
Tariannya, bergerak di bawa angin, dari gunung ke pesisir,Kawihnya melantunkan pedih perih kerinduan bercampur kesumat dendam. Mengalun dibawa angin sampai jauh. Namun, kini petitnya kian hilang ditelan jaman.
LEBIH DARI 40 TAHUN Bi Raspi menekuni pahit manisnyakehidupan menjadi peronggeng gunung. Sejak 1972 sampai kini, sudah takterhitung lagi banyaknya pagelaran yang telah dilakoninya. Dari tingkat RTsampai festival budaya bertaraf internasional, semua sudah dialaminya. Sosokini pun menjadi saksi sekaligus pelaku hidup perkembangan seni Buhun Ronggeng Gunung dari tahun ke tahun. Tatkala seni tradisi umumnya semakin termarjinalkan,pronggeng yang sudah disuia senja ini tetap tuhu untuk terus berkiprahmemelihara seni warisan karuhun yang hanya terdapat di Ciamis dan Pangandaran. Tatkala banyak seniman banting stir ke bidang lainnya agar dapur tetap ngebul, Bi Raspi tetep panceg menjadi ronggeng.
Tak berlebihan pula jika Bi Raspi disebut seorang maestro.Semangat dan dedikasinya telah terbukti oleh waktu, teu laas ku jaman dan pantas untuk ditiru. Sudah selayaknya wanita dari Ciganjeng ini diberi penghargaan atas perjuangannya melestarikan seni tradisi. Untuk menjadi seorang Ronggeng Gunung yang berkualitas tentunya memerlukan proses yang panjang dan melelahkan. Seorang ronggeng gunung harus wanita pinilih. Dalam arti mampu melewati berbagai tahapan latihan berat dan lelaku khusus yang telah ditentukan oleh gurunya. Dahulu, calon yang ingin menjadi Ronggeng Gunung diantaranya harus bermukim dirumah sang guru maksimalnya selama 3 bulan. setiap malam belajar tembang disamping menari. Dan dalam proses tersebut si murid harus memiliki daya ingat yang tinggi sebab sang guru tidak akan mengulang pelajaran tersebut sampai 3 hari lamanya.
Untuk melatih suara biasanya dari lubang hidung sampai kerongkonan “digera” (dimasuki) oleh akar antanan. Dan untuk melatih nafas harus merendamkan kepala dalam curug sungai di 7 tempat berbeda untuk menguasai mantra atau doa tertentu yang disebut uluk-uluk. Dengan menguasainya, maka seorang Ronggeng akan memiliki suara keras dan nyaring. Kekuatan suara memang menjadi modal utama seorang ronggeng gunung sebab kesenian ini digelar tanpamenggunakan sound system.
Ronggeng Gunung berbeda dengan jenis kesenian ronggeng lainya. Kesenian ini dianggap sakral karena menurut legenda di Ciamis Selatan,Ronggeng Gunung diciptakan berdasarkan wangsit dari Patih Kidang Pananjung kepada Dewi Samboja yang isinya menyuruh sang Dewi untuk menyamar menjadi Ronggeng dengan memakai nama samaran Dewi Rengganis. Sedangkan lengsernya menjadi nayaga. Hal itu dimaksudkan untuk membalas dendam terhadap kawanan bajoyang telah membunuh suaminya yaitu Anggalarang. Dan semua lirik lagu yang dinyanyikan dalam Ronggeng Gunungmerupakan kisah dan cetusan hati Dewi Samboja yang merindukan suaminya .Berdasarkan hal itu maka figur seorang ronggeng gunung menjadi istimewa karena diciptakan bukan oleh wanita samanea, tapi oleh seorang permaisuri raja. Latar belakang ini berbeda dengan Ronggeng Kaler atau Ronggeng Amen yang mendapat pengaruh dari seni tayub dari pesisir Indramayu dan Cirebon.
Dengan legenda tersebut membuat sosok Ronggeng Gunung ternyata begitu dihormati dan dihargai oleh masyarakat tempat kesenian ini tumbuh dan berkembang pada masanya. Bahkan untuk nanggap ronggeng gunung, baik itu untuk acara tanam padi (tandur) atau ritual lainnya seperti panen padi, mendatangkan hujan, gusaran dan pakaulan, tidak sembarangan seperti memesan group pongdut. Ada cara-cara tertentu untuk ngala ronggeng yang pada jamannya begitu dipelihara oleh masyarakat Ciamis pakidulan.
Sebagian kebiasaan-kebiasaan diatas saat ini mungkin sudah hilang ditelan jaman seiring dengan berkurangnya peronggeng gunung. Saat ini yang masih terlihat eksis memang hanya Bi Raspi seorang. Dan untuk menciptakan regenerasi pun selalu terbentur oleh pradigma kekinian. Profesi ronggeng gunung bagi kalangan wanita bukanlah pekerjaan yang menjanjikan. kendati Ronggeng Gunung juga berfungsi sebagai media hiburan namun didalamnya sarat dengannilai-nilai sacral yang juga tidak sembarang orang dapat mempelajarinya.
Menurut cerita Bi Raspi, bahwa rongeng gunung yang sudah berpengalaman biasanya menguasai mantra atau doa tertentuuntuk melepaskan suara agar terdengar keras dan nyaring yang disebut uluk-uluk.“ Margi kapungkur mah teu aya sound system. Janten sora teh kedah tarik nangingteu leupas tina ugeran, sangkan kakuping kamana-mana.” (sebab dulu tidak adasound system, sehingga suara harus keras sehingga tidak lepas dari aturan, supayaterdengar kemana-mana) Ujarnya. Bi Raspi terkenal dengan suara petit yang tinggi. Dan Boleh jadi, salah satu alasan kenapa waditra dan tetabuhan ronggeng gunung terlihat minimalis mungkin untuk memberi ruang resonansi lebih agar suara Nyi Ronggeng terdengar dominan.
Pada katagori tertentu Ronggeng Gunung dapat disebut juga olahraga tradisional. Hal itu disebabkan adanya adegan Dogong yang tampil pada babak tertentu. Para penari pria yang terbagi dalam dua kelompok mengadu kekuatan dengan saling mendorong menggunakan pundak. Dan uniknya selama menari,biasanya penari pria selalu diharudung sarung, sehingga wajahnya tertutup. adegan ini merupakan simbol dari kisah pembalasan Dewi Rengganis terhadap kawanan Bajo yang telah membunuh suaminya.
Jadi tidak heran kenapa kesenian ini diambang kepunahan .Disamping kecilnya minat untuk menjadi ronggeng gunung, peran pemerintah, khususnya Disbudpar Kabupaten Ciamis masih tamba heunteu teuing. Saat ini upaya untuk menumbuhkan kembali kesenian ini dengan melakukan tindakan langsung dilapangan belum terlihat. Baik itu berupa pendataan, pembinaan dan pelatihanyang intensif ataupun even budayanya. Apalagi saat sektor Kebudayaan pindah ke dinas pendidikan, khususnya di Ciamis, para pejabat baru di wilayah kebudayaan masih rampang reumpeung untuk berbuat dan bertindak karena kecilnya pemahaman terhadap peta seni budaya di daerahnya.
Apa jadinya kesenian ini sepeninggal Bi Raspi nanti? Ronggeng Gunung yang menjadi salah satu ikon kabupaten Ciamis mungkin hanyaakan tinggal serpihan kenangan saja. berbeda dengan di Pangandaran, kesenian ini mulai dikembangkan oleh pemerintahnya. Jika pemerintah Ciamis tetap mengabaikannya, maka Tak heran jika suatu saat Bi Raspi berniat pindah ke Pangandaran. Padahal pada perkembangannya, akhir tahun 2013 Ronggeng Gunung telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda TingkatNasional oleh Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan.
