Pages - Menu

MACATANDA PERADABAN PURBA KABUYUTAN BATU PANJANG JAHIM SUKAMANTRI (Bag.2)

Oleh Pandu Radea
Komunitas Tapak Karuhun


Batu Panjang dalam Kosmologi kunoBudaya dan peradaban terus berkelindan. Batu Panjang Jahim pun perkembangannya bersentuhan dengan tradisi budaya megalitikum. Analisa ini dapat dilacak berdasarkan kisah yang disampaikan oleh Kuncen Shahidin yang menyebut nama Nyi Dewi Sri Pohaci sebagai sosok yang disakralkan. Selain itu juga disebutkan  dua figur lainnya yaitu Eyang Mangkubumi dan Eyang Langlangbuana. Sri Pohaci merupakan sosok yang sudah dikenal luas dalam kosmologi sunda berkaitan dengan asal usul tanaman padi.  Kisahnya dapat dibaca dalam pantun Sri Sadana dan Sulanjana. 

Sampai saat ini tak ada kepastian sejak kapan pemahaman terhadap Sanghyang Sri Pohaci ini muncul. Namun bisa diduga seiring dengan dikenalnya tumbuhan padi yang diprediksi telah ada sejak 3000 Tahun SMdi Cina.  Jika itu benar,  maka Nyi Dewi Sri Pohaci merupakan simbol artefak yang lahir di peradaban purba nusantara pada masa megalitikum-neolitikum. Sedangkan dua tokoh lainnya secara umum namanya dikenal di banyak kabuyutan sebagai gelaran yang menjadi ciri pada masa sejarah klasik.  Analisa ini semakin tumbuk karena Kuncen Shahidin menuturkan bahwa dua tokoh tersebut memiliki keterkaitan dengan sosok Raden Panglurah dari Gunung Bitung. 

Konsep kosmologi Situs Batu Jahim diantaranya dapat ditafsirkan berdasarkan letak geografisnya.  Dari analisa sementara,Google Earth  menunjukan bahwa Situs Batu Panjang Jahim terletak di tengah  empat gunung yang sejak jaman purba yang merupkan pusat-pusat kabataraan yang sangat disakralkan. Yaitu, Gunung Ceremai di timur laut,  Gunung Sawal sebelah selatan, Gunung Cakrabuana di barat dan Gunung Galunggung di arah baratdaya.  Lepas  ke utara lagi berhadapan dengan Laut Jawa dan arah selatan ke Samudra Indonesia.  Sedangkan pintu masuknya menghadap timur membujur ke  barat.

Apakah posisi arah mata angin gunung-gunung tersebut memiliki makna? Hal ini bisa dirujuk dari naskah Sanghyang Siksakandang Karesian : Lamun pahi kaopeksa sanghyang wuku lima (dina) bwana, boa halimpu ikangdesa kabeh. Desa kabeh ngaranya: purba, daksina, pasima, utara, madya. Purba,timur, kahanan Hyang Isora, putih rupanya: daksina, kidul, (kahanan Hyang Brahma, mirah rupanya; Pasima, kulon, kahanan Hyang Mahadewa, kuning (rupanya);utara, lor, kahanan Hyang Wisnu, hideung rupanya; madya, tengah, kahanan HyangSiwah, (aneka) warna rupanya. Nya mana sakitu sanghyang wuku lima dina bwana.

Artinya :Kalau terpahami semua sanghiyang wuku lima di bumi, tentu (tampak) menyenangkan(keadaan) semua tempat. Tempat itu disebut: purwa, daksina, pasima, utara,madya. Purba yaitu timur, tempat Hyang Isora, putih warnanya. Daksina yaituselatan, tempat Hyang Brahma, merah warnanya. Pasima yaitu barat, tempat Hiyang Mahadewa, kuning warnanya. Utara yaitu utara, tempat Hyang Wisnu, hitamwarnanya. Madya yaitu tengah, tempat Hiyang Siwa, aneka macam warnanya. Yasekian wuku lima di bumi.

Orientasi empat gunung dalam arah kompas ternyata tidak begitu tepat dengan kedudukan arah yang disebutkan di dalam naskah. Namun sebelum mengenal arah utara-selatan dalam kompas, bangunan religi megalitikum selalu berpatokan pada matahari dengan arah timur – barat, sebagai tempat  terbit dan tenggelamnya matahari. Ini merupakan lambang perjalanan manusia dari lahir(terbit) sampai mati (tenggelam). Dan Inilah pemaham religi tertua yang dapat difahami dari kabuyutan ini. Pada perkembangan religi berikutnya arah timur  tetap dipertahankan dalam agama asli sunda,  walau kemudian bersinkretis dengan pengaruh hindu dan budha.

Dari patokan arah timur sebagai arah hadap dan barat sebagai arah belakang, maka pembagian arah berkembang  menjadi Hareup-tukang (depan-belakang) dan  kenca-katuhu (kiri-kanan). Jika dikompaskan,maka timur adalah hareup, barat adalah tukang, kenca sebagai utara dan selatan merupakan katuhu.  Masing-masing arah memiliki dewa yang menjaga dengan tugasnya masing-masing. Sedangkan pancernya adalah Gunung Madati. Garis segi empat dalam keletakan gunung membentuk bidang jajaran genjang yang memanjang ke arah Gunung Ceremai, jika diimajinasikan bidangini seperti arah mata panah dan diarahkan ke timur sebagai arah hadap utama maka bisa disimbolkan : Hareupna GunungCeremai (Isora) belakangnya Gunung Galunggung (Brahma), di kiri Gunung Cakrabuana (Wisnu),  di kanan Gunung Sawal (Mahadewa) dan Gunung Madati ditengah (Siwa). 

Jika kemudian ditafsirkan dengan perkmbangan kehidupan di mandala masing-masing gunung maka akan terlihat benang merahnya. Ceremai merupakan gunung tertinggi yang dekat dengan matahari menjadi arah suci tempat kedudukan Dewa Isora yang menyinari kehidupan. Gunung Galunggung yang disimbolkan dengan Brahma dengan gambaran seorang  maharesi yang usianya melebihi alam semesta.   Kawasan Kabataan Galunggung merupakan salah satu puseur religi yang sangat penting dan dihormati oleh kerajaan Sunda dan Galuh. Dari Kabataraan Galunggung banyak dilahirkan pemahaman tentang ajaran keagamaan, dari berbagai naskah kuno yang berasal  dari kawasan ini. 

Gunung Sawal disimbolkan dengan Mahadewa. Dewa keluhuran budi, kemuliaan, kepahlawanan dan keperkasaan. Sejarah menulis Kerajaan Galuh yang dirintis Wretikandayun mulai berkembang pesat dari kawasan Gunung Sawal. Di salah satu puncaknya Rabuyut Sawal yang memegang kitab Pustakaning Bala Sarewu (kitab strategi perang) membuka padepokan. Sehingga tak salah jika Sanjaya sebelum menjadi  penguasa tanah jawa menggodok dirinya di tempat ini.  Demikian pula pada periode berikutnya,  dari lembah Gunung Sawal  berkembang pesat Kerajaan Sunda Galuh Kawali yang mampu menandingi kebesaran Majapahit di Timur Jawa. Tercatat tiga orang rajanya yang lahir dan berkuasa di Kawali yaitu Linggabuana, Niskala WastuKancana dan Jayadewata namanya mewangi di nusantara dengan keluhuran, kemuliaan, keperkasaan dan Kepahlawanannya.

Gunung Cakrabuana yang disimbolkan Wisnu seolah  menjadi penengah, pengatur dan pemelihara kehidupan di dunia. Kenyataannya Gunung ini adalah batas dari lima kabupaten yang memiliki sejarah penting di tatar sunda. Yaitu Ciamis, Majalengka, Kuningan, Tasikmalaya dan Garut.  Sedangkan Siwa yang berkedudukan di Gunung Madati merupakan manifestasi dari penguasa alam madya yaitu manusia dan alamnya. Dialah yang yang bersifat membangun, menghancurkan dan banyak dipuja dikalangan pemeluk hindu.

Jika arah hadap dikembalikan lagi ke kutub utara, maka dalam  pemahaman  Astadikpalaka( 8 dewa penjaga), terkesan kuat  Gunung Madati dan Situs Batu Jahim seperti halnya Gunung Mahameru.  Keletakannya menyebutkan bahwa arah timur laut (Gunung Ceremai) merupakan arah yang paling diagungkan.  tempat bersemayam Dewa Isana (Siwa)  yang menguasai kekuatan alam.  Selatan (Gunung Sawal) tempat Dewa Kala/Yama yang berkaitan dengan kematian. Barat (Gunung Cakrabuana) ditempati Dewa Baruna sebagai keluasan tanpa batas yang membersihkan kotoran. Dan baratdaya ditempati Dewa Nrrti (Rudra) yang menyimbolkan kesedihan. 

Keempat arah itu mewakili unsur nista, madya utama, bawah-tengah-atas dan profan-netral-sakral. Dari konsep tersebut, dapat ditafsirkan pula bahwa posisi cekungan tempat gugusan batu yang menghadap  timur laut-baratdaya bisa dipresepsikan : timur laut Gunung Ceremai sebagai arah sakral pemujaan. Sedangkan barat laut merupakan wilayah profan (bawah, dasar, awal)tempat bersemayam Nrrti, DewaKesedihan.  Maka Situs Batu Jahim bisa disebut  sebagai tempat penyucian. Dari kotor menjadi bersih, dari nista menjadi utama.

Tri Tangtu
Seperti ditulis di atas bahwa arah hadap pintu masuk yang mengarah ke timur menjadi penentu arah puja situs ini. Dalam pemahaman Sunda, timur juga identik dengan kehidupan karena arah terbitnya matahari tempat Dewa Isora.  Ini sesuai dengan pemujaan terhadap Sanghyang Dewi Sri terkait dengan kesuburan. Bahkan lebih jauhnya arah timur menjadi konsep penting bagi religi purba masyarakat sunda yang dikenal memuja cahaya yang disimbolkan dengan matahari.  Seperti gambar manusia kangkang yang dibuat oleh manusia purba di Situs Citapen Rancah juga menghadap ketimur.

Apabila posisi Gunung Galunggung dihilangkan karena posisinya paling luar,  maka akan terkait dengan konsep tritunggal yang disebut terdiri  rama-resi-ratu, bayu-sabda-hedap, buana larang - buana panca tengah - buana nyungcung.  Gunung Ceremai yang berada di posisi timur laut menjadi wilayah transisi Dewa Isora (Purwa-yangmenyinari kehidupan) di timur dan Dewa Wisnu (pemelihara kehidupan) di utara. Konsep Triwarga menyebutkan  bahwa dalam kehidupan,   Wisnuibarat prabu (ratu), Isora ibarat resi. Ratu memiliki tugas memimpin negara dan resi bertugas mikukuhkeun, manaungi, mengayomi agama

Gunung Sawal di arah selatan adalah tempatnya Dewa Brahma (Daksina-dewa penciptaan) yang diibaratkan rama (ayah) yang bertugas mengasuh, menasehati, membimbing ratu. Sedangkan Gunung Cakrabuana di sebelah Barat menjadi wilayah Dewa Siwa (pasima-netral) ditafsirkan sebagai marcapada atau kehidupan itu sendiri. Dan posisi GunungMadati yang berada ditengah (pancer) merupakan inti yang mengikat ketiganya,seperti yang terkandung dalam prinsip  tilu sapamalu, dua sakarupa, hiji eta-etakeneh (Ciptagelar).

Dalam Naskah Siksakanda Ng Karesian disebutkan pula bahwa Ratu bakti ka dewata dan dewata bakti ka Hyang, maka posisis Gunung Madati yang berada di tengah (pancer) seolah mengisyarakan sebagai arah hadap dari ke tiga gunung yang ditempati dewa-dewa diatas. Maka Batu Susun Jahim merupakan Mandala Agung untuk melakukan sembah hyang sekaligus gerbang yang menghubungkan buana larang, buana pancatengah dengan buana nyungcung,  wujud pemujaan terhadap Hyang sebagai Tuhan Yang Maha Tunggal. Hal ini semakin  menegaskan bahwa tibaheula urang sunda geus boga Hyang Tunggal nu teu bisa dibandingkeunjeung ciptaanana, termasuk dengan panteon dewa sekalipun.

Talaga Renalaya dan Talaga Langarea
Sudahmenjadi ciri, bahwa setiap kabuyutan atau pusat kegiatan religi selalu berdekatan dengan sumber air. Baik itu sungai, telaga, kolam, mata air, curug ataupun sumur. Jika Kabuyutan Batu Panjang memang pusat religi, tentu sumber air itu tidak jauh letaknya. Karena gunung dan laut menjadi simbol  penting dalam konsep religi. Setelah menggali keterangan dari beberapa warga setempat, ternyata di kawasan Jahim ada dua telaga yang masih diingat.

Hal itu kemudian dipertegas oleh Kuncen Shahidin. Bahwa telaga yang pertama tepat berada di samping Kabuyutan Batu Panjang bagian utara luasnya sekitar 200 bata,mengarah timur barat. Telaga ini terbentuk secara alami karena berada di lembah dan sumber mata airnya sampai saat ini tetap mengalir. Tetapi  karena tak terurus, telaga atau kolam besar ini akhirnya mengalami pendangkalan dan ditumbuhi oleh ilalang. Namun, jejaknya masih dapat dilihat. Selokan kecil yang mengalir jernih di depan situs, airnya berasal dari mata air talaga. Kuncen Shahidin masih ingat bahwa dulu tempat itu sering digunakan untuk memandikan kerbau. Malah dipinggir telaga sebelah barat terdapat makam yang tak dikenal lagi.

Sayangnya, saat saya bersama Ki Shahidin dan anggota Tapak Karuhun (Imank Pasha, TiziRakyan, Ridwan Hasyimi, Irvan Kivong dan Mulyo Suprio) mencoba menjelajahi wilayah bekas telaga ini, tidak berhasil menemukan sumber mata air dan batu yang disebutkan Ki Kuncen karena lebatnya tanaman perdu  disepanjang lembah Batu panjang.   Keterangan adanya telaga itu membuka ingatan beberapa tahun silam, saat saya ngobrol dengan seorang sesepuh di desa Cibeureum, bahwa di dekat karamat Batu Panjang Jahim terdapat balong yang cek kolot baheula disebut Renalaya. Mungkin talaga inilah yangdi maksud. Dalam bahasa kawi atau sangsekerta rena berarti ibu dan laya berarti tempat tinggal.

Dalam pemahaman sunda tokoh indung (ibu) sangat disakralkan bahkan memiliki sifat keilahian, mewakili  aspek kehidupan,ciptaan, dan cinta kasih. Hal itu tersirat kuat dalam figur agung Sunan Ambu. Nyi Dewi Sri Pohaci yang dikenal sebagai karuhun Situs batu Panjang merupakan indikasi kuat adanya hubungan dengan Sunan Ambu.  Pohaci berasal dari kata Pwah Aci  yangberati hakikat keperempuanan. Dan tugas utama Dewi Sri Pohaci adalah pelaksana perintah Sunan Ambu di buana pancatengahuntuk melayani manusia.

Telaga kedua terdapat di sekitar 400 meter dari telaga pertama melewati tugu perbatasan kabupaten, lokasinya sudah masuk ke wilayah Majalengka.  Telaga kecil ini masih terlihat jelas walau permukaanya sudah menjadi ranca yang ditutupi rumput. Sumber mata airnya juga masih mengalir dan menggenangi beberapa bagian permukaan telaga. Dipinggir bagian utara terdapat gundukan batu besar yang dulunya dikeramatkan. Sedangkan ditengah telaga terdapat nusa kecil yang ditumbuhi beberapa pohon pinus. Disela-sela pohon pinus ada dua pasang nisan batu  yang jenis batunya seperti di  Batu Panjang jahim. 

Masyarakat setempat masih mengenal tempat itu sebagai balong keramat, walaupun demikian dari beberapa warga yang ditanya, tidak ada yang tahu siapa tokoh yang dikuburkan di tengahnya. Kemungkinan tokoh karuhun lembur atau jangan-jangan kubur dari Mangkubumi dan Langlangbuana. Kuncen Shahidin mengatakan wilayah ini disebut Langarea, yang merujuk pada nama telaga kecil itu.  Sedangkan arti bebas kata langarea adalah sendiri dalam keramaian.   Sayangnya tempat yang masih terasa wingit itu tidak ada juru kuncinya. Nusa mungilnya hanya disambangi para penyadap getah pinus.(Bersambung/HU.Kabar Priangan)