Karangkamulyan yang sudah lebih dulu menjadi objek wisata.
Sayangnya tumbuhan Susuru yang membuat tempat ini bernilai, tidak dapat tumbuh subur seperti di jamannya. Konon waktu itu, Susuru merupakan tumbuhan yang menghiasi taman keraton Galuh Kertabumi atau dipergunakan juga tanaman pagar keraton.Saya yang mencoba mencari tanaman tersebut, susuganan menemukan ternyata lapur teu hiji-hiji acan. Ki Andang pernah memelihara tanaman tersebut di rumahnya, namun lambat laun habis karena banyak yang meminta untuk dikoleksi.
Masyarakat di wilayah Kertabumi ternyata memiliki tradisi budaya yang bernama Merlawu. Ritual acaranya terdiri dari ngarekes, medar sajarah, dan susuguh. Waktu penyelenggaraannya dilaksanakan setiap bulan Rewah, Hari Senin atau padaHari Kamis terakhir di bulan itu dengan dipimpin oleh Aki Kuncen. Kegiatan tersebut merupakan bentuk syukuran hasil panen warga Kertabumi dan sekitarnya. Menurut keterangan Ki Adang, tradisi ini sudah berlangsung sejak tahun 1535, sekaligus sebagai warisan dari prilaku budaya masyarakat di Kerajaan Galuh Kertabumi yang masih tetap dpelihara sampai saat ini.
Kawali, 2007





TAPAK KARUHUN GALUH KERTABUMI DI GUNUNG SUSURU (2)
Oleh Pandu Radea
(Catatan lama Tapak Karuhun Galuh)
Galuh Kertabumi merupakan kerajaan wilayah,bagian dari dinasti Kerajaan Galuh Pangauban yang didirikan oleh Prabu Haur Kuning di Putrapinggan Kalipucang (diperkirakan sekitar 1530 M). Raja ini memiliki tiga orang putra yang bernama Maharaja Upama, Maharaja Sanghyang Cipta dan Sareuseupan Agung. Sebagai anak tertua, Maharaja Upama mewarisi kerajaan Galuh Pangauban dari ayahnya. Maharaja Sanghyang Cipta diberi wilayah Salawe (Cimaragas) dan mendirikan Kerajaan Galuh Salawe. Sedangkan Sareuseupan Agung menjadi raja di wilayah Cijulang.
Menurut H. Djaja Sukardja, MaharajaSanghyang Cipta mempunyai 3 orang putra yang bernama Tanduran Ageung (Tanduran Gagang),Cipta Permana, dan Sanghyang Permana. Tanduran Ageung kemudian menikah dengan Rangga Permana, putra Prabu Geusan Ulun (Angkawijaya) pada tahun 1585 M. Wilayah Muntur pun diberikan oleh Maharaja Sanghyang Cipta sebagai hadiah perkawinan. Di wilayah tersebut kemudian berdiri Kerajaan Galuh Kertabumi dan Rangga Permana diberi gelar Prabu Dimuntur. Raja ini memerintah dari tahun 1585 sampai 1602 M.
Adiknya Tanduran Ageung, yang bernama Cipta Permana diberi wilayah Kawasen (Banjarsari) dan mendirikan kerajaan Galuh Kawasen. Sedangkan Sanghyang Permana mewarisi kerajaan ayahnya, memerintah di Galuh Salawe(Cimaragas) dengan gelar Prabu Digaluh. Masa berdirinya KerajaanGaluh Kertabumi merupakan masa pengembangan agama Islam dari Cirebon dan Sumedang ke wilayah-wilayah kerajaan Galuh. Salah satu penyebarannya adalah dengan melangsungkan pernikahan antara keluarga kerajaan yang masih menganut agama pra Islam dengan kerajaan yang sudah diislamkan oleh Cirebon.
Hal tersebut dilakukan oleh Rangga Permana dengan Tanduran Ageung. Dan jejak Tanduran Ageung diikuti oleh Cipta Permana yang menikahi Putri Maharaja Kawali yang sudah Islam. Tokoh yang mengislamkan Kawali saat itu adalah Adipati Singacala dari Cirebon(makamnya di Astana Gede Kawali). Sejak saat itulah pengaruh Islam semakin kuat di Kerajaan-kerajaan Galuh tug sampai jaman kiwari.
Menurut riwayat dari wilayahTalaga, Prabu Haur Kuning ternyata merupakan generasi ke empat Prabu Siliwangi. Ayah dari Prabu Haur Kuning bernama Rangga Mantri atau Sunan Parung Gangsa (Pucuk UmumTalaga) yang menikah dengan Ratu Parung (RatuSunyalarang / Wulansari). Sedangkan ayahRangga Mantri adalah salah seorang putra Prabu Siliwangi yang bernama Prabu Munding Surya Ageung. Rangga Mantri yang awalnya beragama Budha masuk Islam setelah ditaklukan Cirebon tahun 1530 M.
Dalam Riwayat lain, disebutkan pula tokoh Anggalarang sebagai salah satu putra Prabu Haur Kuning. Anggalarang adalah suami dari Dewi Siti Samboja yang kelak menciptakan Ronggeng Gunung. Menurut H. Djaja Sukardja,tokoh Anggalarang diduga kuat adalah nama lain dari Maharaja Upama sebelum menjadi raja. Sebagai pembanding, keterangan lainya menyebutkan di wilayah pangandaran juga terdapat kerajaan Galuh Tanduran berlokasi di Pananjung dan beribukota Bagolo yang jauh sebelumnya pernah dikunjungi Bujangga Manik.
Menurut Babad Imbanagara yang disusun Ir. R Gumiwa Partakusumah, Raja Bagolo adalah Sawung Galing yang menikahi Dewi Siti Samboja yang menjadi janda setelah suaminya yaitu Raden Anggalarang meninggal terbunuh bajo. Sawung Galing dalam sejarah Ronggeng Gunung adalah patih yang diutus oleh Prabu Haur Kuning untuk membantu Dewi Samboja dalam membalaskan kematian suaminya yaitu Anggalarang.
Di beberapa daerah (Talaga, Majalengka, Sumedang dan Ciamis) adanya kesamaan nama beberapa tokoh sejarah ternyata saling memperkuat keberadaannya. walau terkadang sedikit berbeda, baik jujutan tahun keberadaanya, garis silsilah, riwayat hidup, maupun nama kerajaannya.Namun semuanya rata-rata bersumber atau berasal dari keturunan yang sama, yaitu seuweu-siwi Prabu Siliwangi, penguasa agung Kerajaan Pajajaran.
Perbedaan Silsilah
Mengenaisilsilah Rangga Permana atau Prabu Dimuntur ternyata ada perbedaan antara BukuPatilasan Kerajaan Galuh Kertabumi (PKGK) karya H. Djaja Sukardja dengan sumbersejarah dari Sumedanglarang. Keterangandari Sumedanglarang menyebutkan bahwa Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orangistri. Yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru putrinya Sunan Pada, Kedua yaituRatu Harisbaya dari Cirebon,ketiga Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya tersebut Geusan Ulun dikaruniai15 orang putra. Di antara putrannya itu,ternyata tidak ada nama Rangga Permana, sedangkan di PKGK dinyatakan bahwa RanggaPermana adalah putra Geusan Ulun, mana yang betul ?
R. Gun GunGurnadi salah seorang trah keturunan dari Ciancang (eks Kabupaten tahun1658-1811 M, sebelah barat Kertabumi) yang juga mewarisi buku Sejarah Galoeh dari bao nya, Dalem Wirabaya (Wiratmaka I) yang menjabat sebagai bupatiterakhir Ciancang, menjelaskan bahwa Raden Permana sebetulnya adalah putra dariKyai Rangga Haji, dan cucu dari Pangeran Santri hasil pernikahan dengan Ratu Pucuk Umun. Rangga Haji merupakanputra kedua dari 6 bersaudara sedangkan kakaknya yang tertua bernamaRaden Angkawijaya yang terkenal dengan nama GeusanUlun
“ Janten mun ditingal tina garis keluarga, Rangga Permana atanapi Prabu Dimuntur nyaeta alona Geusan Ulun, sanes putrana.” ujarnya. Lebih jauh R Gun Gun menandaskan bahwa perbedaan keterangan tersebut adalah suatu hal yang wajar karena yang namanya sejarah akan terus dianalisa setiap waktu sampai ditemukan data-data atau sumber terbaru sampai pada kesimpulan yang mendekati kebenaran.
Sang Raja Cita,salah seorang putra Prabu Dimuntur, menjadi penguasa Kertabumi berikutnya dengan pangkat Adipati, bergelar Kertabumi I (1602-1608). Sedangkan pada waktu itu kekuasaan Prabu Geusan Ulun di Sumedanglarang (1580-1608 M) meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik,Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis) dengan Kutamaya sebagai ibukota kerajaannya.
Putri Raja Cita bernama Natabumi diperistri oleh Dipati Panaekan,pada saat itu pengaruh Mataram Islam dibawah pemerintahan Mas Jolang yang bergelar Sultan Hanyokrowati (1601-1613) mulai masuk ke wilayah Galuh. Sedangkan putra kedua Raja Cita yang bernama Wiraperbangsa kelak menggantikan kedudukan ayahnya dengan gelar Adipati Singaperbangsa I (1608-1618). Raja Cita dimakamkan di Kampung Buner, Desa Bojongmengger.
H. Djaja Sukardja merasa yakin bahwa riwayat Kota Banjar yang dimulai dari Galuh Kertabumi semakin natrat ketika Singaperbangsa I memindahkan pusat Kerajaan Galuh Kertabumi dari Gunung Susuru ke Banjar Patroman(Desa Banjar Kolot). Penyebab perpindahan tersebut, akibat terjadinnya perselisihan faham antara Singaperbangsa I dengan Adipat iPanaekan (kakak iparnya) dalam rencana penyerangan terhadap Belanda di Batavia.
Adipati Panaekan condong kepada rencana Dipati Ukur untuk menyerang secepatnya ke Batavia sebelum kekuatan Belanda makin besar. Sedangkan Singaperbangsa I lebih sependapat dengan Rangga Gempol yang merencanakan membangun kekuatan dengan mempersatukan wilayah Priangan. Rangga Gempol adalah penguasa Sumedanglarang(1620 M dan berada dibawah pengaruh Sultan Agung Mataram.
Akibatperselisihan tersebut membuat Adipati Panaekan terbunuh. Jasadnya dihanyutkan ke Sungai Cimuntur kemudian dimakamkan di Karangkamulyan. Akibat peristiwa tragis itu membuat Singaperbangsa I tidak genah tinggal di Gunung Susuru, sehingga akhirnya pindah ke Banjar Patroman. (Bersambung/HU.Kabar Priangan)



(Catatan lama Tapak Karuhun Galuh)
Galuh Kertabumi merupakan kerajaan wilayah,bagian dari dinasti Kerajaan Galuh Pangauban yang didirikan oleh Prabu Haur Kuning di Putrapinggan Kalipucang (diperkirakan sekitar 1530 M). Raja ini memiliki tiga orang putra yang bernama Maharaja Upama, Maharaja Sanghyang Cipta dan Sareuseupan Agung. Sebagai anak tertua, Maharaja Upama mewarisi kerajaan Galuh Pangauban dari ayahnya. Maharaja Sanghyang Cipta diberi wilayah Salawe (Cimaragas) dan mendirikan Kerajaan Galuh Salawe. Sedangkan Sareuseupan Agung menjadi raja di wilayah Cijulang.
Menurut H. Djaja Sukardja, MaharajaSanghyang Cipta mempunyai 3 orang putra yang bernama Tanduran Ageung (Tanduran Gagang),Cipta Permana, dan Sanghyang Permana. Tanduran Ageung kemudian menikah dengan Rangga Permana, putra Prabu Geusan Ulun (Angkawijaya) pada tahun 1585 M. Wilayah Muntur pun diberikan oleh Maharaja Sanghyang Cipta sebagai hadiah perkawinan. Di wilayah tersebut kemudian berdiri Kerajaan Galuh Kertabumi dan Rangga Permana diberi gelar Prabu Dimuntur. Raja ini memerintah dari tahun 1585 sampai 1602 M.
Adiknya Tanduran Ageung, yang bernama Cipta Permana diberi wilayah Kawasen (Banjarsari) dan mendirikan kerajaan Galuh Kawasen. Sedangkan Sanghyang Permana mewarisi kerajaan ayahnya, memerintah di Galuh Salawe(Cimaragas) dengan gelar Prabu Digaluh. Masa berdirinya KerajaanGaluh Kertabumi merupakan masa pengembangan agama Islam dari Cirebon dan Sumedang ke wilayah-wilayah kerajaan Galuh. Salah satu penyebarannya adalah dengan melangsungkan pernikahan antara keluarga kerajaan yang masih menganut agama pra Islam dengan kerajaan yang sudah diislamkan oleh Cirebon.
Hal tersebut dilakukan oleh Rangga Permana dengan Tanduran Ageung. Dan jejak Tanduran Ageung diikuti oleh Cipta Permana yang menikahi Putri Maharaja Kawali yang sudah Islam. Tokoh yang mengislamkan Kawali saat itu adalah Adipati Singacala dari Cirebon(makamnya di Astana Gede Kawali). Sejak saat itulah pengaruh Islam semakin kuat di Kerajaan-kerajaan Galuh tug sampai jaman kiwari.
Menurut riwayat dari wilayahTalaga, Prabu Haur Kuning ternyata merupakan generasi ke empat Prabu Siliwangi. Ayah dari Prabu Haur Kuning bernama Rangga Mantri atau Sunan Parung Gangsa (Pucuk UmumTalaga) yang menikah dengan Ratu Parung (RatuSunyalarang / Wulansari). Sedangkan ayahRangga Mantri adalah salah seorang putra Prabu Siliwangi yang bernama Prabu Munding Surya Ageung. Rangga Mantri yang awalnya beragama Budha masuk Islam setelah ditaklukan Cirebon tahun 1530 M.
Dalam Riwayat lain, disebutkan pula tokoh Anggalarang sebagai salah satu putra Prabu Haur Kuning. Anggalarang adalah suami dari Dewi Siti Samboja yang kelak menciptakan Ronggeng Gunung. Menurut H. Djaja Sukardja,tokoh Anggalarang diduga kuat adalah nama lain dari Maharaja Upama sebelum menjadi raja. Sebagai pembanding, keterangan lainya menyebutkan di wilayah pangandaran juga terdapat kerajaan Galuh Tanduran berlokasi di Pananjung dan beribukota Bagolo yang jauh sebelumnya pernah dikunjungi Bujangga Manik.
Menurut Babad Imbanagara yang disusun Ir. R Gumiwa Partakusumah, Raja Bagolo adalah Sawung Galing yang menikahi Dewi Siti Samboja yang menjadi janda setelah suaminya yaitu Raden Anggalarang meninggal terbunuh bajo. Sawung Galing dalam sejarah Ronggeng Gunung adalah patih yang diutus oleh Prabu Haur Kuning untuk membantu Dewi Samboja dalam membalaskan kematian suaminya yaitu Anggalarang.
Di beberapa daerah (Talaga, Majalengka, Sumedang dan Ciamis) adanya kesamaan nama beberapa tokoh sejarah ternyata saling memperkuat keberadaannya. walau terkadang sedikit berbeda, baik jujutan tahun keberadaanya, garis silsilah, riwayat hidup, maupun nama kerajaannya.Namun semuanya rata-rata bersumber atau berasal dari keturunan yang sama, yaitu seuweu-siwi Prabu Siliwangi, penguasa agung Kerajaan Pajajaran.
Perbedaan Silsilah
Mengenaisilsilah Rangga Permana atau Prabu Dimuntur ternyata ada perbedaan antara BukuPatilasan Kerajaan Galuh Kertabumi (PKGK) karya H. Djaja Sukardja dengan sumbersejarah dari Sumedanglarang. Keterangandari Sumedanglarang menyebutkan bahwa Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orangistri. Yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru putrinya Sunan Pada, Kedua yaituRatu Harisbaya dari Cirebon,ketiga Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya tersebut Geusan Ulun dikaruniai15 orang putra. Di antara putrannya itu,ternyata tidak ada nama Rangga Permana, sedangkan di PKGK dinyatakan bahwa RanggaPermana adalah putra Geusan Ulun, mana yang betul ?
R. Gun GunGurnadi salah seorang trah keturunan dari Ciancang (eks Kabupaten tahun1658-1811 M, sebelah barat Kertabumi) yang juga mewarisi buku Sejarah Galoeh dari bao nya, Dalem Wirabaya (Wiratmaka I) yang menjabat sebagai bupatiterakhir Ciancang, menjelaskan bahwa Raden Permana sebetulnya adalah putra dariKyai Rangga Haji, dan cucu dari Pangeran Santri hasil pernikahan dengan Ratu Pucuk Umun. Rangga Haji merupakanputra kedua dari 6 bersaudara sedangkan kakaknya yang tertua bernamaRaden Angkawijaya yang terkenal dengan nama GeusanUlun
“ Janten mun ditingal tina garis keluarga, Rangga Permana atanapi Prabu Dimuntur nyaeta alona Geusan Ulun, sanes putrana.” ujarnya. Lebih jauh R Gun Gun menandaskan bahwa perbedaan keterangan tersebut adalah suatu hal yang wajar karena yang namanya sejarah akan terus dianalisa setiap waktu sampai ditemukan data-data atau sumber terbaru sampai pada kesimpulan yang mendekati kebenaran.
Sang Raja Cita,salah seorang putra Prabu Dimuntur, menjadi penguasa Kertabumi berikutnya dengan pangkat Adipati, bergelar Kertabumi I (1602-1608). Sedangkan pada waktu itu kekuasaan Prabu Geusan Ulun di Sumedanglarang (1580-1608 M) meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik,Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis) dengan Kutamaya sebagai ibukota kerajaannya.
Putri Raja Cita bernama Natabumi diperistri oleh Dipati Panaekan,pada saat itu pengaruh Mataram Islam dibawah pemerintahan Mas Jolang yang bergelar Sultan Hanyokrowati (1601-1613) mulai masuk ke wilayah Galuh. Sedangkan putra kedua Raja Cita yang bernama Wiraperbangsa kelak menggantikan kedudukan ayahnya dengan gelar Adipati Singaperbangsa I (1608-1618). Raja Cita dimakamkan di Kampung Buner, Desa Bojongmengger.
H. Djaja Sukardja merasa yakin bahwa riwayat Kota Banjar yang dimulai dari Galuh Kertabumi semakin natrat ketika Singaperbangsa I memindahkan pusat Kerajaan Galuh Kertabumi dari Gunung Susuru ke Banjar Patroman(Desa Banjar Kolot). Penyebab perpindahan tersebut, akibat terjadinnya perselisihan faham antara Singaperbangsa I dengan Adipat iPanaekan (kakak iparnya) dalam rencana penyerangan terhadap Belanda di Batavia.
Adipati Panaekan condong kepada rencana Dipati Ukur untuk menyerang secepatnya ke Batavia sebelum kekuatan Belanda makin besar. Sedangkan Singaperbangsa I lebih sependapat dengan Rangga Gempol yang merencanakan membangun kekuatan dengan mempersatukan wilayah Priangan. Rangga Gempol adalah penguasa Sumedanglarang(1620 M dan berada dibawah pengaruh Sultan Agung Mataram.
Akibatperselisihan tersebut membuat Adipati Panaekan terbunuh. Jasadnya dihanyutkan ke Sungai Cimuntur kemudian dimakamkan di Karangkamulyan. Akibat peristiwa tragis itu membuat Singaperbangsa I tidak genah tinggal di Gunung Susuru, sehingga akhirnya pindah ke Banjar Patroman. (Bersambung/HU.Kabar Priangan)



TAPAK KARUHUN GALUH KERTABUMI DI GUNUNG SUSURU (1)
Oleh Pandu Radea
Komunitas Tapak Karuhun Galuh
Langit di atas tanah Kertabumi siang itu lumayan cerah, sedikitnya mengusir kecemasan akan hujan yang biasa turun pada waktu-waktu seperti ini. Memasuki Kampung Bunder, perumahan penduduk terlihat resik dan asri. Halamannya yang luas ditumbuhi dengan berbagai pohon buah-buahan, seperti dukuh dan rambutan. Namun Pohon Rambutan nampak lebih banyak terlihat, hampir di setiap buruan rumah maupun kebun penduduk. Dan saat itu kebetulan sedang masa-masanya berbuah.
Kampung Bunder terletak di Desa Kertabumi, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis. Ditempatini terdapat situs sejarah yang nilainya sangat penting bagi Kabupaten Ciamisdan Kotif Banjar. Oleh masyarakat setempat, situs itu disebut Gunung Susuru. Sebetulnya tempat tersebut lebih merupakan sebuah bukit ketimbang disebut gunung. Namun karena babasaan di masyarakat sudah napelsejak ratusan tahun maka sampai saat ini pun nama Gunung Susuru pun tetap lestari. Disebut Gunung Susuru karena konon ditempat tersebut merupakan leuweungna tangkal Susuru, yaitu sejeniskaktus yang hanya tumbuh di tempat itu saja.
“ Gunung Susuru mangrupikeun tanah desananging taun 1960 diolah ku masyarakat pikeun dipelakan jagong. Kumargidibukbak dijantenkeun huma, tangkal susuruna oge ngiring kababat. Nanging masalendona taneuh mung kiat 15 tahun lamina, tah ti taun 1975 dikantunkeun teu dipelakan deui” Papar Ki Adang( 60 th), saat saya berkunjungkerumahnya sebelum mengawali lalampahanke Gunung Susuru. Lelaki berusia 60 tahun ini sudah bertugas sebagai Juru Pelihara Situs sejak tahun 2000. SedangkanJuru Kunci dipegang oleh Ki Eman (80 th)
Lebih jauh Ki Adang menjelaskan, semenjak tidak diolah lagi Gunung Susuru keadaanya sangat boneas (gersang) dan terbengkalai hampir selama 25 tahun. Memang semenjak diolah oleh masyarakat, dilokasi tersebut banyak ditemukan berbagai benda baik yang berbahan tulang,batu, tanah liat, keramik, manik-manik maupun dari besi. Namun pada saat itu, pemahaman masyarakat tentang nilai sejarah belum tumbuh, sehingga benda-benda yang ditemukan tersebut banyak yang hilang, atau dijadikan jimat dan koleksi pribadi. Hanya sebagian kecil saja yang diserahkan kepada pemerintah. Temuan Benda CagarBudaya Bergerak (BCB) kini disimpan oleh Ki Adang dan benda-benda tersebut diantaranya, Fosil tulang dan gigi manusia, Kapak batu, dua buah batu slinder, Lumpang Batu, Batu Korsi, menhir dan dolmen, Batu Peluru, Piring dan PociKeramik serta 3 buah keris dengan luk berbeda.
“ Situs Gunung Susuru diwates ku WalunganCileueur dipalih Kidul, Walungan Cimuntur palih Kaler, Patimuan palih Wetan,Benteng kuno dipalih Kulon.” Papar Ki Andang. Patimuan merupakan daerah pertemuan dua sungai Cimuntur dan Cileueur. Sedangkan Benteng kuno membentang melintasi desa dari sisi Cimuntur ke sisi Cileueur sepanjang kurang lebih 2km. Benteng Kuno tersebut terbuat dari susunan batu dengan ketinggian 1 meter. Namun kini keadaanya tidak utuh lagi dikarenakan alurnya melintasi daerah permukiman sehingga oleh masyarakat batunya dipergunakan untuk pembangunan rumah. Sebagian lagi digunakan pembuatan jalan aspal. Namun di beberapa tempat pondasi maupun strukturnya masih dapat dilihat walau kurang jelas.
MenurutH. Djaja Sukardja, Gunung Susuru merupakan patilasan dari kerajaan GaluhKertabumi yang didirikan oleh Putri Tanduran Ageung (putri Raja Galuhyang bernama Sanghyang Cipta, berkedudukan di Salawe, Cimaragas). Putri inimenikah dengan Rangga Permana, putra prabu Geusan Ulun (Penguasa SumedangLarang). Dan sebagai hadiah pernikahannya adalah wilayah Muntur (ditepi sungaiCimuntur). Di tempat inilah kemudian berdiri KerajaanGaluh Kertabumi dengan rajanya yang bergelar Prabu Dimuntur pada tahun 1585 M. Dan kerajaan ini merupakan cikal bakal kota Banjar saat ini.
(bersambung / HU.Kabar Priangan)
Komunitas Tapak Karuhun Galuh
Langit di atas tanah Kertabumi siang itu lumayan cerah, sedikitnya mengusir kecemasan akan hujan yang biasa turun pada waktu-waktu seperti ini. Memasuki Kampung Bunder, perumahan penduduk terlihat resik dan asri. Halamannya yang luas ditumbuhi dengan berbagai pohon buah-buahan, seperti dukuh dan rambutan. Namun Pohon Rambutan nampak lebih banyak terlihat, hampir di setiap buruan rumah maupun kebun penduduk. Dan saat itu kebetulan sedang masa-masanya berbuah.
Kampung Bunder terletak di Desa Kertabumi, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis. Ditempatini terdapat situs sejarah yang nilainya sangat penting bagi Kabupaten Ciamisdan Kotif Banjar. Oleh masyarakat setempat, situs itu disebut Gunung Susuru. Sebetulnya tempat tersebut lebih merupakan sebuah bukit ketimbang disebut gunung. Namun karena babasaan di masyarakat sudah napelsejak ratusan tahun maka sampai saat ini pun nama Gunung Susuru pun tetap lestari. Disebut Gunung Susuru karena konon ditempat tersebut merupakan leuweungna tangkal Susuru, yaitu sejeniskaktus yang hanya tumbuh di tempat itu saja.
“ Gunung Susuru mangrupikeun tanah desananging taun 1960 diolah ku masyarakat pikeun dipelakan jagong. Kumargidibukbak dijantenkeun huma, tangkal susuruna oge ngiring kababat. Nanging masalendona taneuh mung kiat 15 tahun lamina, tah ti taun 1975 dikantunkeun teu dipelakan deui” Papar Ki Adang( 60 th), saat saya berkunjungkerumahnya sebelum mengawali lalampahanke Gunung Susuru. Lelaki berusia 60 tahun ini sudah bertugas sebagai Juru Pelihara Situs sejak tahun 2000. SedangkanJuru Kunci dipegang oleh Ki Eman (80 th)
Lebih jauh Ki Adang menjelaskan, semenjak tidak diolah lagi Gunung Susuru keadaanya sangat boneas (gersang) dan terbengkalai hampir selama 25 tahun. Memang semenjak diolah oleh masyarakat, dilokasi tersebut banyak ditemukan berbagai benda baik yang berbahan tulang,batu, tanah liat, keramik, manik-manik maupun dari besi. Namun pada saat itu, pemahaman masyarakat tentang nilai sejarah belum tumbuh, sehingga benda-benda yang ditemukan tersebut banyak yang hilang, atau dijadikan jimat dan koleksi pribadi. Hanya sebagian kecil saja yang diserahkan kepada pemerintah. Temuan Benda CagarBudaya Bergerak (BCB) kini disimpan oleh Ki Adang dan benda-benda tersebut diantaranya, Fosil tulang dan gigi manusia, Kapak batu, dua buah batu slinder, Lumpang Batu, Batu Korsi, menhir dan dolmen, Batu Peluru, Piring dan PociKeramik serta 3 buah keris dengan luk berbeda.
“ Situs Gunung Susuru diwates ku WalunganCileueur dipalih Kidul, Walungan Cimuntur palih Kaler, Patimuan palih Wetan,Benteng kuno dipalih Kulon.” Papar Ki Andang. Patimuan merupakan daerah pertemuan dua sungai Cimuntur dan Cileueur. Sedangkan Benteng kuno membentang melintasi desa dari sisi Cimuntur ke sisi Cileueur sepanjang kurang lebih 2km. Benteng Kuno tersebut terbuat dari susunan batu dengan ketinggian 1 meter. Namun kini keadaanya tidak utuh lagi dikarenakan alurnya melintasi daerah permukiman sehingga oleh masyarakat batunya dipergunakan untuk pembangunan rumah. Sebagian lagi digunakan pembuatan jalan aspal. Namun di beberapa tempat pondasi maupun strukturnya masih dapat dilihat walau kurang jelas.
MenurutH. Djaja Sukardja, Gunung Susuru merupakan patilasan dari kerajaan GaluhKertabumi yang didirikan oleh Putri Tanduran Ageung (putri Raja Galuhyang bernama Sanghyang Cipta, berkedudukan di Salawe, Cimaragas). Putri inimenikah dengan Rangga Permana, putra prabu Geusan Ulun (Penguasa SumedangLarang). Dan sebagai hadiah pernikahannya adalah wilayah Muntur (ditepi sungaiCimuntur). Di tempat inilah kemudian berdiri KerajaanGaluh Kertabumi dengan rajanya yang bergelar Prabu Dimuntur pada tahun 1585 M. Dan kerajaan ini merupakan cikal bakal kota Banjar saat ini.
(bersambung / HU.Kabar Priangan)



